Bab 5 | Perginya Seorang Sahabat

8.6K 678 10
                                    

•••

Eccedentesiast

Bab 5 | Perginya Seorang Sahabat

•••

Selama ini, Aksa tidak punya teman yang benar-benar dekat dengannya. Bahkan, sejak masuk ke sekolah dasar, Aksa tidak pernah bisa dekat dengan orang lain. Semua ini hanya karena ia merasa berbeda.

Ketika memasuki jenjang sekolah menengah pertama, Aksa mulai berusaha membuka dirinya. Hingga ia bertemu dengan Rayyan, seorang laki-laki penderita aortic stenosis yang dengan percaya dirinya langsung mengulurkan tangan di depan Aksa. Memperkenalkan dirinya, mengajaknya duduk sebangku, hingga pada akhirnya keduanya menjadi dekat dan menjadi sahabat hingga kini.

Memiliki seseorang yang Aksa percaya selain keluarganya sendiri, membuat dirinya merasa bahagia. Rayyan mengajarkannya bagaimana untuk hidup seperti remaja normal pada umumnya. Meski dengan kekurangan yang Aksa miliki, berkat Rayyan, rasanya Aksa sama seperti anak lainnya.

Hingga seminggu yang lalu, Aksa mendengar kabar bahwa Rayyan kembali masuk ke rumah sakit. Aksa ingat betul ruangan tempat Rayyan dirawat.

Dan dari ruangan tersebut lah, code blue itu berasal.

"Adek, Adek! Lo kenapa?" tanya Arza panik.

"Ruang Anggrek ... antar ... ke sana," ucap Aksa terbata. Rasanya, kedua tungkai Aksaa melemah, hingga dirinya tidak sanggup untuk melangkah. Rasa takut menguasai dirinya. Ia takut, apa yang dipikirkannya barusan benar-benar terjadi.

Arza tidak serta merta membantu Aksa. Ia justru menarik sebuah bangku, lalu mendudukkan Aksa untuk sejenak di sana. Kemudian, Arza berlutut. Kepalanya agak mendongak agar ia bisa menatap wajah Aksa.

"Ruang Anggrek? Tempat code blue barusan 'kan? Ada apa di sana?" Arza bertanya. Diusapnya pipi Aksa yang terasa dingin di permukaan kulit Arza. "Jelasin dulu ke gue, Dek."

Aksa memejamkan matanya erat. Susah payah ia menelan salivanya sendiri. "Rayyan, Kak ...." Suara Aksa terdengar lirih. "Gue ingat banget. Rayyan dirawat di Ruang Anggrek. Gue harus ke sana. Gue harus tahu keadaannya."

Kedua kelopak mata Arza melebar. Perlahan, ia bangkit, lalu meraih tangan Aksa. Dibantunya sang adik untuk kembali berdiri. Tangan kiri Arza melingkari pundak Aksa.

"Ayo, Dek, kita ke sana."

•••Eccedentesiast•••

Setelah lima siklus kompresi, pada akhirnya kedua orang tua Rayyan memutuskan untuk menghentikan resusitasi. Tepat saat itu pula, Aksa hadir. Indra pendengarannya mendengar sendiri informasi kematian yang diucapkan oleh dokter.

Rasanya seperti ada yang menghantam dada Aksa dengan kuat. Kehilangan seseorang yang sudah ia anggap sebagai saudara membuat Aksa merasa dunianya berhenti berputar. Tubuh Aksa hampir limbung, jika tidak ada Arza yang lagi-lagi menahan tubuhnya.

Hingga ketika manik cokelat Aksa bersitatap dengan manik milik Lani, ibu dari Rayyan. Senyum Aksa berusaha terukir di bibirnya. Perlahan, ia menghampiri wanita tersebut.

"Tante ...." Aksa bergumam pelan. Tubuhnya mundur selangkah ketika tiba-tiba saja Lani memeluknya. Perlahan, tangan Aksa terangkat, mengusap punggung wanita yang sudah dianggapnya sebagai bundanya sendiri itu. Tubuh Lani bergetar, bersamaan dengan isak tangisnya yang mulai terdengar. "Tante jangan sedih. Rayyan 'kan udah nggak sakit lagi. Ayo, dong, Tan. Semangat. Tante ingat 'kan kalau Rayyan nggak suka ngeliat Tante nangis?"

Suara Aksa terdengar bergetar. Meski begitu, ia tetap berusaha menahan kesedihannya. Ia memejamkan matanya sejenak, membiarkan setetes likuid bening mengalir dari sudut indranya.

"Ini yang terbaik, Tante. Jangan sedih lagi, ya." Aksa melanjutkan. Dilepasnya tubuh Lani, kemudian diusapnya sudut matanya perlahan. Senyumnya menenangkan. "Tante, ayo senyum. Nanti Rayyan sedih kalau ngeliat Tante begini."

Aksa menarik napas panjang. Dihampirinya seorang laki-laki yang terbaring tak bernyawa di atas bed. Seluruh alat medis yang terpasang di tubuhnya sudah dilepas.

"Wow, ternyata lo yang pergi duluan," gumam Aksa perlahan. Ia menyentuh lengan Rayyan. Dingin, hingga membuat Aksa mengernyitkan keningnya. "Ah, curang lo. Bilangnya aja mau pergi bareng-bareng kalau udah sukses nanti. Nyatanya, lo malah ingkar."

Aksa tersenyum tipis. "Tapi, gue yakin seratus persen, lo udah bahagia. Iya 'kan? Lo nggak perlu lagi ngerasain sakit. Lo nggak perlu berurusan sama obat-obatan dan seluruh tindakan invasif. Lo udah tenang sekarang, Ray. Selamat, pada akhirnya lo benar-benar sembuh hari ini." Aksa berusaha menarik napasnya yang terasa sesak. Ia mundur selangkah. Tangannya mengurut dadanya perlahan. "Gue bakal selalu doain lo. Gimana pun juga, gue udah nganggap lo sebagai kakak gue sendiri. Tunggu gue di sana, ya."

Untuk terakhir kalinya, Aksa menatap wajah Rayyan yang tampak tenang sebelum akhirnya membalik tubuhnya. Ia berbicara sejenak pada kedua orang tua Rayyan, memberikan dukungan, sebelum akhirnya menghampiri Arza yang sudah menunggunya. Dibalasnya senyum tipis Arza singkat.

"Pulang, yuk, Kak."

•••Eccedentesiast•••

Begitu duduk di kursi penumpang, barulah air mata Aksa mengalir. Ia tidak bisa lagi menahan kesedihannya. Sudah cukup di depan Rayyan dan kedua orang tuanya.

Perlahan, Aksa mengusap sudut matanya. Dadanya terasa sedikit sesak, bercampur dengan rasa sedih dan takut yang menghantamnya secara bersamaan. Membuat Aksa menunduk, mencengkeram dadanya sendiri.

"Dek ...." Arza meraih tubuh Aksa, kemudian mengusapnya dengan lembut. "Tadi, lo yang nyuruh Tante Lani buat nggak nangis, tapi kenapa sekarang malah lo yang gini? Ayo, kuat, Dek."

Aksa menggelengkan kepalanya perlahan. "Maaf, Kak. Gue ... cuma takut," balas Aksa. Ia berusaha mengatur napasnya. Aksa mendongakkan kepalanya. 

"Kematian itu bukan hal yang bisa diprediksi, Dek. Lo, gue, bahkan Rayyan sendiri, nggak ada yang tahu kalau hari ini bakal meninggal. Lo selalu bilang kalau tangis bukan hal yang sepatutnya lo lakuin, karena nggak ada gunanya sama sekali. Hal yang terpenting itu doa, bukan? Rayyan butuh doa dari lo." Arza berbicara. Ia menyingkap surai yang menutupi kening Aksa.

"Bukan cuma itu, Kak." Aksa menarik napas, lalu menatap Arza. Skleranya tampak memerah. "Gue takut giliran gue sebentar lagi."

Arza membeku di tempatnya. Sejujurnya, ia pun takut. Takut kalau kematian akan menghampiri ayah dan bundanya. Takut kalau kematian akan menghampiri sang adik. Takut kalau kematian ... akan menghampirinya sebentar lagi.

"Amal gue masih kurang, Kak. Rasanya, ngeliat Rayyan tadi, bukan cuma ngebuat gue ngerasa kehilangan, tapi juga ngerasa takut." Aksa menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Ia meraih tangan Arza, lalu menggenggamnya erat. "Kak, gue mohon. Kalau suatu hari nanti gue meninggal, tolong jangan sedih, ya, Kak. Tolong doain gue. Dan tolong jangan tahan gue."

•to be continued•

A/n

Double update banget ga nih :)

EccedentesiastWhere stories live. Discover now