Seperti Awan Yang Membutuhkan Langitnya

938 72 4
                                    

Setiap awan yang berbeda. Perlu menemukan langit untuk wujudnya. Kita semua terbiasa berkeliaran. Tidak bisa terbiasa diandalkan.

Unbreakable Love - Eric Chou

🌫🌫🌫


"Dulu kakaknya, sekarang adeknya. Satu keluarga kayaknya beban semua, ya?!"

Tajam mata Kiki tetap tak teralihkan dari lantai keramik tempat ini. Tempat yang sama saat ia dulu pernah merasa hampir kehilangan. Tempat yang sama yang dulu membuatnya mulai sadar dan membuka hatinya. Masih tempat yang sama yang kini Nayla tengah dirawat di salah satu ruangannya.

Tanpa menghiraukan Akbar yang beberapa kali menyindirnya yang sengaja berdiri tepat di depan kaca jendela ruang UGD tempat Nayla berada, Kiki seolah memilih menutup rapat kedua telinganya. Membiarkan Akbar semakin dirundung oleh perasaan benci terhadapnya.

"Udah, deh, ah. Lo marah-marah juga nggak akan ngubah kenyataan kalau kakak lo sekarang lagi berjuang untuk nyawanya. Ciaelah nyawa buset." Ema menahan pergerakan Akbar. Membuat anak itu tetap duduk dengan sorot mata tajam menghunus Kiki di sana. Ada sesak yang coba Akbar tahan di sudut dadanya, yang semakin dibiarkan justru semakin membuatnya dilanda resah yang tak kunjung reda.

"Kak Nayla nggak bisa ada di kedinginan terlalu lama. Dia bisa mati kalau aja tadi nggak langsung dibawa ke sini," kata anak itu tetap tak mau dibantah.

"Lebay lo berudu."

"Apa sih kecebong diem aja, ya, nggak usah ikut campur."

"Masih bocil aja belagu lo!"

Sementara derap langkah kasar mulai menggema dari ujung koridor sana. Sepasang anak manusia rupanya tengah menghampiri tempat di mana kini mereka berada.

Ema yang pertama kali bangkit dan segera beranjak pergi karena sudah terlalu lama menahan diri untuk tidak tiba-tiba buang air kecil di sini saking lamanya menunggu Hanin dan Zaki tiba di rumah sakit.

"Kok bisa masuk rumah sakit lagi, sih? Ini gimana ceritanya?" tanya Hanin kalut seraya memukul belakang kepala Akbar dengan sorot mata khawatirnya. Sementara Akbar segera melirik sinis Hanin yang sekarang duduk manis sambil celingukan di sampingnya.

"Lo kerjain lagi, ya, Nayla sampai bisa kayak gini? Ngaku nggak lo, Bar!" ancam Hanin semakin menjadi saja.

Jengah. Akbar segera memilih bangkit. Tidak ada gunanya berbicara dengan orang yang selalu menganggap dirinya buruk. Karena sebaik apapun dia, di matanya dia tetap buruk selamanya.

"Mau ke mana lo? Jawab dulu, Bar! AKBAR!" pekik Hanin selanjutnya membuat Zaki yang mau menghampiri Kiki di pinggir jendela langsung menghentikan langkah dan berbalik ke arah Hanin berada.

"Ini rumah sakit bego."

Cekalan kuat yang menyentuh lengannya langsung Hanin tepis begitu saja. Ia tidak butuh apa-apa saat ini selain kejelasan mengapa Nayla bisa nangkring lagi di UGD rumah sakit ini.

"Tante Diah dan suami lagi di luar kota, lihat kondisi dong kalau mau marahin anak orang. Siapa tahu emang si Akbar nggak tahu apa-apa. Mending tanyain Kiki aja, deh," bisik Zaki menarik-narik lengan panjang Hanin di sana.

Akbar semakin menjauh dan punggungnya perlahan hilang ditelan koridor panjang. Yang mau tak mau Hanin menerima tawaran Zaki untuk bertanya saja pada Kiki. Meskipun Hanin yakin kalau memang Kiki lah penyebab Nayla bisa ada di sini.

Siapa lagi yang paling berpotensi membuat Nayla sakit? Jawabannya ada dua, keluarganya dan ... Kiki.

Hentakan keras yang Hanin perdengarkan sedikit menarik perhatian Kiki yang semula menatap lurus wajah pucat Nayla di dalam sana. Lantas saat Kiki menoleh, beku di mata Kiki lah yang pertama Zaki dan Hanin lihat di sana. Yang seketika membuat umpatan kasar untuk Kiki lenyap begitu saja.

152 Hari MELUPAKANMU ✔Where stories live. Discover now