Dari Rian, Untuk Nayla.

995 73 2
                                    

Ada kalanya kita tidak boleh membenci luka. Karena kebanyakan manusia selalu rindu akan luka yang ada pada dirinya. Rindu akan hal-hal yang terjadi sebelum luka itu tercipta di antaranya, misalnya.

🌫🌫🌫

Memaknai isi sebuah lagu itu memang tidak mudah. Jangankan isinya, terkadang saat mendengar judulnya saja manusia sudah merasa lelah. Begitu juga dengan wanita. Sedari tadi tak ada percakapan yang mengalir di antara Nayla dan cowok di sebelahnya. Nayla sengaja memilih bungkam bukan karena ia merasa tidak nyaman, tapi ia benar-benar bingung harus darimana memulai percakapan.

Sementara cowok yang kini ada di balik kemudi juga sepertinya sangat fokus pada jalanan. Tak terusik sama sekali dengan segala keheningan.

Namun, memang harusnya Nayla tidak memilih diam. Harusnya sedari awal ia yang memulai percakapan.

Nayla menarik napas begitu panjang. Ia melirik kecil pada Kiki yang tetap fokus pada kemudinya.

"Ki," panggil Nayla seraya menarik ujung lengan kemeja Kiki.

"Hmm."

Lagi, Nayla kembali menarik napas. Kini semakin panjang. Ia membuang wajah. Mulai menatap jalanan. Menatap orang-orang yang berlalu-lalang.

Riuh gaduh jalanan bahkan sampai tidak Nayla dengar. Karena rupanya hening yang kini membelenggu mereka berdua semakin mendasar. Seakan menarik seluruh fokus Nayla hingga tidak seperti semestinya.

"Ini hari terakhir kita di skors. Besok pasti akan sibuk. Kenapa keluar?" tanya Nayla pelan.

Kiki tak bergeming. Hanya semakin membiarkan hening mengisi sunyi. Ada yang bilang, sesuatu yang sudah dimulai akan lebih baik jika segera diselesaikan. Dan hari ini Kiki ingin menyelesaikan semua yang telah seseorang mulai dengan seenaknya.

"Lebih baik lo jangan banyak bertanya."

Kelabu di mata Kiki kini jatuh pada manik mata Nayla. Lampu merah yang membuat mereka berhenti lantas benar-benar mulai mengambil alih. Nayla terus menatap mata Kiki lama. Sementara Kiki hanya terus menyelam lebih dalam ke manik mata itu. Mencari-cari sebuah jawaban atas seluruh pertanyaannya. Dan benar saja, tepat saat lampu mulai berganti warna menjadi hijau, Kiki sungguh mendapatkan jawabannya.

Sudut bibir Kiki sedikit terangkat. Meski detik selanjutnya kembali membuang wajah dan tak peduli banyak. Nayla sendiri semakin lelah berada di antara kebingungan-kebingungan yang Kiki ciptakan.

Nayla melipat kedua tangannya di depan dada. Bergumam sendiri di samping Kiki yang mengemudi.

Namun, di antara banyaknya tempat yang dapat mereka singgahi. Kenapa justru tempat ini yang Kiki pilih?

Detak jantung Nayla semakin tak terkendali. Gerak mata cewek itu juga semakin terlihat gelisah. Namun, Kiki membiarkannya. Cowok itu mulai turun dari mobil. Memutarinya kemudian berhenti tepat di sebelah sisi pintu dekat Nayla duduk.

"Ki. Jangan ke sini. Jangan tempat ini. Kita bisa cari tempat yang lain. Di perpustakaan depan sekolah? Di dekat pasar malam? Di kafe Zaki? Di manapun asal nggak di sini. Ki..."

Ada getar yang sengaja Kiki hiraukan. Cowok itu mulai membuka pintunya pelan. Lantas saat pintunya mulai terbuka. Hanya wajah tegang Nayla yang kini disuguhkan.

Detik pertama Kiki tak merasa ada yang berbeda. Namun, detik berikutnya Kiki seakan sadar, bahwa tebakannya benar akan sesuatu hal.

Kiki berjongkok. Menghela napas dalam-dalam. Ia mulai mengulurkan tangan. Namun, tak kunjung diterima oleh orang yang bersangkutan.

152 Hari MELUPAKANMU ✔Where stories live. Discover now