Segenap perasaan yang tidak berarti apa-apa

1.4K 90 9
                                    

Dia tidak buta, dia hanya sedang menutup mata.

🌫🌫🌫

Rupanya Kiki tidak pernah berubah. Kebiasaannya tetap sama seperti saat terakhir kali Nayla melihatnya. Kiki tetap suka bersepeda. Kiki masih suka menghabiskan sepanjang malam ditemani sunyi yang melanda. Sosoknya masih sering singgah di pinggir danau sekedar untuk menyaksikan suara ikan di sana. Masih tetap sama dan selamanya mungkin tidak akan berubah.

Nayla tertawa saja di belakang, berdiri memegang pundak cowok yang baru saja Nayla pikirkan dengan tenang. Ini kemajuan, saat tadi ia beralasan harus segera pulang dan kebetulan Kiki memang akan beranjak. Nayla sengaja menarik-narik ujung kaos cowok itu agar membawanya ke rumah. Ini sengaja, sebab Nayla ingin merasakan bagaimana rasanya berada di balik punggung Kiki, menikmati malam bersama Kiki. Dan itu hanya berdua.

Ya, meski setelah mereka berdua tadi keluar dari kafe milik Zaki harus ada perdebatan panjang antara ia dan cowok itu. Tetap saja tekat Nayla sudah bulat. Ia.harus.pulang.bareng.Kiki.

"Diem aja," celetuk Nayla membelah hening di sekitarnya. Mereka berdua kini telah sampai di jembatan gantung pertama menuju ke rumah Nayla, masih ada tiga jembatan lagi untuk sampai ke sana.

Sebenarnya ini sangat merepotkan. Harusnya Nayla tidak seperti ini. Sejujurnya ia juga tidak tega jika harus membiarkan Kiki pulang nanti. Malam semakin larut dan Nayla bisa-bisa semakin khawatir padanya. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Kiki di jalan? Kan, Nayla juga akan merasa bersalah.

Tapi, Nayla punya ide. Bukankah bisa nanti dia menyuruh Mama untuk menawarkan—memaksa Kiki untuk menginap saja.

Astaga, Nayla hebat sekali idemu.

"Diem?"

Tangan yang baru saja mau menyelipkan anak rambut ke belakang telinga itu lantas terhenti di udara. Diam-diam ia mulai menguatkan pegangannya pada pindak Kiki yang menghangat. Percayalah, jantung Nayla seperti dipanah tepat menembus ke tulang-tulang.

"K—kamu... kamu ngomong sama aku?"

Jelas saja ini kesalahan. Harusnya Nayla tak perlu lagi bertanya apa-apa jika jawabannya saja sudah dijawab oleh diamnya cowok itu yang semakin memeluknya dalam dekap hening di sepanjang jalan.

Nayla sedikit berdeham. Sedikit melirik-lirik sekitar untuk melihat keadaan. Namun, bukan tenang yang ia dapatkan, justru keheningan yang semakin mencekam yang ia temukan.

"Masih jauh?"

"..."

"Masih jauh?!" Kali ini nada suaranya sedikit ada tekanan. Namun, lagi-lagi Nayla masih memilih opsi diam.

"Turun."

"IYA LUMAYAN HEH KOK—"

"Gak usah teriak-teriak. Gue denger."

Lagi, Nayla rupanya tak mendengarkan ucapan Kiki. Seakan-akan alunan nada suara cowok itu ibarat nyanyian lagu romantis di telinganya. Yang sekejap saja lewat begitu cepat.

"Budek, ya?!"

Baiklah. Kali ini sepertinya Nayla harus kembali pada kenyataan. Cewek itu mengangguk-anggukkan kepala di belakang tubuh Kiki. Ia semakin menguatkan pegangannya pada pundak cowok itu. Friends... ini nyaman.

152 Hari MELUPAKANMU ✔Where stories live. Discover now