Sebuah Alasan

1K 78 12
                                    

Tidak ada gunanya memang menjadi pelangi untuk orang yang buta warna, tapi apakah kamu lupa bahwa orang yang kamu maksud sebenarnya hanya sedang menutup mata?

🌫🌫🌫


Siang itu hujan tiba-tiba turun di antara langit yang sedang menunjukkan indah birunya pada dunia. Menyatukan jarak langit dan bumi yang sangat jauh dari pelupuk mata. Selayaknya hujan saat itu, perasaan seseorang sama. Bisa berubah kapan saja.

Seperti Kiki yang sebelumnya begitu tidak menyukai kehadiran Nayla, walau pada akhirnya ia yang merasa berbeda saat sosoknya tak ada. Siang itu Kiki lupa bagaimana rasanya tertawa, lupa bagaimana rasanya kembali bahagia. Namun, kehadiran Nayla di depan toko bunga yang sedang ia singgahi mengubah segalanya.

Detik itu, Kiki mulai mengagumi sosoknya.

"Kenapa masih di sini? Hujan. Lebih baik pulang."

Nayla yang siang itu hanya memakai kaos tipis hanya tersenyum. Tidak segera membalas pertanyaan sosok lelaki dewasa yang sepertinya sama-sama berteduh di emperan toko bunga milik orang.

"Saya lagi nunggu seseorang, Pak."

Lelaki itu tertawa saja sambil mengendikkan bahu. Ia juga sesekali menatap Nayla dan rintik hujan bergantian.

"Orang yang kamu tunggu nggak akan datang."

"Dia pasti datang," jawab Nayla cepat seraya menoleh.

Namun, lelaki itu rupanya kembali tertawa sambil mengangguk-angguk saja.

"Janjian jam berapa?"

"Jam setengah dua."

Lelaki itu melirik arloji di tangannya. Kembali mengangguk sambil tersenyum.

"Masih jam satu lewat lima belas menit," kata lelaki itu yang hanya dibalas dengan senyuman oleh Nayla.

Nayla memalingkan pandangan lagi. Kini semakin tenggelam dalam lamunannya membayangkan betapa sakitnya rintik itu yang dipaksa jatuh.

Namun, di antara jeda yang begitu panjang. Lelaki tadi rupanya kembali bersuara. Mengatakan beberapa hal yang membuat Nayla seketika kehilangan senyumannya.

"Kalau yang kamu tunggu adalah sahabatmu. Di hujan seperti ini dia pasti langsung nelfon dan bilang nggak bisa datang. Kalau yang kamu tunggu adalah pacarmu. Dia udah pasti akan segera datang dan nggak akan biarin kamu nunggu, tapi..."

"Tapi?"

"Tapi kalau orang yang kamu tunggu adalah orang yang kamu suka, tapi dia nggak suka sama kamu. Dia nggak akan repot-repot nelfon untuk ngabarin nggak bisa datang. Nggak akan repot-repot datang untuk menjemputmu untuk segera pulang," lanjut lelaki itu lagi benar-benar membuat lidah Nayla rasanya kelu.

Kenapa ulu hatinya jadi sakit begini, ya, mendengar jawaban itu?

Lantas tak ada lagi yang membuka suara di antara keduanya. Hujan siang itu semakin deras saja. Nayla semakin merasa kedinginan karena udaranya. Sementara lelaki di sampingnya sudah menepuk bahu Nayla berkali-kali untuk pamit pergi karena katanya, istrinya sudah menjemput.

"Duluan, ya."

"Hati-hati, Pak. Terima kasih atas segala kata-katanya yang berhasil buat mood saya rusak."

Lagi, lelaki itu semakin tertawa keras sambil mengangguk-angguk semangat.

"Jangan ditungguin terlalu lama."

"Kenapa?"

"Hanya akan sia-sia."

"Sok tahu. Bapak bukan Tuhan, ya. Dia bukan orang yang seperti itu."

"Kayaknya ucapan saya bener, deh. Dia pasti orang yang kamu suka, tapi nggak suka sama kamu."

"BAPAK KENAPA MASIH DI SINI, SIH? ISTRINYA UDAH NUNGGUIN, LHO!!!"

Setelah pekikan keras Nayla dimandangkan. Sosok lelaki tadi sudah berlari kencang menuju mobilnya di depan jalan sana. Kemudian mobil berlalu begitu saja. Lalu Nayla masih merasakan hal yang sama seperti saat lelaki itu belum pergi.

Nayla lagi-lagi ditampar oleh kenyataan.

"Gue yang terlalu bego atau orang-orang yang nggak bisa merasakan ketulusan gue, sih?" gumamnya merapat ke tembok. Berkali-kali mengecek ponselnya di sana. Yang sebenarnya sejak ia meneduh di sini ponselnya sudah mati duluan.

Benar-benar takdir yang mengejutkan.

Benar, Nayla benar-benar takdir yang mengagumkan. Di balik pintu kaca serta bunga-bunga yang mengelilinginya. Untuk yang pertama kali, Kiki jatuh pada pesona Nayla.

Kulit putih pucatnya, rambut hitam legamnya. Pipi dan mata bulatnya. Detik itu Kiki suka semuanya.

Cowok itu menggeleng-geleng kecil. Padahal, padahal baru kemarin ia menolak mentah-mentah kehadiran Nayla di kantin sekolah. Membuat keributan panjang yang tidak berkesudahan hingga membuatnya tidak bisa mengikuti liburan di puncak bersama anak-anak seangkatan lantaran dianggap sering berbuat onar.

Ia tidak menyesal. Sama sekali tidak. Justru ia merasa, sepertinya ini adalah takdir yang telah disengaja untuknya dan Nayla.

Derap langkah cowok itu mengalun senyap seakan tak terdengar jika ada derapnya. Tangannya segera terulur mendorong pintu kaca itu pelan. Datar wajahnya masih tidak berubah, tapi senyum yang kini terbit di bibirnya jelas tetap bisa disamarkan.

Hingga saat ia mengalunkan sebuah kemeja putih panjangnya ke bahu cewek itu, keadaan tiba-tiba saja berubah.

Nayla dengan wajah kagetnya juga Kiki dengan iris hitam pekat miliknya.

Cukup lama Nayla tidak bisa bergerak dan kembali pada alam sadarnya. Selama itu juga Kiki tidak berniat untuk memalingkan wajah.

"Kamu?"

Kiki mengangkat kedua alisnya cepat. Seakan-akan bertanya.

"Di sini?"

"..."

"Ngapain?"

Hingga saat Kiki mulai memalingkan wajah sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Nayla perlahan mulai sadar, bahwa sebenarnya sosok di sampingnya ini sudah datang sedari tadi.

Kenapa tidak bilang-bilang?

Kenapa membuatnya menunggu lebih lama?

Kenapa malah bersembunyi di dalam sana?

Untuk apa?














































"Untuk menepati janji kepada seseorang."


Sampai pada Kiki yang kembali sadar dari lamunan panjangnya. Kalau diingat-ingat, kemarin itu adalah hari paling menyenangkan yang pernah ia rasakan. Semuanya pada hari itu terjadi secara tiba-tiba. Sampai-sampai ia lupa bahwa sore tadi ia hampir saja merasakan kehilangan.

Senyum tipisnya kembali tak terlihat. Cowok itu berjalan ke pinggir jendela kaca di kamarnya. Menatap senja yang perlahan akan tenggelam ke kaki cakrawala.

"Tolong segera datang..."
























































"Gue bukan elo yang bisa menunggu bahkan jauh lebih lama," lanjutnya seraya menutup tirai yang menggantung di sana.













Ini adalah bab yang singkat, padat, dan jelas.

152 Hari MELUPAKANMU ✔Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin