Kemarahan Zea

4 1 0
                                    

"Gue gak habis pikir yah, sama Lo. Lo darimana sih?" Ucap Zea dengan tatapan tajamnya ke arah Luisa. Tapi Luisa hanya sibuk memasukan bukunya kedalam tas.

"Luisa, lo punya mulut gak sih ? Bisa bicara gak? Kepala gue udah serasa mau meledak tau gak." Teriaknya dan apa respon Luisa. Tetap sama.

"Anjir, gue dikacangin. Lo kenapa sih Sa. Ada apa sih ? Lo anggap gue apa?" Zea makin naik amarahnya dan kini menggebrak meja.

Beberapa orang disana melihat langsung ke arah Zea dan juga Luisa. Bukan hal yang biasa, ini sudah sering Zea lakukan ketika seorang Luisa mengabaikannya tapi kini benar-benar Luisa sangat mengabaikannya.

"Apa lo liat-liat." Ancam Zea dengan tatapan tajamnya kearah mereka dan menunjuk mereka satu persatu.

Luisa memutar bola matanya malas dan seketika langsung menggendong tasnya dan berjalan ke arah luar tanpa memperdulikan Zea yang dari tadi meneriakinya.

"LUISA KAYLA MAHARANI, BERHENTI GUE BILANG." Zea teriak-teriak di koridor sekolahnya tapi tetap saja seorang Luisa tidak menggubrisnya dan malah asik berjalan sendiri. 

Zea yang sudah mendapat tatapan dari semua orang akhirnya berlari dan menyeret Luisa ke mobilnya.

Luisa melawannya tapi tenaga Zea benar sangat kuat dibanding dirinya.

"Diem atau gue main fisik sama lo." Ancamannya. Dan kini Luisa hanya diam dan mengikutinya menaiki mobil. Luisa juga sedikit memikirkan ketika harus berurusan dengan Zea yang tidak lain adalah atlit karate.

Semua orang melihat ke arah Zea yang akan membuka pintu mobilnya, setelah memaksa Luisa masuk terlebih dulu.

Zea menatap kearah mereka dan memberikan jari tengahnya kepada mereka yang langsung dapat sorakan dari semua orang. Tapi tidak dengan salah satu laki-laki yang kini duduk diatas motornya sambil melihat ke arah Zea yang sudah masuk kedalam mobil.

Menarik juga. Ucapnya pelan dan kini dia memakai helmya dan keluar dari sekolahnya ini. Siapa lagi kalau bukan Nathan. Cowok dingin, pelit ngomong, pelit senyum. Dan juga paling pelit interaksi sama orang. Dia cuman mau ngomong itu juga cuman sama Rashi, karena Rashi juga sama sepertinya tapi masih mending. Kalau sama Agam, atau Cakra. Dia benar-benar berbicara seadanya dan sangat singkat. 

Balik lagi ke Zea.  Zea menggoyangkan tubuh Luisa supaya dia mau berbicara tapi Luisa hanya diam. Zea sudah tak tahan, dia sekarang berhenti di rumah Zea. Dan dia menyeret Luisa untuk masuk kedalam rumahnya dan kini berada didalam kamarnya Zea.

Luisa terdiam dan tidak menjawab.

"Luisa, lo lebih baik cerita sama gue sekarang. Kalau enggak gue bakal gunain fisik sama lo." Ucapnya sambil berdiri dihadapan Luisa.

Bukannya jawaban yang Luisa berikan, dia sekarang malah menangis histeris. Zea yang seakan murka dengan sikap sahabatnya ini langsung luluh ketika Luisa memeluknya dan menangis dipelukannya.

Zea mengusap punggung Luisa pelan.

"Puasin ajah nangisnya, gue rela ko baju gue basah sama air mata lo. Tapi lo inget ingusnya jangan sampai kena baju gue." Ucapnya dan seketika itu, Luisa melepaskan pelukannya dan kini malah menangis seperti anak kecil.

"Sorry, gue bercanda kali. Sini gue peluk lagi." Kini Luisa dibawa duduk di tempat tidur dengan memeluk Zea.

Zea memang sangat lebih peduli dengannya dibandingkan dengan Luna. Luna memang selalu membantunya tapi tidak seperti Zea yang selalu ada untuknya. Bahkan Zea bisa dibilang sebagai pengganti Bundanya yang telah lama hilang.

Setengah jam sudah menangis, dan hasilnya baju Zea basah dan tidak sedikit juga ingusnya nempel dibajunya. Dan seketika itu mereka berdua langsung tertawa bersama.

"Gue gak mau tau, cuciin baju gue." Ucap Zea sambil melihat ke arah cermin. Sedangkan Luisa hanya duduk ditempat tidur, matanya merah, hidungnya merah dan juga mata yang sudah bengkak.

"Iya, gue cuci nanti."

"Awas yah lo, kalau bohong. Gue jitak nanti palalu." kini Zea mengganti bajunya dan mengambil baju juga untuk Luisa.

Zea melemparkan baju itu ke tempat tidur dan Luisa memungutinya, berlari ke kamar mandi.

"Ze, gue nginep dirumah lo yah. Sampai Ayah gue balik dari Jepang." teriaknya di kamar mandi.

"Terus, Luna ?"

"Ada Kirana dirumah, lagian nanti juga dia bakal nyuruh Indira sama Gwen nginep."

"Hmmm."

Kini mereka berdua sedang membuat mie di dapur. Orang tua Zea seorang Dokter. Ayahnya dokter umum dan Ibunya Zea dokter gigi.

Mereka makan mie sambil nonton drakor diruang keluarga bersama dengan asisten rumah tangganya yang sudah berumur setengah abad itu tapi seleranya jiwa muda. Buktinya, dia lebih bersemangat sedangkan Luisa dan Zea hanya saling pandang dan tertawa bersama.

Sudah jam sembilan malam, tadi Luisa sudah menghubungi rumahnya dan memberitahukan bahwa dia tidak akan pulang kerumah dan akan menginap dirumah Zea.

Kedua orang tua Zea belum pulang, karena mereka sedang menjemput anak dari teman Ayahnya itu di Bandara.

"Sa, lo janji mau cerita sama gue. Sekarang cerita kalau enggak gue bakal seret lo keluar biar tidur diluar." Ucapnya dengan penuh ancaman sambil tiduran. Luisa yang disampingnya hanya mengusap wajahnya pelan.

"Hmmm. Dengerin dulu jangan dipotong." balasnya dan kini Zea langsung duduk dan siap mendengarkan ceritanya, sedangkan Luisa menyandarkan tubuhnya ke sandaran tempat tidur.

Luisa menceritakan awal dia bertemu dengan Rashi yang secara tiba-tiba ada dikomplek rumahnya, menariknya untuk ikut ke Rastaurant, melihat Cakra dengan seseorang perempuan, hingga percakapan Cakra dengan perempuan itu di taman.

Zea kini sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi, buktinya muka dan telinganya sudah memerah, matanya juga sudah seperti tatapan mau memakan orang. Tangannya yang ia kepalkan sudah dia eratkan. Luisa hanya terdiam tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

"Mulai, detik ini. Gue Zea Padma menolak sangat keras lo untuk dekat ataupun berurusan dengan Cakra ataupun Agam." Ucapnya dengan cerocosannya mengalahkan ibu-ibu yang rebutan baju diskon.

"Sialan Agam, dia nipu gue. Awas ajah lo." tambahnya dan kini Zea mengambil ponselnya dan pergi ke luar. 

Luisa hanya diam, karena seorang Zea bisa tenang itu dengan caranya sendiri jadi siapapun tidak bisa memedamkan amarahnya termasuk kedua orang tuanya dan juga Luisa.

Zea masuk kedalam kamar dan mematikan ponselnya juga mencabut sim cardnya, lalu melemparkannya ke luar begitu saja.

"Kamu kenapa?" Tanya Luisa.

"Kita sama, JOMBLO." ucapnya dengan penuh penekanan. Sekarang Luisa malah terkekeh tersenyum geli dengan sahabatnya itu

"Lo, mutusin dia begitu ajah tanpa lo tanya dulu sama dia?"

"Gue gak peduli sama alasan dia, sekalinya bohong yaudah tetep ajah bohong dan gue gak suka itu."

"Hmm, yaudah terserah lo. Gue dukung ajah tapi lo gak usah bawa-bawa Rashi yah."

"Kenapa?"

"Gue gak mau ajah, dia udah baik buat tolongin Gue. Ngasih tau yang sebenarnya."

"Lo masih ada perasaan sama dia?"

"Masih tetap sama, Ze."

"Move on, dong lo. Cari yang baru kenapa?"

"Ze, apa gue terima ajah yah Rashi. Kasih kesempatan buat dia yang terakhir kalinya."

"Itu urusan lo. Tanya sendiri sama hati kecil lo,  maunya gimana. Gue cuman nyaranin ajah, kalau lo mau mulai hubungan baru lagi berarti lo harus udah siap sama patah hati."

"Hmm, iyah."

"Gue tidur duluan. Ngantuk. Perlu banyak tenaga buat besok ngadepin buaya buntung."

Kini Zea tertidur, tapi Luisa masih terdiam dan menatap langit-langit kamar Zea.

Semoga keputusan ini benar. Gumamnya pelan dan kini Luisa menarik selimutnya.

Lusa (Luna & Luisa) TAHAP REVISIWhere stories live. Discover now