Intuisi

3K 172 31
                                    

Yang namanya hati itu tidak bisa dipaksa, memaksa, dan juga terpaksa untuk jatuh dan cinta pada siapa.

🌫🌫🌫

Lagi, cowok itu kembali berdiri di depan pintu kaca menuju balkon kamarnya. Kembali meratapi perpisahan sang senja pada semesta. Dan lagi-lagi, terang jingganya tetap tak mampu menyamarkan luka di dada yang kini telah dibuat menganga. Wajah Kiki tak memberi reaksi apa-apa bahkan sampai semburat warna senja berganti dengan gelapnya langit angkasa. 

Hanya angin semilir yang menemaninya. Berdiri meratapi keadaan yang sebenarnya sekarang tidak baik-baik saja. Iris hitam pekat Kiki semakin tajam, seperti ada luka yang coba ia samarkan dalam tegas wajahnya. 

Rasanya, setahun terakhir hidupnya tak lagi berputar sebagaimana mestinya. Seperti ada kerikil kecil berjumlah banyak yang membuat roda takdirnya terhenti. Kiki tidak tahu, tapi semenjak setahun lalu, ia seolah tak mengenali dirinya sendiri. 

Iya, Kiki hidup, tapi seperti manusia yang tak bernyawa. 

Menyedihkan!

Memutar badan, cowok itu memilih beranjak dari tempatnya sekarang. Bukan hal yang baik melihat gelapnya malam. Apalagi jika harus kembali mengulik sebuah kenang yang sengaja ia kubur dalam-dalam. 

🌫🌫🌫

"Ki. Kiki. Yuhu. Hii."

Si pemilik nama lantas menghentikan langkahnya tepat. Ia melirik sekilas sosok cowok yang memanggil namanya tiba-tiba. Walau sebenarnya ia tak mau perduli banyak, tapi kehadiran cowok itu benar-benar mengusik hidupnya.

Bukankah sudah ia katakan, tentang kehadiran sosok itu baginya adalah sebuah bencana. Jadi, Kiki memilih tak menganggap ada hadirnya yang tak berguna.

Sementara Kiki yang kembali melanjutkan langkah, cowok yang memanggil namanya tadi segera meloncat keluar dari kamar. Reza memilih mengekori Kiki dari belakang. Senyum di bibirnya benar-benar tak bisa hilang, mengingat lagi bahwa saat ini cowok di depan sana adalah saudara tirinya.

"Tungguin gue."

"..."

"Ki. Besok gue nebeng, ya. Motor gue belum sehat. Ya?"

"Nggak!"

Namun, bukan Reza namanya jika mendengarkan penolakan Kiki. 

"Kenapa, sih, lo nggak menyambut dengan baik kehadiran gue? Sementara lo bisa menerima Mama dengan senang hati."

"Karena lo nggak berguna," sahut Kiki mulai menuruni tangga. Niat hati ingin turun ke bawah untuk mencari makanan, tapi sungguh malang dirinya malah diikuti oleh setan berwujud manusia di belakang.

Reza tetap tak tersinggung. Cowok itu kini semakin mengekori Kiki bahkan sampai ke depan kulkas, ke meja makan, ke wastafel, ke manapun Kiki melangkah. 

Kiki berdecak kesal. Cowok jangkung itu melirik cepat. Menghentikan kegiatannya membuka bungkus mi instan di meja makan. Ia risih sosok Reza ada di sekitarnya. Sangat menyebalkan mengingat sedari awal ia tak mengharapkan sosoknya ada.

"Diam atau pergi!"

Reza menggeleng.

"Jawab dulu pertanyaan gue, Ki. Kenapa lo nggak menyambut dengan baik kedatangan gue?"

"Lo selain bego ternyata tolol juga, ya. Gue suruh pergi, ya, pergi!"

Reza tersentak. Hampir mencerna dengan baik ucapan Kiki. Namun, benar kata Ayah, tidak perlu dimasukkan hati kalau itu berkaitan dengan Kiki. Justru kini Reza malah cengengesan dan mengambil duduk di salah satu kursi di meja makan. Melipat kedua tangan seraya memandangi Kiki dalam diam.

152 Hari MELUPAKANMU ✔Where stories live. Discover now