Bab 34 | Tanpa Judul (2)

3.2K 329 22
                                    

•••

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•••

Eccedentesiast

Bab 34 | Tanpa Judul (2)

•••

"Ha?"

Kepala Arza mendadak pening. Ia memejam. Sial, ucapan Aksa malah membuatnya makin berpikir. Masa iya wanita yang sedari tadi menemani itu bukan bundanya? Lalu, kalau memang bukan, kenapa saat Arza membuka mata, wanita itu memanggil dirinya sebagai bunda? Berarti itu memang bunda 'kan?

"Dek, nggak lucu, deh," cetus Arza kesal. Jangan mentang-mentang ingatannya banyak yang menghilang, ia jadi bisa dipermainkan seperti ini. "Orang ngakunya bunda gue, kok. Emangnya, gue punya ibu berapa? Ya, satu doang. Itu bunda gue."

"Kak, dengar---"

"Mau dengar apa lagi?" potong Arza cepat. Kepalanya makin tersiksa. "Gue nggak mau dengar apapun dari lo lagi. Udahlah. Kalau cuma mau mainin gue begini, mending lo urungin niat lo."

Tanpa menunggu balasan dari Aksa, Arza langsung memutuskan panggilan. Ia melempar ponselnya ke atas nakas sembarangan. Setelahnya, Arza bersandar. Tangannya memijat pelipisnya perlahan.

"Kakak ...."

Arza menoleh ke sumber suara. Senyumnya terbit begitu melihat wanita yang kini berdiri tak jauh darinya. Perlahan, tangannya menepuk sisi ranjangnya yang kosong.

"Bunda, sini."

Wanita itu tampak mengangguk senang. Dengan cepat, ia menghampiri Arza, kemudian duduk di sebelahnya. Ia mengecup pipi Arza dengan lembut.

Pada akhirnya, ia semakin dekat dengan tujuannya.

•••eccedentesiast•••

Sumpah, Aksa masih tidak mengerti dengan ucapan Arza. Padahal, ayah sudah bilang kalau bunda sedang ke rumah nenek dan akan pulang besok. Bunda pergi bahkan sebelum Arza membuka matanya. Tapi, kakaknya itu berkata bahwa saat terbangun, bunda ada di sisinya.

Aksa lantas bangkit. Ia melemparkan ponselnya begitu saja ke atas tempat tidur. Helaan napas penuh rasa putus asanya terdengar. Pada akhirnya, Arza tidak mau mendengarkan ucapan Aksa dan memutuskan panggilan begitu saja.

Hingga tiba-tiba, sekelebat bayangan muncul di kepala Aksa. Bayangan seorang wanita yang tempo hari mendatangi rumahnya, menanyakan keberadaan Arza. Lalu, ketika Aksa menjawab, wanita itu berkata sesuatu. Hal yang Aksa dengar benar-benar singkat.

Arza ... Arzaku ....

Mendadak, suara itu seolah terngiang di telinga Aksa. Membuat tubuhnya lantas membeku, menegang, hingga akhirnya bergetar hebat. Tangan Aksa meraih dadanya yang mendadak berdegup lebih cepat. Ada rasa takut yang mendadak menguasai dirinya.

"Ka-kak ...." Aksa bergumam, seolah memanggil Arza yang jelas-jelas tidak akan bisa menjawabnya. Aksa ingin berlari menghampiri Arza, berkata bahwa wanita yang selama ini bukanlah bunda secara langsung, tapi tubuhnya lemah.

Pada akhirnya, Aksa hanya berbaring di atas tempat tidur. Tangannya mencengkeram erat selimut yang digunakannya. Meski matanya mulai memberat, Aksa tidak berani untuk terpejam.

Karena Aksa takut, pada akhirnya Arza akan meninggalkannya begitu saja.

•••eccedentesiast•••

Meski berusaha untuk tidak tertidur, nyatanya Aksa lelap juga. Keningnya berkerut, seolah ada yang mengganggunya di dalam tidur. Sesekali, tubuhnya bergerak gelisah. Ketika ayah masuk ke dalam, baru ia sadari bahwa tubuh Aksa berkeringat, layaknya sehabis berolahraga. Sontak, ayah mengguncangkan tubuhnya, berusaha untuk membangunkan Aksa dari tidurnya yang terlihat lelap, namun tidak mampu membuatnya tenang.

Tak butuh waktu lama, Aksa membuka kedua manik madunya. Lapisan sebening kristal tampak melapisi kedua bola indahnya tersebut. Bibirnya bergetar, terlihat seperti Aksa sedang menahan tangis yang hendak melesak ke luar.

"A-Ayah ...." Aksa berbisik lirih. Ia berusaha menjangkau tangan ayah dan menggenggamnya dengan erat. "Kakak ... Ka-kak ...."

Ayah tampak khawatir. Ia tidak pernah melihat Aksa tampak ketakutan seperti ini. Tubuhnya bergetar ketika ayah berusaha untuk meraihnya.

"Kenapa, Dek? Adek mimpi apa?" tanya ayah penasaran. Ia mengusap punggung Aksa perlahan. "Coba, sini cerita ke Ayah. Siapa tahu, kamu bisa lebih tenang setelahnya."

Aksa menggeleng cepat. Katanya, mimpi buruk tidak boleh diceritakan ke orang lain. Dan mimpi yang Aksa alami barusan benar-benar buruk. Saking jelasnya, rasanya seperti kenyataan.

"Hei." Ayah menangkup wajah Aksa, lalu mengusap pipinya dengan ibu jari. Senyumnya tampak berusaha menangkan anak bungsunya tersebut. "Nggak apa-apa. Cerita aja, Dek. Kasih tahu Ayah, apa yang ngebuat Adek takut malam ini."

Aksa menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Tangannya terkepal. Perlahan, ia membuka bibirnya.

"Kakak ... pergi, Yah," tutur Aksa pada akhirnya, "Kakak ninggalin Aksa. Kakak ingkar janji, Yah. Kakak pergi sama bundanya. Kakak ninggalin Aksa, Yah."

"Sama bundanya ...?" Ayah bergumam lirih. "Maksud Adek apa? Kakak sama Bunda?"

Aksa menggeleng cepat. Ia menelan salivanya dengan susah payah. Perlahan, Aksa meraih guling yang ada di sisinya, lalu memeluknya erat, seolah sedang memeluk Arza.

"Kakak ... Kakak diajak pergi sama bunda kandungnya, Yah," ucap Aksa pada akhirnya. Getar terdengar samar di suaranya. "Kak Arza ... pergi."

•To be continued•

A/n

Besok aku OSCE kegawatdaruratan dulu, yah :D btw, coba jawab pertanyaan aku ini.

1. Masih betah sampai akhir? Wkwk

2. Dari sekian banyak scene, mana yang kamu suka? Atau mungkin ingin kamu lihat di sini?

3. Kasih aku semangat dong anjer. Interpretasi EKG susah :(

Semoga setelah ini, aku bisa ngetik lagi, bareng kentang goreng McD dan cola float, atau sama choco pie.

Atau sama terang bulan.

Atau sama cheese cake.

Atau makaroni schotel.

Atau es krim.

Atau seblak, bakso, mie ayam.

EccedentesiastWhere stories live. Discover now