Seperti Deras Hujan

1K 78 6
                                    

Jangan jatuh cinta ketika hujan, karena saat kamu patah hati lalu melihat hujan lagi. Bukan bahagia yang kamu pikirkan, melainkan hanya kenangan.

🌫🌫🌫

Pagi ini, rencananya Nayla ingin pergi ke tempat Reza bersama Akbar, adiknya. Karena katanya, sudah hampir seminggu Reza tidak pulang ke rumah. Sepertinya itu benar, di sekolah juga Akbar tidak menemukan keberadaan anak itu.

Nayla hanya merenung. Menatap lurus jalanan yang mereka lewati dengan naik mobil keluarganya. Ada hela napas gusar yang cewek itu hembuskan. Matanya tidak bergerak sama sekali, tetap fokus pada apa yang ada di hadapannya meski seluruh isi kepala sudah tidak menjamin bahwa ia baik-baik saja.

Jeda panjang yang Akbar ciptakan sukses membuat Nayla semakin tenggelam dalam luka yang tidak mau reda. Api di dadanya juga tidak mau padam meski sudah berkali-kali ia coba untuk membunuhnya.

Alasannya sederhana, ternyata Rian ada di sana. Di ujung hatinya. Tidak mau pergi ke mana-mana.

"Kiki ada di rumah nggak, ya?" tanya Nayla membuat Akbar hanya menoleh saja kemudian mengendikkan bahu tanda tak tahu.

"Menurut lo?" balas Akbar sedikit tajam, "ya, kalaupun ada menurut lo dia mau ketemu gitu sama lo?"

Lantas setelah kalimat singkat itu mengudara. Lagi-lagi ada sesak yang menyelinap masuk ke relung dada. Entah kenapa, apa yang Akbar katanya seakan sukses menghantam hati Nayla lebih dari sebelumnya. Hanya getir yang Nayla berikan pada Akbar. Setelahnya cewek itu kembali memandang ke luar jendela dengan tenang. Membiarkan lagi sepi semakin mengubur lukanya. Walaupun Nayla yakin beberapa detik setelah ini, ia akan kembali tenggelam dalam lautan duka yang tidak akan pernah sirna.

Jujur saja, kehilangan itu memang menyakitkan. Tapi, kehilangan Rian tidak pernah ia bayangkan akan lebih dari sekedar menyakitkan.

Jejak bayang cowok itu terus saja menari-nari di memori Nayla. Tidak mau pergi dari sana. Seakan-akan hanya ada Rian di hidup Nayla. Padahal, padahal sudah sangat jelas, bahwa Kiki lah yang merajai di sana.

🌫🌫🌫

Kiki masih di tempat yang sama saat terakhir kali ia melihat Nayla.

Kiki masih di tempat yang sama saat terakhir kali ia menyadari tentang perasaan Nayla tidak lagi untuknya.

Sendu di mata cowok itu semakin redup saja. Tidak ada warna yang bisa disaksikan oleh semesta. Hanya ada gelap yang semakin pekat di mata tajamnya. Rahang cowok itu mengeras. Kedua tangannya juga sampai mengepal kuat.

Kali ini, ia akan mencoba. Setidaknya ia ingin mengatakan pada Nyala, bahwa cewek itu telah berhasil mengisi lembar cerita miliknya yang selama ini ia biarkan begitu saja. Setidaknya, ia ingin mencoba walaupun hasilnya akan jauh dari ekspektasinya.

Setelah menyelesaikan laporan terakhir sebagai ketua OSIS, Kiki kembali menutup lembaran buku di depannya. Kemudian ia melipat kedua tangannya di atas meja. Memandangi sebuah foto kecil sepasang anak kecil di dindingnya. Yang sengaja dibingkai indah. Tentu saja Kiki yang membuatnya.

Ada senyum yang berhasil terurai dari wajah cowok itu. Kemudian, detik berikutnya senyum itu pudar pelan-pelan.

"Udah sangat lama dan sepertinya lo udah lupa," katanya mulai bertopang dagu.

"Hari ini lo harus inget semuanya," lanjut Kiki berikutnya.

Setelah itu tak ada lagi suara. Kiki kembali tenggelam dalam memori masa kecilnya. Tentang bagaimana dulu ia menganggap kehidupan Rian begitu sempurna. Tentang Ayah dan Mama yang selalu mengekangnya. Tentang segala kenangan yang terjadi pada saat itu yang kini hanya akan menjadi sebuah kenangan yang tidak akan pernah Kiki lupakan. Akan terus abadi dalam setiap lembar hidupnya di masa mendatang.

🌫🌫🌫

"Hidup itu kalau nggak tentang kehilangan ya ditinggalkan, Ki."

Langkah kaki Kiki yang semula pelan, kini benar-benar terhenti seakan terbungkam. Wajah datar cowok itu menoleh. Seakan menikam Nayla dalam diam. Sebab, meskipun Nayla mencoba untuk tetap tenang, gaduh dalam dadanya tetap tidak mau redam.

"Terus kenapa lo masih di sini?" Kiki kembali membuang wajah. Memasukkan kedua tangannya dalam saku celana. Kembali memandangi bagaimana rinai hujan jatuh membasahi bumi dengan diri yang hanya berdiri di pinggir gedung dekat taman, berteduh. "Lo juga akan pergi, kan?" lanjut cowok itu seketika membuat Nayla tersentak.

Dingin yang semula terasa biasa saja untuk Nayla kini semakin membekukan rasanya. Nayla tak bergeming, justru hanya menundukkan kepala tanda tak tahu mau menjawab apa. Tapi, di balik diamnya Nayla rupanya ada sesuatu yang selalu cewek itu pendam di dada. Sesuatu yang sengaja tidak ia katakan pada siapa-siapa. Sesuatu yang akan selalu ia jaga sebagaimana yang seharusnya. Yang mungkin ketika Kiki tahu, semesta yang kini Nayla punya akan hancur detik ini juga.

"Ki, hujan."

"Harusnya kalau memang mau pergi, lo nggak perlu datang."

Namun, bukan itu jawaban yang ingin Nayla dengar.

"Aku nggak selalu bisa kena angin malam."

"Kalau mau pergi, ya pergi aja. Mumpung belum terlalu dalam."

Lagi, bukan itu yang ingin Nayla dengar saat ini.

Tubuh cewek itu bergetar. Seakan-akan kakinya sudah tidak mampu lagi untuk sekedar berpijak di tanah. Jujur saja, Nayla sangat benci ketika ia mulai seperti ini. Seakan-akan kondisinya sekarang membuatnya seperti orang lemah. Dan Nayla tidak suka.

"Aku harus pulang."

"Pulang aja."

Sakit.

"Tapi, sebelum lo pulang lo harus denger satu hal."

"A-apa...?"

"Gue bukan orang yang mudah menerima. Bukan rumah yang hanya untuk singgah. Hati gue cuma satu, jangan diambil kalau lo nggak bisa jaga-NAY!!!"

Secepat kilat Kiki berusaha menahan tubuh Nayla yang sebentar lagi akan luruh. Dada Kiki semakin bergemuruh seiring redup di mata Nayla hilang. Pelan-pelan. Namun, sekuat tenaga Nayla tetap ingin terjaga. Membiarkan dingin semakin menikamnya. Kiki tidak tahu apa yang terjadi pada Nayla, yang pasti saat ini ia ingin berada dekat di sisi sosoknya. Tidak mau ke mana-mana. Datar di wajah Kiki kini terganti oleh raut khawatir yang terlihat jelas di mata Nayla.

Meski rasanya sulit menahan sakit di saat-saat seperti ini, tapi kalau untuk Kiki, Nayla akan melakukannya.

Dada Nayla rasanya semakin sesak tak terkira. Namun, sekuat tenaga Nayla mencoba untuk mengukir senyum di bibirnya. Membiarkan Kiki semakin larut dalam rasa takutnya di sana.

"Nay, Nay. Nggak papa, kan? You okay?" Getar suara Kiki kembali Nayla dengar. Namun kali ini rasanya terlalu banyak kesakitan di nada suaranya.

"Ki, sakit..."

Iya, sakit. Hati Kiki ikut sakit melihat Nayla kesakitan dan itu entah karena apa. Yang ternyata diam-diam bingkai kaca di mata cowok itu, yang sedari tadi coba sosoknya tahan, kini pecah berhamburan. Jatuh. Luruh. Seperti deras hujan.


















Kenapa nangis?


152 Hari MELUPAKANMU ✔Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin