Kita Yang Tidak Lagi Berbicara

153 22 4
                                    

Karena pertemuan hanyalah nama, yang sebenarnya terjadi setelah itu hanyalah perpisahan tentang kita.

🌫🌫🌫

Akbar menarik garis senyum di wajahnya. Cowok itu lantas mulai memasuki rumah dengan resah yang tak kunjung reda. Selepas pulang mengantar Deya, Akbar berjanji pada kakaknya untuk menjaga apa yang kini menjadi miliknya. Akbar akan menjaga Sani sebagaimana yang seharusnya. Memperlakukan Deya seperti yang semestinya. Karena setelah menemani Sani sepanjang hari dan malam, Akbar tersadar akan satu hal. Tentang ternyata hari-hari sebelumnya Sani selalu merasa kesakitan dan itu karena dirinya yang memperlakukan Deya tidak selayaknya seorang teman biasa.

Akbar salah besar. Dan setelah berbicara dengan Deya, rupanya cewek itu juga sama tidak nyamannya saat beberapa kali menerima gunjingan sebab terlalu dekat dengan Akbar yang sudah punya pacar.

Namun, malam ini Akbar merasa sangat lega saat semua hal berjalan sebagaimana yang seharusnya. Tinggal bagaimana dirinya nanti meminta maaf pada Nayla agar tidak ada lagi resah yang merongrong di dadanya.

"Baru pulang, Bar?"

Langkah pertama Akbar langsung terhenti saat suara Mama mengudara. Anak itu memutar badannya, menautkan alis bingung di sana.

"Akbar dari rumah sakit, Ma. Ada apa?"

Sementara Mama yang kini wajahnya sudah dilanda resah yang tidak kunjung reda sangat mengganggu hati Akbar yang melihatnya. Kemudian Mama menggeleng dan melanjutkan langkah menuju ke kamarnya.

"Nggak papa. Ada yang aneh," kata Mama langsung melesat pergi.

Akbar tidak tahu kenapa Mama bersikap aneh, tapi ketika Ayah muncul dari balik kamar dan menghentikan langkah Mama di depan pintu, Akbar mulai sadar akan beberapa keanehan yang Mama rasakan.

"Kakak kamu belum pulang. Tadi Ayah sama Mama mau jemput Al di rumah Kakek, tapi kakakmu itu nggak pulang-pulang. Kamu tahu dia di mana? Anak gadis pulangnya nggak tahu aturan."

Ayah menepi saat Mama dengan sengaja memukul lengannya.

"Anak sendiri kok dikatain. Dicari makanya. Jangan malah marah-marah," ucap Mama semakin khawatir.

"Bar. Kamu tahu di mana Nayla? Daritadi nggak diangkat-angkat telfon Ayah."

Akbar tidak bergeming di tempatnya. Menatap kosong lantai yang ia pijak di bawah.

"Tadi katanya mau ikut jemput Al, tapi mau pergi dulu. Sampe sekarang nggak datang-datang. Mama jadi khawatir tahu!"

"Akbar. Kamu denger nggak Ayah nanya?!"

"Apa, yah?"

Akbar mendongak segera. Mengerjap-erjapkan matanya. Lalu kemudian cowok itu menggeleng.

"Akbar belum ketemu sama Kak Nayla hari ini. Akbar baru aja pulang dari rumah sakit," kata anak itu jujur.

Namun, sorot mata Ayah di depan sama benar-benar mengganggu perasaan Akbar. Merobek-robek dadanya dengan tangan-tangan kasar tak kasat mata.

Dan tepat saat Ayah sudah mengambil langkah pertama sambil menarik tangan Mama. Suara Akbar yang kemudian menggema lantas menghentikan langkah mereka berdua. Lalu setelahnya tidak ada lagi dingin mata Ayah seperti biasa. Tidak ada lagi tatap hangat mata Mama untuk semua. Tidak ada. Semuanya hilang tepat saat Akbar benar-benar mengangkat panggilan dari orang di seberang sana.

"Korban tabrakan. Meninggal di tempat. Rumah sakit Gautama, depan lampu merah."

Dan setelah Akbar mendengarnya dengan seksama, yang ia dapatkan hanyalah setumpuk luka yang tidak pernah bisa berbicara. Dan ketika Mama bertanya kenapa dia hanya diam saja, secepat kilat Akbar berlari keluar rumah dengan sebelumnya melempar ponselnya ke sembarang arah.

152 Hari MELUPAKANMU ✔Where stories live. Discover now