Bab 46 | Kali Ini, Semuanya Benar-benar Kembali

2.7K 275 4
                                    

•••

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•••

Eccedentesiast

Bab 46 | Kali Ini, Semuanya Benar-benar Kembali

•••

Aksa tidak pernah menyangka jika kehidupannya kembali seperti semula. Yah, masih dengan Arza yang kadang suka mendadak grumpy. Atau bunda dan ayah yang overprotective.

Kadang, Aksa harus tidak masuk sekolah. Kondisinya kadang stabil, kadang menurun. Masih harus berkutat dengan pengobatan yang menunjang kehidupannya selama ini.

Ya, inilah kehidupan paling normal yang harus Aksa jalani.

Seperti biasanya, Aksa sudah mengenakan seragam hari Seninnya. Meski kini, Aksa masih berdiri di depan cermin. Tangannya merapikan surai kecokelatan yang baru saja dipangkas kemarin. Hari pertama sekolah, dikhawatirkan akan terjadi razia rambut. Makanya dengan terpaksa, Aksa memotong rambutnya sesuai peraturan sekolah.

Angka dua belas terlihat di sebelah kanan lengan bajunya. Meski masih dengan jahitan asal, karena sejak kemarin Aksa malas pergi ke tukang jahit hanya untuk sekadar menjahit bet tersebut. Bunda yang terpaksa menjahitnya, walau sambil memarahi Aksa yang tersenyum tanpa dosa di dekatnya.

"Dek, udah siap?" Suara bunda terdengar dari luar kamar. Lalu, pintu mengayun terbuka. Kepala bunda menyembul di sela-sela pintu. "Lama banget. Ayah udah nungguin di bawah."

"Loh, Ayah yang antar?" tanya Aksa. Ia meraih jaket biru dan mengenakannya. Lalu, dengan cepat ia mengambil tasnya dan menghampiri bunda. Dibukanya pintu lebih lebar lagi. "Bukan Kakak?"

"Kakak kamu masih tidur. Bilangnya kalau liburan mau lebih rajin lagi. Kayaknya, sampai Agustus nanti, kamu nggak bakal diantar Kakak," jawab bunda. Yah, sebenarnya bunda membiarkan saja. Asal, Arza tidak lupa untuk bangun.

Aksa mengangguk mengerti. Ia berjalan melewati bunda begitu saja, lalu berjalan menuruni tangga. Langkahnya cepat, menghampiri ayah yang sedang berada di ruang makan.

"Pagi, Yah!" sapa Aksa semangat. Ini adalah hari pertama sekolah, dan Aksa harus memiliki semangat yang penuh. Jangan sampai, tahun terakhirnya di SMA ini menjadi suram.

"Pagi. Makan, gih," balas ayah. Ia yang awalnya fokus pada ponsel, langsung mengunci layarnya. "Adek udah kelas dua belas, ya, sekarang. Sebentar lagi kuliah."

Aksa berhenti memotong-motong roti bakarnya dengan pisau. Ia menatap ayah, lalu mengangguk. "Iya! Aksa sebentar lagi lulus SMA."

Ayah tersenyum tipis. Setidaknya, Aksa sedang memiliki pikiran positif hari ini. Jadi, ucapannya tidak akan dibalas dengan keputusasaan akan kondisinya yang bahkan belum bisa dinyatakan benar-benar membaik.

"Mau kuliah di mana nanti?"

Aksa tampak berpikir. Maniknya bergerak, menatap ke atas, lalu ke kanan, dan yang terakhir ke ayah. Ia sudah menentukan, tapi tidak bisa menjawabnya.

"Kalau Ayah suruh kamu nerusin Ayah, gimana? Mau?"

Aksa makin tidak bisa menjawab. Ia menusuk roti bakarnya dengan garpu, lalu memakannya perlahan. Ingin menggeleng, tapi rasanya berat.

"Ayah harap, sih, kamu mau," lanjut ayah. Ia menyesap tehnya. "Atau mau ambil jurusan yang lain? Ayah nggak masalah sebenarnya. Tapi, pikirin ke depannya kamu juga. Coba  pilih jurusan yang prospek kerjanya tinggi, biar kamu nggak bingung-bingung lagi nantinya."

Aksa mengangguk pelan. Nafsu makan sekaligus semangatnya menurun. Dari nada suara ayah yang Aksa tangkap, pria itu benar-benar berharap Aksa meneruskan jejaknya. Ditambah, ketika menyinggung masalah masa depan, nada suara ayah terdengar soal ia tidak akan menyukai apapun pilihan Aksa.

Berat.

Kalau sudah begini, Aksa tidak berani lagi untuk membantah. Katanya, omongan orang tua bisa adalah restu. Kalau dari awal saja sudah begini, Aksa mana berani?

"Jangan maksa, Yah." Suara bunda terdengar, mengisi keheningan yang Aksa ciptakan karena tidak juga menjawab. "Adek bebas milih mana yang Adek suka. Ke mana aja, karena itu jalan Adek sendiri. Tapi, Adek harus bisa bertanggung jawab. Jangan berhenti di tengah jalan karena tiba-tiba nggak kuat atau gimana."

Bunda selalu mengerti. Senyum Aksa langsung merekah. Ia mengangguk mantap. Seolah diberikan kekuatan untuk berani mengutarakan keinginannya. Tapi, tetap saja Aksa belum berani berbicara. Wajah ayah tampak keras dan terlihat tidak menyukai pernyataan bunda.

"Ya 'kan, Yah? Bunda sama Ayah cuma bisa dukung dari belakang. Selebihnya, itu tergantung kamu. Oke?"

•••eccedentesiast•••

Menurut jadwal yang Aksa baca, kelas dua belas tidak akan berlangsung satu tahun penuh. Makanya itu, ia tidak bisa berleha-leha lagi. Masa depan yang cerah menantinya.

Yah, itu menurut Aksa. Karena pada dasarnya, ia tidak tahu apa yang akan terjaid ke depannya. Aksa tidak pernah bisa memperkirakan, apa dirinya akan hidup sampai lulus atau tidak. Satu hal yang bisa Aksa lakukan hanyalah terus berjuang.

Suasana kelas tidak ada bedanya dengan sebelumnya. Berhubung Aksa berada di kelas unggulan dan tidak ada siswa yang dikeluarkan dari kelas tersebut. Hanya saja, atmosfernya berbeda. Ambisi masing-masing siswa di kelas seperti makin meningkat.

Katanya, jadwal Aksa akan sangat padat. Mulai semester ini juga, akan dilakukan pelajaran tambahan sepulang sekolah. Setiap bulannya akan dilakukan uji coba ujian nasional. Dan setelahnya, akan banyak ujian yang harus Aksa lewati.

Kadang, hal ini membuat Aksa berpikir.

Apa bisa ia melewati semuanya?

Kalaupun Aksa berhasil ...

apa setelahnya ia masih diberi kesempatan untuk hidup?

Rasanya Aksa pengin meminta sedikit sontekan akan hidup ke depannya.

•To be continued•

A/n

Maaf, ini kamu pada nggak tidur atau gimana, ya?

Eh, sumpah. Aku udah lulus tiga tahun yang lalu dan lupa sepadat apa sih kelas dua belas wkwk

Fix ini mah lebih dari 50 chapter.

EccedentesiastWhere stories live. Discover now