Nada-nada Lagu Sendu Darimu

1.1K 79 11
                                    

Kalau gak bisa jadi yang dia inginkan. Maka, jadilah yang selalu dia butuhkan.

🌫🌫🌫

Sudah berapa kali Nayla katakan. Kiki itu kelabu, sosoknya selalu semu. Kiki itu nyata, tapi tidak pernah bisa ia rengkuh raganya yang nyata. Kalau beberapa hari lalu Nayla masih baik-baik saja diabaikan oleh sosoknya, maka kali ini berbeda. Kiki yang ia temui pagi ini benar-benar tidak seperti biasa.

Hanin yang berdiri di belakang cewek itu sampai dibuat heran olehnya. Kalau kata Hanin, Nayla itu berhati batu. Segala keinginannya harus jadi nyata atau kalau tidak, maka seperti inilah Nayla. Bertindak layaknya orang bodoh hanya karena cinta sepihaknya pada Kiki.

Ia mendekat, berjongkok membantu Nayla untuk bangkit. Sosok mungil itu juga mulai mengulurkan tangan menepuk-nepuk lutut Nayla yang sedikit memar.

Siang itu, entah kenapa kantin benar-benar jadi ramai seketika. Mengelilingi dua sosok yang sama-sama keras kepala sedang berhadap-hadapan.

Lantas Hanin sebagai sahabat Nayla melihat ini semua benar-benar merasa tidak terima atas apa yang sahabatnya dapatkan. Mata tajam Hanin menghunus ke segala sudut kantin penuh kemarahan. Ia tarik lengan Nayla hingga membuat tubuh bergetar cewek itu berada di belakangnya.

Hanin berdecak. Sudut bibirnya mulai terangkat, memandangi sosok beku di depannya yang tak mau melirik sekalipun. Hanya berdiri kaku memandangi bagaimana semesta mempermalukan Nayla beberapa menit lalu.

"Bodoh."

Hening. Tidak ada yang bersuara selepas Hanin berkata demikian. Hanya angin semilir saja yang menyahut penuh dingin di sana.

"Lo cowok paling bodoh yang pernah gue temuin, Ki," kata Hanin lagi seraya menggenggam erat telapak tangan Nayla.

Sementara Nayla sendiri tak bergerak di posisinya. Hanya bisa bungkam di sana penuh kekalahan yang nyata.

"Kalau lo nggak suka, lo bisa nolak. Kalau lo nggak mau diganggu Nayla, lo bisa ngehindar. Kalau lo nggak mau lihat Nayla di sekeliling lo, kenapa nggak lo aja yang pergi?!"

Riuh suara di kantin siang itu saling bersahut-sahutan. Menyebabkan Nayla yang semakin dilanda rasa malu hanya bisa menunduk dalam. Rambut cewek itu mulai jatuh menutupi wajah.

Tidak ada yang dapat Nayla katakan. Ia benar-benar seperti ditampar kenyataan selepas tiba di sini. Awalnya, Nayla hanya ingin memberi bekal dan surat seperti biasa pada Kiki. Namun, ada yang bilang hari ini Kiki tidak masuk sekolah. Alhasil Nayla memutuskan untuk mengurungkan niatnya memberi ini pada Kiki. Hingga suatu pagi ia melihat Kiki datang dengan aura yang berbeda yang menyebabkan Nayla lagi-lagi harus mengurungkan niatnya.

Hingga pada saat jam istirahat tiba. Ia dengan keyakinan penuh menghampiri Kiki yang tengah duduk menikmati makan siangnya di sudut kantin sendiri. Dengan senang hati Nayla mendekat. Namun, selepas ia mengatakan niatnya pada cowok itu, inilah yang ia terima.

Bekalnya dibuang ke sembarang arah. Surat yang ia tulis lantas dibaca keras-keras hingga menimbulkan kekacauan yang parah. Nayla baru saja dipermalukan, lagi, oleh Kiki, berkali-kali.

Tapi, tapi kenapa kali ini sakitnya begitu terasa?

"Lo nggak tahu apa-apa." Kiki masih tak menoleh. Kaku wajahnya kini semakin terlihat jelas di mata Hanin yang memandanginya dengan tatapan penuh dosa.

"Elo yang nggak tahu apa-apa!"

"Bisa nggak sih nggak usah ikut campur urusan orang. Dan lo." Tajam mata Kiki kembali tertuju pada Nayla. Menatapnya begitu tajam dengan rahang yang semakin mengeras. "Lo bisa nggak, sih, mati aja—"

Plak

Lagi, riuh siang itu kembali terdengar di telinga Nayla. Hanin lantas semakin murka dibuatnya. Cewek itu segera mendorong bahu Kiki selepas menamparnya  hingga membuatnya mundur beberapa langkah. Sudut bibir cowok itu terluka dan Nayla baru saja menyaksikannya.

Kenapa?

Kenapa Kiki berkata seperti itu?

Hanin yang pertama membuka suara, begitu lantang seakan penuh ancaman. Sosoknya benar-benar murka siang itu lantaran sahabatnya semakin parah mendapat hinaan.

"Harusnya, lo aja yang mati. Lo nggak guna asal lo tahu, Ki. Cowok yang hatinya beku, sosoknya kaku kayak lo nggak pantes buat hirup oksigen di dunia ini!"

Detik itu, Nayla meneteskan air matanya. Tetap enggan mengatakan apa-apa meski didesak sekitarnya untuk bersuara. Tubuhnya didorong kesana-kemari membuatnya semakin merasa ketakutan. Sementara Hanin, cewek itu lupa bahwa kini sahabatnya jauh lebih terluka di belakangnya.

"Sumpah. Gue nggak habis pikir dengan jalan pikir lo, Nay."

"Kalau lo nggak mau dipermalukan, nggak usah caper, deh."

"Hidup lo nggak ada artinya banget. Udah berkali-kali ditolak tetap aja ngotot. Kiki nggak suka sama lo. Sadar diri dong."

"Diajarin nggak sih sama orang tuanya. Kasihan Kiki nggak salah apa-apa disalahin mulu gara-gara elo."

"Berhenti..." Nayla semakin menunduk dalam. Sosoknya sampai mundur ke belakang hingga tubuhnya menempel tepat pada tembok dekat pintu masuk kantin. Ia menutup kedua telinganya kuat, menghalau suara-suara menyakitkan yang menusuk ke pendengaran. Kantin semakin riuh, Kiki dan Hanin semakin berselisih keruh, Nayla juga semakin menahan sesak yang menggebu-gebu.

Namun, di antara puluhan manusia di kantin itu. Ada satu yang diam-diam menyaksikan semua kejadian ini dalam tenang. Mata teduhnya semakin menyendu dengan kedua tangan yang mengepal kuat. Gemuruh di dada lantas semakin sesak saja rasanya.

Hingga, pada saat Nayla menjerit lantaran tubuhnya didorong kasar oleh salah satu dari mereka, dia tidak bisa lagi menahan semuanya.

Detik itu, Zaki menurunkan egonya untuk jauh-jauh. Cowok jangkung itu berjalan membelah kerumunan. Sosoknya yang tinggi sontak langsung menjadi pusat perhatian. Dari tatapan menusuk yang tertuju padanya, Zaki justru hanya terfokus pada Nayla saja.

Hanya Nayla, tiada yang lainnya.

Datar wajah Zaki semakin kentara. Terlihat sosok yang biasanya ramah itu memilih bungkam seraya berjongkok tepat di hadapan Nayla yang kini tengah menutup seluruh wajahnya. Bahu cewek itu terlihat gemetar, dan Zaki menyadarinya.

Lantas, saat Zaki mulai meraih tubuh Nayla kemudian merengkuhnya. Ada sepasang mata yang menatap mereka dari kejauhan. Sepasang mata tajam yang sorotnya tidak bisa diartikan oleh siapa-siapa.

"Jangan takut," bisik Zaki tepat di dekat telinga Nayla.

Sementara Nayla sendiri hanya bisa mengangguk-angguk saja. Ia mulai bangkit dengan dibantu oleh Zaki. Nayla masih enggan membuka wajahnya. Jujur saja ia begitu malu perasaannya diketahui oleh seluruh warga sekolah. Meski menyukai Kiki adalah rahasia umum, tapi untuk yang satu ini Nayla benar-benar merasa hina.

Entah Kiki yang keterlaluan atau dia saja yang terlalu memaksakan keadaan. Nayla sendiri juga tidak tahu. Ia tidak bisa berpikir jernih saat ini. Ia hanya bisa menangis terisak dalam rengkuhan Zaki yang membawanya pergi dari tempat ini.

Ini cukup menyakitkan bagi Nayla, karena untuk pertama kalinya ia menyetujui apa yang dulu pernah Ema katakan padanya. Untuk pertama kalinya ia mempercayai 152 hari itu. Dan untuk pertama kalinya juga ia ditampar oleh kenyataan, bahwa selama ini Kiki tidak menyukainya. Kiki hanya sekedar kasihan saja padanya.

Hanya itu dan tidak akan pernah lebih.















152 Hari MELUPAKANMU ✔Where stories live. Discover now