Bab 12 | Di Antara Bintang

4.9K 450 28
                                    

"Tahu nggak? Katanya, kalau Aksa meninggal suatu hari nanti, Aksa bakal ada di antara bintang-bintang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Tahu nggak? Katanya, kalau Aksa meninggal suatu hari nanti, Aksa bakal ada di antara bintang-bintang. Aksa nggak akan pergi jauh, karena Aksa akan selalu ada di sana. Makanya itu ... Bunda jangan sedih, ya."

•••

Eccedentesiast

Bab 12 | Di Antara Bintang

•••

Aksa bosan.

Setelah tiga hari sadar total, Aksa hanya bisa berbaring di atas ranjangnya. Sesekali, televisi dinyalakan, menampilkan kartun yang bahkan tidak Aksa tonton. Atau sesekali, Arza berada di sisinya, mengerjakan tugas yang katanya membuat kepalanya itu hampir pecah.

Suara biiiip panjang dari mesin EKG kembali terdengar. Aksa menoleh, menatap mesin berukuran kecil yang diletakkan di atas nakas. Lalu, pandangannya beralih pada dadanya yang ditempeli elektroda.

"Masih lama?" Aksa mengeluh. Ia ingin banyak bergerak, tapi takutnya malah memengaruhi hasil. Makanya itu, Aksa berusaha menahan rasa geli karena sedari tadi dadanya digerayangi oleh dua orang mahasiswa yang sepertinya sedang menjalani praktik lapangan di sini.

"Sebentar, ya, Dek." Salah satu mahasiswa berseragam serba putih itu bergumam. Lagi-lagi, ia memindahkan elektroda V1 lebih ke kanan. Kemudian, lagi-lagi meraba dada Aksa dan menempelkan elektroda V3.

"Lead off!" Salah satu mahasiswa yang memperhatikan layar kecil di mesin EKG memekik. "Coba cek V4-nya udah kepasang atau belum? Umm, V1-nya juga kayaknya kena tulang, deh, soalnya hasilnya berantakan."

Aksa menghela napas panjang. Ia tahu, jika sedang dilakukan tindakan dengan mahasiswa, pasti akan menghabiskan waktu yang lama. Tapi, Aksa tidak mungkin menolaknya. Arza adalah seorang mahasiswa kesehatan, dan suatu waktu akan menjalani praktik lapangan di rumah sakit. Ia terbayang jika mahasiswa yang memberikan pelayanan adalah Arza, dan laki-laki itu ditolak oleh pasiennya sendiri.

"Udah bagus belum grafiknya?"

"Belum. Ada yang belum."

"V berapa yang belum bagus?"

Kedua mahasiswa itu menengok saat tiba-tiba saja Aksa nimbrung pembicaraan mereka. Wajahnya tampak terkejut. Kemudian, keduanya saling pandang.

"V berapa?" Aksa mengulangi pertanyaannya. Ia meraba dadanya sendiri, lalu elektroda yang terpasang di sana. "Ini kayaknya V2-nya masih kena sternum. Nih, seharusnya agak ke kiri. Sama V1-nya juga. Intercostae, ya, Kak. Biasanya, kalau elektrodanya di tulang, hasilnya agak berantakan. Makanya 'kan harus pas."

Aksa tersenyum miring. "Kak, kalau Kakak ujian, bisa gagal loh, ini," lanjutnya. Ia memejamkan matanya sejenak saat menyadari bahwa Arza berdiri di belakang seorang mahasiswa sambil menatapnya dengan tajam.

•••Eccedentesiast•••

"Nggak usah begitu, Dek," omel Arza begitu proses perekaman aktivitas kelistrikan jantung selesai. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Kedua maniknya yang memang sudah tajam dari sananya itu terus saja melihat Aksa yang bergerak gelisah di tempatnya. "Kalau lo gitu, mereka bisa-bisa kehilangan harga dirinya. Dikasih tahu pasien sendiri itu bisa membuat mereka merasa ilmu mereka itu kurang."

"Bagus, dong. Jadinya mereka belajar lagi," celetuk Aksa, meski masih merasa takut karena Arza yang seolah ingin menerkamnya. "Iya, maaf. 'Kan gue cuma ngasih tahu."

"Iya, tapi cara lo salah banget." Arza masih saja terus memarahi Aksa. Padahal, tadi Aksa sudah berkali-kali meminta maaf.

Arza menghela napas. Ia pada akhirnya duduk setelah bunda mengusap punggungnya berkali-kali sambil menggumamkan kata sabar. Padahal, sejujurnya Arza masih benar-benar kesal.

"Lagian, mereka lama." Aksa masih berusaha membela diri. Tentu saja, ia tidak ingin menjadi satu-satunya tersangka di kasus ini. "Dari tadi bilang lead off terus, pindah-pindah terus, tapi masih nggak benar juga."

"Itu mereka lagi proses belajar, Dek." Arza menarik bangkunya agar agak mendekat ke arah Aksa. "Gue tahu, lo mungkin aja lebih jago dari mereka kalau masalah ini. Lo nggak butuh pendidikan kesehatan lagi. Lo udah paham soal pantangan-pantangan lo, tentang kesehatan lo, bahkan mungkin aja tentang manajemen nyeri yang biasanya mereka ajarin."

"Ya, teknik relaksasi, teknik napas dalam, teknik lima jari."

"Iya, itu. Tapi, mereka 'kan lagi belajar. Kalau mereka ngasih lo pendidikan kesehatan, jangan malah dibalas lagi, bahkan dengan isi yang lebih dalam. Gue yang seorang calon tenaga kesehatan juga bisa emosi."

"Iya, maaf." Aksa menunduk.

Arza menepuk puncak kepala Aksa perlahan. Ia tersenyum tipis seraya berusaha menatap wajah sang adik. "Iya, udah. Nggak usah sedih gitu. Gue jadi ikutan sedih, nih," canda Arza, "Udah, ah. Gue udah selesai juga marah-marahnya. Udah, nggak usah nangis."

Aksa mengusap kedua matanya. "Apaan, sih? Gue nggak nangis!" jawabnya cepat. Kedua bola matanya itu menatap Arza dengan bangga. Yah, inilah kakaknya, seseorang yang punya kepedulian dibarengi dengan ilmu yang tinggi.

Dibandingkan dengan Aksa, mungkin bisa dibilang bahwa Arza maha segalanya. Kakaknya itu benar-benar pintar, hingga kemarin menerima penghargaan mahasiswa berprestasi se-Indonesia, dapat beasiswa hingga menyelesaikan sekolahnya, serta direkomendasikan ke rumah sakit terbaik oleh dosen-dosennya.

Kalau disandingkan berdua, Aksa itu seperti tidak ada apa-apanya, sementara Arza bersinar terang. Jika dianalogikan dengan bintang, Aksa itu adalah bintang yang redup, yang berada di antara bintang lainnya yang bersinar terang. Bahkan, sinar Aksa kalah dengan sinar bulan di langit sana.

Aksa tersenyum tipis sejenak yang langsung mengundang perhatian Arza dan bunda. Ah, sinar bulan, ya?

Aksa jadi ingin makan terang bulan sekarang.

•To be continued•

A/n

Nggak bisa fokus pas ngetik ini karena aku lembur :) jadi nggak bisa full banget rasanya. Kayak nggak ada feelnya :")

EccedentesiastWhere stories live. Discover now