Tentang Ditinggalkan Dan Kehilangan

983 70 9
                                    

Sekalipun ragamu sudah tidak di sini, tapi bayang sosokmu tetap tak bisa pergi. Selalu berada di sisi bahkan sampai waktu bergulir ke sepi.

🌫🌫🌫

Cahaya bulan yang menyisir keramaian malam itu, terangnya bahkan belum cukup untuk menghangatkan hati seseorang, Reza misalnya. Entah ia ada di belahan bumi mana sekarang, yang pasti saat ini ia tidak ingin dulu pulang. Di rumah ia hanya akan menemukan hampanya kehilangan serta tangisan orang-orang rumah yang nyaris merusak pendengaran.

Reza tidak tahu jika ternyata jalan yang ia lalui terlampau sepi. Membuat ia seakan menyesali diri saat sudah di sini. Anak itu menoleh ke segala arah. Mencoba menemukan cahaya lampu jalanan, setidaknya ia ingin memastikan bahwa jalan yang ia pilih kini masih aman. Tapi, ternyata memang hanya remang yang ia temukan. Hanya suara jangkrik yang saling bersahutan yang mengisi hening yang berkepanjangan.

Reza menghela napas sekali lagi.

"Bahkan, lo belum nepatin janjinya. Kenapa langsung pergi gitu aja?"

Lagi, ketimbang ikut tenggelam dalam duka yang kemarin terciptakan, Reza lebih memilih menghibur diri meski ujung-ujungnya tetap luka yang ia temui. Hidup itu penuh teka-teki. Di mana kita tidak bisa menebak apa yang akan terjadi. Namun, entah kenapa hidupnya justru hampir sama seperti misteri. Bukan ia, tapi orang-orang di sekitarnya. Seperti Rian dan Kiki. Keduanya sama-sama punya rahasia yang tidak bisa Reza tebak isinya apa. Dinding yang keduanya bangun terlampau tinggi. Hingga tak bisa sekedar Reza raih. Namun, salah satu dinding itu kini sudah runtuh. Salah satu dinding itu kini sudah luruh.

"Sekarang gue semakin nggak percaya sama orang yang sering janji-janji. Apaan, ujung-ujungnya orang itu tetap akan pergi. Cih!" decak Reza di akhir katanya.

Cowok itu berhenti sejenak. Mendongak sekejap sekedar menatap bulan di langit sana yang bersinar terang. Namun, sudah ia katakan, bahwa terang cahayanya bahkan tidak pernah bisa menghangatkan hatinya. Hanya dingin yang ia temukan. Yang semakin lama semakin membuat hatinya berlubang.

Detik itu, Reza kembali merasakan kehilangan.

"Pertama Ayah, sekarang elo," kata anak itu terus memandang bulan.

Ada getir yang terurai di sudut bibirnya. Menegaskan bahwa kini apa yang ia alami benar-benar mengguncang seluruh isi hati. Hati Reza hancur tak terkira. Kepingannya sudah berhamburan entah ke mana. Dan Reza tidak punya kuasa untuk kembali menyatukan hatinya yang sudah terlanjur patah.

Sampai pada saat kakinya hendak kembali melangkah, niatnya ingin menikmati ujung malamnya yang hampa. Tapi, pergerakannya kembali dihentikan oleh cengkeraman di lengannya. Wajah Reza sontak menoleh begitu saja. Seketika udara tiba-tiba menjadi beku untuknya. Membuat bernapas saja susah.

Sorot mata Reza kembali hampa ketika sepasang mata teduh di hadapannya menatap maniknya begitu tajam di sana. Seakan-akan pada detik yang sama hendak menikam dengan begitu kejam.

"Aku kembali, Za."


🌫🌫🌫


Hari ini Kiki sengaja berangkat lebih pagi. Sengaja berjalan sendiri di pinggir trotoar tanpa tujuan yang pasti. Awalnya Kiki pikir akan langsung ke sekolah, meski nanti ketika tiba di sana ia harus kembali mendengar bincang suara orang-orang yang merobek pendengarannya. Untuk itu, sengaja Kiki memilih sendiri. Hanya berjalan tanpa arah, membiarkan dirinya kembali diselimuti oleh rasa bersalah.

Tadi, pagi-pagi sekali ia mendengar Ayah membicarakan Rian dengan Mama Feby. Katanya, sehari sebelum Ayah mengirim Rian ke Kanada, Rian meminta satu hari untuk menemui Nayla. Tapi pada saat itu Ayah tidak mengizinkannya hingga membiarkan Rian pergi dengan rasa bersalah atas Nayla. Sampai ketika Rian kembali ke tahan air. Untuk yang pertama kalinya setelah Rian di sana Ayah kembali melihat sosok Nayla dengan tatapan kecewanya. Seakan-akan anak itu tengah menyesali banyak hal yang berkaitan dengan anak pertamanya.

Di saat yang sama Kiki sadar, bahwa ternyata Nayla adalah satu-satunya orang yang selalu ada untuk Rian bahkan di saat-saat sulit yang cowok itu lalui. Kata Ayah, dulu Nayla sering datang sekedar menanyakan keadaan Rian, tapi Ayah selalu menjawab dengan kalimat yang sama bahwa Rian baik-baik saja di Kanada.

Kiki menghela napas lelah. Kalau seperti itu, berarti ia hanyalah pelarian untuk Nayla.

Cowok itu memelankan langkah. Membiarkan derap orang-orang yang lewat semakin menggema di sana. Udara pagi yang masih dingin ternyata tidak pernah bisa mendinginkan panas yang semakin menjalar ke atas kepala.

Pagi itu Kiki kembali merasa bersalah.

"Kenapa harus gue saat masih ada orang lain yang bisa lo pilih?"

Tidak ada balasan setelah pertanyaan itu diucapkan. Hanya ada hening panjang yang semakin mengisi penuh kesunyian. Sorot mata Kiki terlihat semakin hampa. Ada sesak yang semakin mengisi seluruh dadanya. Di sana kini seperti tengah terjadi badai yang tidak akan reda. Membuat Kiki berkali-kali ingin segera pergi saja.

Tapi, pergi pun rasanya bukan pilihan yang tepat jika saat ini hatinya sudah jatuh terlalu dalam pada sosok Nayla yang memikat.

"Di antara takdir yang telah dikotakkan. Kenapa lo memilih membuka kotak takdir gue yang gue sendiri mati-matian nggak mau orang lain tahu, Nay? Kenapa lo harus datang? Kenapa lo nggak pernah bilang kalau lo adalah orang yang dulu selalu Rian ceritakan?"

Semakin ia menyesali semuanya, semakin dalam pula rasanya jatuh pada Nayla. Tiga hari berturut-turut cewek itu tidak terlihat batang hidungnya. Seakan-akan sosoknya ikut hilang bersamaan dengan perginya Rian hari itu. Terakhir kali Kiki melihatnya, Nayla seakan tengah menyesali segalanya dan jujur Kiki merasa kecewa atas itu semua.

Namun setelahnya Kiki terkekeh pelan, menertawakan bagaimana hidupnya dulu saat masih ada Rian. Dulu, ia benar-benar membenci Rian karena selalu diberi kebebasan oleh Ayah dan Mama. Seakan-akan hidup anak itu terlihat begitu sempurna di matanya. Tapi, tenyata selama itu juga Kiki salah mengira. Rupanya hidup Rian yang sempurna di mata Kiki itu tidak lain hanyalah penuh akan luka. Sementara dulu Kiki begitu membenci Ayah dan Mama karena selalu mengekangnya. Melarang segala hal hingga membuatnya kehilangan banyak mimpi yang telah disusun begitu rapi.

Sampai pada saat setahun setelah Rian tidak pulang, entah karena apa. Pada saat yang sama Kiki lagi-lagi kembali dibuat kecewa oleh semesta. Kiki gagal mengikuti tes kelulusan untuk menyusul Rian ke Kanada, iya, meskipun membencinya, tapi Kiki juga tetap akan selalu membutuhkan sosoknya. Kiki hanya ingin sekali saja merasakan bagaimana rasanya menjadi Rian pada saat itu. Sampai saat insiden Mama mengalami kecelakaan beruntun hari itu, Kiki benar-benar kehilangan segalanya. Kiki kehilangan Mama, mimpinya, dan kasih sayang Ayah.

Dan di detik yang sama Kiki juga mulai membenci Mama. 

"Harusnya gue sadar lebih awal, tentang keberadaan lo ternyata selalu gue butuhkan. Harusnya gue juga sadar, tentang bahwa seharusnya gue nggak gagal ikut ujian supaya gue nggak kenal dengan Nayla. Iya, orang yang paling lo butuhkan setelah Mama. Orang yang saat ini juga gue harapkan melebihi segalanya," kata cowok itu mengurai sepi yang semakin berkelanjutan. Meski detik berikutnya ia sadar, bahwa harusnya ia memang tidak pernah dilahirkan. Karena percuma, ujung-ujungnya ia selalu akan merasakan yang namanya ditinggalkan dan kehilangan.




















11 bab lagi. Tunggu, ya. Setelahnya akan aku akhiri perasaan ini. Hehe^^

152 Hari MELUPAKANMU ✔Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt