Bab 52 | Berkorban

3K 288 23
                                    

•••

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.

•••

Eccedentesiast

Bab 52 | Berkorban

•••

Arza tidak tahu apa yang ada di pikirannya ketika kalimat itu terlontar begitu saja. Ia hanya ingin membuat Aksa tenang. Karena nyatanya, usapan pada surai juga tidak akan membuat Aksa lebih baik. Salah satu hal yang Aksa perlukan adalah kepastian.

"Bukannya lo diajarin buat nggak ngasih janji kayak gitu, Kak?"

Arza tersenyum miris. Diacaknya rambut Aksa dengan gemas. Adiknya itu mungkin tidak ingin mendengar lagi janji darinya. Lagipula, selama ini, Aksa selalu mendengar janji manis yang diucapkan oleh bunda dan ayahnya. Sekadar menenangkan, tapi juga membuat Aksa berharap.

"Gue udah kebal sama kalimat kayak gitu. Tolong, mungkin cuma lo satu-satunya orang yang gue percaya nggak akan ngasih gue harapan gitu aja." Aksa menarik napas panjang. Rupanya, terlalu banyak berbicara juga cukup membuatnya merasa lelah. Untuk sejenak, ia terpejam. Begitu erat sampai kernyitan muncul di dahinya.

"Enam belas tahun." Aksa berujar lirih. "Sejak gue lahir---bahkan sejak masih di dalam kandungan, gue udah didiagnosis sakit. Terus---" Lagi-lagi Aksa menarik napas panjang. Untuk sejenak, ia mengurut dadanya perlahan.

"---kata Bunda, gue pernah hampir transplantasi di usia satu tahun. Tapi pas dicek lagi, jantungnya nggak sebagus itu buat gue." Aksa mengangkat sudut bibirnya yang pucat dengan miris. Fakta itu terlalu menyakitkan. Harapan untuk hidup normal-nya hancur begitu saja ketika beberapa kabar yang sama terdengar. Berkali-kali hingga membuat Aksa muak.

"Sebenarnya, gue nggak apa-apa kalau harus hidup begini sampai mati nanti. Cuma---" Aksa menggigit bibir bawahnya sejenak. Tangannya terkepal di balik selimutnya, hingga kuku-kukunya menusuk permukaan tangannya. Pandangannya yang sedari tadi menatap langit-langit mulai memburam. "---cuma ... Bunda sama Ayah---"

"Bunda sama Ayah nggak pernah merasa berat karena kondisi lo. Bunda sama Ayah sayang sama lo. Apa lo pernah dengar mereka ngeluh karena kondisi lo?" Aksa menggeleng lemah. "Bunda sama Ayah berusaha kuat buat lo. Mungkin sampai sekarang mereka cuma bisa ngasih janji, tapi gue yakin, semuanya bakal terwujud. Karena Bunda sama Ayah selalu ngusahain itu semua."

Perlahan, tangan Aksa meraih tangan Arza. Genggamannya lemah, seiring dengan kelopak matanya yang kadang tertutup. "Kalau semuanya nggak terwujud dan pada akhirnya gue nyerah, tinggal lo satu-satunya yang bakal jadi harapan Bunda sama Ayah. Jangan kecewain mereka, ya." Senyum Aksa tersungging tipis. "Gue ngantuk banget. Lo istirahat dulu, gih. Gue juga mau tidur dulu."

"Lo nggak apa-apa kalau gue tinggal?"

"Santai aja."

Arza pada akhirnya bangkit. "Kalau gitu, gue makan dulu. Sekalian mau nyamperin Bunda juga. Kayaknya masih makan di kantin. Lo ... jangan sampai kenapa-napa, ya."

Tidak ada jawaban dari Aksa. Laki-laki itu tampak terpejam dengan nyenyaknya. Dadanya naik turun teratur, salah satu pertanda kalau ia benar-benar pulas. Tanpa sadar, Arza mengulas senyum tipis sebelum beranjak dari sana.

•••eccedentesiast•••

Arza sudah menghubungi bunda, dan barusan ia memberitahu kalau dirinya masih berada di kantin. Segera, Arza menuju tempat yang berada di lantai dasar, tepat di dekat Ruang Dahlia yang ada di Gedung A. Jaraknya tidak terlalu jauh. Arza hanya harus turun menggunakan lift sebelum berbelok ke kanan menuju Gedung A.

Rumah sakit hari ini ramai. Yah, seperti biasanya. Ratusan orang dirawat di rumah sakit pusat ini. Tenaga medis dan tenaga kesehatan profesional yang sudah tidak diragukan lagi kompetensinya tampak melewati Arza beberapa kali.

Pun, keluarga pasien tampak menyusuri lorong panjang di Gedung A, membuat Arza merasa bahwa dirinya tidak sendirian. Selain ia, ada pula ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang yang berharap sanak saudaranya cepat mendapat keajaiban.

Begitu Arza menginjakkan kakinya di kantin, ia langsung mengedarkan pandangannya. Suasana kantin yang ramai membuatnya agak menyipitkan mata. Sosok bunda belum juga dapat dilihatnya.

"Kakak!"

Begitu mendengar panggilan yang sangat dikenalnya itu, Arza menoleh. Senyumnya terbit, seiring dengan langkah kakinya yang mulai mendekat menghampiri bunda. Secepat kilat, Arza duduk di hadapan bunda.

"Adek gimana? Udah baikan?"

Arza mengangguk, meski agak ragu-ragu. "Um, udah. Cuma, tadi bilangnya ngantuk. Yaudah aku tinggal," jawab Arza, "Tapi tadi udah aku pastiin kalau Adek baik, kok. Adek juga udah mulai ngoceh lagi kayak biasanya."

Bunda tersenyum lembut. "Iya, Kak. Makasih, ya," ucap bunda tulus, "Nah, sekarang Kakak bebas mau pesan apa aja. Terserah. Untuk kali ini, Bunda bakal bebasin."

Wajah Arza mendadak cerah. Senyumnya lebar. "Serius, Bun?" tanya Arza memastikan, "Eh, tapi sebentar, deh. Aku mau ngomong serius dulu."

"Aduh, Bunda kurang suka nih, yang serius-serius gini," canda bunda. Kemudian, ia berdeham. "Mau ngomongin apa, Kak?"

"Apa ... ada kesempatan buat aku biar bisa jadi pendonor organ?" Arza bertanya takut-takut. Ia melirik bunda.

"Maksud kamu?"

"Kalau aku daftarin diri aku sebagai calon pendonor organ, boleh nggak, Bun?"

Bunda diam sejenak. Ditatapnya Arza lekat-lekat. "Apa pertanyaan kamu itu merujuk ke arah keinginan kamu buat ngedonorin jantung kamu? Buat ... Adek?" Napas bunda tercekat. Ia menggeleng cepat.

Tepat sasaran. Bunda selalu tahu maksud tersirat yang ingin Arza ucapkan. "Iya."

"Nggak! Nggak boleh!" Bunda menolak keras. "Kalau kamu mau ngedonorin jantung kamu buat Adek, itu berarti ... nggak! Bunda nggak mau kehilangan kamu."

"Bun, kalau aku meninggal lebih dulu dari Adek dan jantung aku cocok buat Adek, nyawa Adek bisa diselamatkan." Arza meraih tangan bunda, namun wanita itu menepisnya. "Bukannya itu yang Bunda sama Ayah mau? Kesembuhan Adek. Iya 'kan?"

"Tapi bukan dengan kehilangan kamu, Kak!" Bunda tetap saja keras. Pandangannya yang sendu menajam. "Adek mungkin sembuh, tapi kalau kamu nggak ada, rasanya bakal sama aja. Bunda nggak mau kehilangan anak Bunda."

Arza diam. Ia menunduk. Tangannya kini saling menggenggam di bawah meja. "Demi Adek, Bun."

"Demi Adek, tapi Kakak juga harus hidup," ujar bunda, "Udah, Kakak nggak harus ngurusin semua itu. Biar Bunda sama Ayah yang berusaha buat nyembuhin Adek. Kakak cuma harus berdoa."

"Bun ...."

"Jangan ngomong gitu lagi, Bunda nggak suka."

Bunda memang keras, tapi ... Arza bisa bertindak lebih keras lagi.

•To be continued•

A/n

Aku mau bobo. Ngantuk wkwkwkwk

Wow, ternyata aku sedang lancar mengetik, tapi cukup sampai di sini. Sampai jumpa

EccedentesiastDove le storie prendono vita. Scoprilo ora