13

107K 5.7K 163
                                    

Sheryl menahan nafas ketika salah satu diantara mereka—yang sepertinya ketua gerombolan preman itu berjalan mendekat lalu berdiri di depan wanita itu dengan ekpresi wajah yang begitu menyeramkan, salah sedikit saja mungkin pria berbadan besar itu akan membunuhnya.

"Aku tidak akan berbasa basi, manis, apa tadi ada seseorang yang masuk ke dalam tempat ini?" tanya pria yang tubuhnya dipenuhi tattoo itu, pelan dan terdengar menakutkan. Sheryl bahkan dapat mencium bau alkohol dari mulut pria itu.

"Maaf. Kalau boleh tahu siapa yang anda maksud? Sepertinya kalian adalah pasien yang pertama kali datang setelah hari sudah lewat tengah malam," Sheryl berusaha tetap tenang, walaupun dia sudah sangat ketakutan dengan wajah pria yang penuh dengan goresan itu menatapnya garang.

"Kamu yakin sudah jujur, sayang, untuk sekarang aku masih bisa bersabar sebelum aku melakukan hal yang buruk terhadapmu." Kata pria itu, "Jadi, apakah ada seorang laki-laki yang masuk ke tempat ini sebelum kami?"

Sheryl memandang pria itu penuh percaya diri, "Tidak. Tidak ada siapapun yang datang kemari sebelum kalian."

Pria itu tersenyum miring, mengintimidasi Sheryl dengan pandangannya.

"Udah bos, lebih baik sekarang tempat ini kita geledah. Jelas-jelas wanita ini berbohong!" Sebuah suara mengintrupsi mereka. Belum sempat Sheryl menjawab, mereka terlebih dahulu menerobos masuk memeriksa seisi ruang ditempat kerjad Sheryl.

"Apa-apaan sih, sudah aku katakan kalau tidak ada ada siapa-siapa di sini!" Teriak Sheryl nyaring, entah wanita itu mendapat keberanian darimana berani melawan. Dia terlalu panik, saat para preman itu mulai melempar barang-barang di dalam apotek. Masalah yang ada akan semakin rumit jika mereka benar-benar menghancurkan seluruh tempat itu.

"Berhenti sebelum aku memanggil polisi!" teriak wanita itu.

Pimpinan mereka semakin tertawa, meremehkan seorang wanita yang berlagak seperti pahlawan itu, "Silakan. Sebelum polisi datang mungkin kami sudah terlebih dahulu menghancurkan tempat ini."

Sheryl mendesis marah, "Kalian akan membayar semua ini." Tubuhnya berusaha menghalangi pintu yang merupakan tempat dimana Rena dan pria tadi berada. Dia berharap jika Rena mendengar keributan diluar, sehingga berinisiatif melakukan persembunyian yang Sheryl perintah tadi.

"Minggir!" Salah satu preman itu menarik Sheryl kasar. Dia mengerang ketika ia dihempas terjatuh tepat mengenai ujung etalase obat, mengakibatkan sikunya jadi berdarah. Dan para preman itu mulai menggeledah isi ruangan.

Karena tidak bisa berbuat apa-apa, akhirnya Sheryl hanya bisa diam di tempat, merasa percuma untuk melawan, lagipula wanita itu hanya akan membuat masalah baru jika terlalu berlebihan mengelak, menutupi dan tertangkap basah sudah berbohong. Dia hanya berharap jika sesuatu yang buruk tidak akan terjadi.

Beberapa menit keributan itu masih terdengar, tidak lama setelah itu, para preman kembali. Mendengus dan menatap sinis kepadanya, "Kali ini kamu sedang beruntung gadis manis." Kata pimpinan mereka itu, sebelum keluar dari tempat yang dapat dibilang tidak layak karena sangat berantakan.

Sheryl mengerutkan dahi, sepertinya mereka tidak berhasil menemukan sang mangsa. Dia kemudian masuk, mendapati Rena yang berdiri ketakutan di ujung ruang.

"Mereka udah pada pergi?" tanya wanita itu, saat Sheryl mengangguk ia akhirnya bisa bernafas dengan lega.

"Kamu.. ini adalah terakhir kali aku membantu kamu. Jangan pernah sekalipun mengikutsertakan aku untuk masalah seperti ini!"

"Kamu tahu kalau aku tidak bermaksud seperti itu."

"Ha! Kamu tahu betapa takutnya aku kalau ketahuan?"

"Ya, aku tahu Rena, maaf."

"Aku tidak seberani kamu, Sheryl, sekali lagi jangan libatkan aku."

Sheryl tersenyum tipis. "Kamu juga paling tahu kalau aku hanya berpura-pura berani."

Rena terdiam, kemudian menghela nafas menyerah, memijat pangkal hidungnya yang tiba-tiba berdenyut nyeri.

"Pria tadi dimana?" tanya Sheryl heran. Sebelum Rena menjawab, Sheryl mengalihkan perhatiannya ke belakang Rena ketika mendengar sayup seseorang bernafas berat. Pria itu susah payah menyenderkan tubuhnya di temboh dengan tangan memegang bagian perut yang terluka.

"Kami bersembunyi di ruangan barang kadaluarsa. Mungkin para preman itu tidak tahan dengan baunya yang menyengat dan melalui kami begitu saja." Kata Rena.

"Aku penasaran bagaimana kalian bisa bertahan disitu."

"Aku berani jamin, kamu tidak akan mau mendengarnya."

Sheryl mengangkat bahu, berjalan mendekat, mengalungkan tangan pria itu pada bahunya dan membantunya berjalan ke tempat tidur.

"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Sheryl khawatir.

Pria itu akhirnya mendongak. Tiba-tiba degup jantung wanita itu tiba-tiba berdetak cepat, ketika mata biru yang bersinar itu menatap langsung padanya. Wanita itu terpesona, memandang wajah tampan pria itu yang tidak bisa diabaikan meski tertutup oleh banyak lembam.

"Kamu... ini.. apa sakit?" Pria itu memegang siku Sheryl yang berdarah.

Sheryl mengikuti arah pandang pria itu, "Oh, tidak masalah, hanya luka kecil." Jawab Sheryl bahkan ia lupa dengan sakit disikunya jika pria itu tidak mengingatkan.

"Ren, sudah di obatin?" tanya Sheryl pada Rena yang masih berdiri di belakang mereka.

"Sudah. Tapi apa kamu yakin kalau kita tidak perlu membawa dia ke rumah sakit?" Tanya Rena. Wanita itu sangat pusing karena dirinya butuh tidur, ditambah dengan keadaan tempat kerja mereka yang berantakan. Setidaknya, ia berharap bahwa pria yang menyebabkan segala masalah ini cepat pergi.

"Kamu.. apa masih tidak mau kerumah sakit?" Tanya Sheryl.

Sebagai jawaban pria itu tetap menggeleng, "Aku sudah memanggil pelayan aku kesini. Sebentar lagi sepertinya dia akan datang."

Sheryl hanya mengangguk, kemudian mencoba bangkit untuk membersihkan lukanya. Tapi sebelum ia menjauh, pria itu lagi-lagi menarik tangannya.

"Terimakasih... Sheryl."

Sheryl kembali mengikuti arah pandang pria itu yang tertuju pada nametag di dadanya.

"Sama-sama... ngg?" wanita itu memiringkan wajahnya.

"Noah. Panggil aku Noah." Jawab pria itu sambil tersenyum. Sheryl juga tersenyum pada Noah, yang masih mampu membuat dirinya sedikit gugup.

Tapi Sheryl kemudian meringis, ketika pria itu mencekram tangannya sangat kuat. Terlalu kuat hingga wanita itu berpikir jika tidak segera dilepas, tangannya mungkin akan remuk. Mulutnya tidak bisa bersuara, disaat pria itu berdiri dan dengan santai merapatkan tubuh mereka berdua.

Noah lalu mencium Sheryl, melumat dan menghisap setiap sudut bibir wanita itu seperti seorang kelaparan. Sheryl memekik ketika tangan pria itu meremas dadanya kasar, kemudian berusaha merobek pakaian yang ia gunakan.

Pria itu melepaskan ciuman mereka, dan Sheryl menatap bingung dirinya yang ternyata sudah telanjang.

"Sweet dreaming, honey?"

Sheryl tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya, ketika wajah iblis yang sangat ia benci sekarang berdiri di depannya. Wanita itu mencoba berteriak nyaring, tapi pria itu lebih dahulu mendorongnya ke lantai. Dan Sheryl baru menyadari bahwa tempat ia bekerja tadi sudah berganti dengan ruangan tempat Eros menyekap dirinya.

Sheryl kembali menangis, menggerakkan tangannya untuk memohon pada Eros. Dan seperti biasa pria itu tidak peduli, hingga akhirnya Eros menodongkan sebuah pistol, menarik pelatuk dan menembak kepalanya.

PRISON [END]Where stories live. Discover now