Bab 44 | Hancur

3.3K 329 16
                                    

•••

Oops! Această imagine nu respectă Ghidul de Conținut. Pentru a continua publicarea, te rugăm să înlături imaginea sau să încarci o altă imagine.

•••

Eccedentesiast

Bab 44 | Hancur

•••

"Adek!" Arza berseru begitu ia memasuki UKS. Langkahnya cepat menghampiri Aksa yang kini sedang duduk di atas ranjang. "Lo nggak apa-apa 'kan? Astaga, kok bisa, sih? Lo kenapa bisa mimisan? Bandel? Kecapekan? Suka banget ngebuat orang khawatir, sih."

Arza memegang kedua pipi Aksa, lalu menengokkannya ke kanan dan ke kiri secara paksa. Rautnya khawatir, tapi lebih ke arah kesal. Bisa-bisanya Aksa membuatnya khawatir berlebihan seperti ini.

"Lo daritadi di sini sendiri? Nggak ada yang nemenin? Nggak ada yang tanggung jawab? Kalau lo kenapa-napa gimana?"

"Aduh ... tadi gue sama Radeya, tapi dia pulang duluan gara-gara sakit. Guee nggak apa-apa, Kak." Aksa mengenyahkan tangan Arza dari pipinya. "Kenapa berlebihan banget gitu, sih? Lo bisa lihat kalau gue baik-baik aja sekarang. Cuma sakit sedikit tadi. Kena bola voli."

"Kena bola voli?!" Arza berseru kaget. "Lo ngapain? Olahraga? Udah gila, ya, lo? Lo boleh olahraga, tapi bukan yang berat begitu. Emang bandel, ya, lo jadi anak."

Aksa mendengkus. Kenapa semenjak sadar dari komanya, Arza jadi makin cerewet seperti ini? Yah, walau memang sudah cerewet sejak dulu jika berkaitan dengan Aksa, tapi tidak pernah seheboh ini.

"Gue nggak bandel!" elak Aksa, "Tadi gue lagi diam, kok. Terus, ada bola voli ngenain muka gue. Dari adek kelas."

Aksa berbohong. Sedang diam apanya? Jelas-jelas ia sedang jingkrak-jingkrak di tengah lapangan karena berhasil memasukkan bola ke dalam ring.

"Mana adek kelasnya? Antar gue ke sana!"

"Aduh, ribet urusannya," gumam Aksa. Ia memegang lengan Arza. "Udah, gue nggak apa-apa. Nggak ada masalah. Gue masih bernapas, gue masih hidup, jantung gue masih berdetak. Lo nggak usah panik."

Arza menarik napas panjang. Tubuhnya dijatuhkan begitu saja ke atas ranjang. Ia kalap. Emosinya sedang tidak stabil saat ini, membuat perilakunya juga mendadak aneh.

"Maaf," bisiknya.

Aksa memiringkan tubuhnya, berusaha melihat wajah Arza yang tertunduk. Alisnya tertaut heran. "Kak, lo lagi kenapa?"

Arza menggeleng pelan. Ia meletakkan kepalanya pada pundak Aksa. "Gue nggak apa-apa, Dek," gumamnya membalas.

Apanya yang nggak apa-apa, Kak? Gue adek lo. Gue kenal lo sejak dulu. Kenapa masih nggak bisa jujur, sih?

"Gue aneh, ya? Maaf," lanjut Arza. Suaranya terdengar bergetar. "Gue cuma lagi takut kehilangan lo, Dek. Entah kenapa, tiap kali gue dengar kabar kalau lo sakit atau apa, rasa takut gue makin menjadi-jadi. Gue takut kalau waktu gue sama lo sisa sedikit. Gue nggak mau."

Aksa mengusap lengan Arza perlahan. Senyumnya terbit. Meski rasanya masih ada yang Arza tutupi, tapi Aksa tidak bisa memaksa sang kakak untuk membicarakan semuanya. Tidak setiap hal harus diutarakan, dan mungkin hal yang kini mengganggu Arza sudah cukup hanya disimpan dalam hatinya sendiri.

"Kalau ada yang mau lo bicarain lagi, bicara ya, Kak." Aksa menarik napas sejenak. "Jangan buat gue khawatir."

"Ya, lo juga!" Arza mengangkat kepalanya. "Lo, anak bandel yang bisa-bisanya bikin pikiran gue terfokus ke lo doang, hentiin kebiasaan lo itu."

Aksa tertawa. "Mana bisa?"

Guratan tampak di dekat mata Arza, salah satu pertanda bahwa ia sedang tersenyum sekarang. "Terserah, yang penting lo nggak mati dengan cepat."

Tiba-tiba, dering ponsel milih Arza terdengar. Ia segera mengambilnya, lalu menatap layar. Ada panggilan masuk dari salah satu aplikasi mengobrolnya. Seret nomor terlihat. Foto yang ditampilkan di layar dapat Arza kenali sebagai milik Lina. Tanpa berpikir, ia segera menolak panggilan.

Namun, tidak berselang lama, panggilan itu kembali masuk ke ponselnya. Arza mengerang pelan sebelum akhirnya menjawab panggilan. Ia mendekatkan benda pipih itu ke telinganya.

"Ada apa---"

"Maaf, apa benar Anda adalah kerabat dari Ibu Kalina?"

Arza mengernyit heran. "Iya, saya putranya." Sejenak, lidah Arza kelu. Putranya? Bukannya baru tadi ia menolak keberadaan wanita itu? Tapi, sekarang ia tidak memedulikan hal itu. Hal yang ada di pikirannya hanya satu, siapa yang sedang berbicara padanya saat ini?

"Kami dari pihak IGD Rumah Sakit Melati ingin memberitahu bahwa Ibu Kalina terlibat dalam kecelakaan lalu lintas. Apa Anda bisa ke sini sekarang?"

Kedua kelopak mata Arza mengerjap dua kali. "Ha? Gimana, gimana?"

"Kenapa, Kak?"

"Kecelakaan?" Tangan Arza seolah melemah, namun ia tetap mempertahankan posisinya. "Iya, iya! Saya segera ke sana."

Arza segera memutuskan panggilannya. Mau bersikap tidak peduli pun percuma. Karena nyatanya, Arza tidak bisa melakukan itu terhadap ibu kandungnya sendiri. Rasanya, Arza ingin menarik setiap ucapannya tadi.

"Kak?"

"Dek ...." Tubuh Arza bergetar hebat. Ada rasa takut yang merasukinya, membuat kepalanya seolah berkabut. Ia tidak mampu untuk berpikir dengan jernih. "Bunda kandung gue ... kecelakaan."

•••

Nomor tidak dikenal

Arza, maafin Bunda.

Bunda nggak tahu apa Bunda bisa ketemu kamu lagi setelah ini.

Satu hal yang harus kamu tahu, Bunda sayang sama kamu.

Terlepas dari apa yang pernah Bunda lakuin ke kamu, Bunda berharap kamu bisa tinggal sama Bunda lagi. Kita jadi satu keluarga lagi.

Mungkin berat buat kamu, tapi kalau kamu berubah pikiran, Bunda masih mau terima kamu.

Maaf.

•To be continued•

A/n

Scene ini terinspirasi dari teman aku yang menolak keberadaan orang tua kandungnya habis-habisan, dan yah, yang terjadi selanjutnya cuma penyesalan.

Semoga Arza nggak ngalamin hal yang serupa.

EccedentesiastUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum