84

46.5K 3.1K 241
                                    

There are two types of pain in this world.
One that hurts you.
And one that changes you.
-H. Midorikawa

***

Sheryl masih merenung ketika Eros masuk ke dalam ruang kamar inap dimana dirinya berada. Refleks wanita itu mengangkat wajah yang sedari tadi ia biarkan tertidur di atas lulut yang ditekuk, memperhatikan pria itu sedang berbicara dengan seseorang pada sebuah ponsel ditelinga kanan. Itu adalah kali pertama Eros menggunakan benda tipis canggih tersebut di hadapan Sheryl, biasanya Eros memilih untuk bersembunyi diruang kerjanya atau dimanapun asal wanita itu tidak melihat.

Pria itu mungkin terlalu takut jika Sheryl juga menginginkan sesuatu yang sama, sehingga wanita itu bisa dengan leluasa kembali menjelajah dunia sosial yang sengaja ia jauhkan untuk menutupi kebohongannya. Well, itu tidak bertahan cukup lama karena Sheryl sudah mengetahuinya, jadi untuk apa lagi disembunyikan.

Mata wanita itu tidak lepas memandangi penampilan Eros dengan wajah tanpa ekspresi, dari atas hingga bawah. Pria itu sudah bercukur dan memotong rambutnya yang sempat memanjang. Celana panjang hitam berbahan kain yang begitu lembut, kemeja putih yang begitu pas ditubuhnya dengan kancing bagian atas yang dibiarkan terbuka.

Pria itu terlihat begitu menawan dan errr—sangat seksi.

"Aku harap semua persiapan sudah beres, karena aku tidak suka dengan kesalahan sekecil apapun itu." Kata Eros dengan suara berat. Langkah kakinya mendekati Sheryl yang masih setia di atas ranjang rumah sakit, meski selang infus pada tangannya sudah dilepas satu jam yang lalu. "Ya, dia sudah boleh pulang, " lanjut Eros lagi kemudian menjauhkan benda tipis itu, membungkuk untuk menyampirkan rambut Sheryl ke belakang telinga lalu memajukan wajahnya untuk berbisik.

"I love you." Setelah mengatakan kalimat tersebut, Eros mengecup pipi Sheryl cukup lama kemudian kembali berfokus pada ponselnya.

Sheryl mengigit bibirnya tanpa sadar, masih belum terbiasa dengan kalimat itu meski Eros sudah mengucapkannya berkali-kali. Pria itu bahkan tidak lagi repot-repot untuk menutup perasaannya kepada Sheryl. Menunjukkan kepada wanita itu jika ia benar-benar serius dengan apa yang ia ucapkan. Membuktikan bahwa memang tidak ada yang bisa mencintai wanita itu selain dirinya.

Sedangkan Sheryl, bagaimana ia menjelaskannya? Disatu sisi ia ingin percaya tapi sisi lain ia begitu takut untuk mengakuinya. Seseorang yang terlihat tidak ada minat kepadanya bahkan terkesan memanfaatkan, tiba-tiba mengatakan bahwa ia mencintai Sheryl begitu dalam. Terkejut, tentu saja. Bahagia, oh sangat bahagia. Mau menyangkal seperti apapun, tetap saja tidak ada yang lebih membahagiakan dibandingkan dengan pria yang juga balas mencintaimu. Rasanya beban yang menghimpit dadanya selama ini terangkat begitu saja. Tapi jika memang pria itu juga mencintainya kenapa tidak dikatakan sejak dulu? Kenapa harus mementingkan gengsi ketimbang mengakui langsung kepada Sheryl?

Kondisi Sheryl memang membaik, sangat membaik hingga hari ini dirinya sudah dibolehkan untuk pulang. Tapi hatinya tidak membaik, malah semakin parah. Ketika ia mendengar pengakuan Eros, ia tahu semua tidak akan sama lagi. Karena demi apapun, rasa cinta yang ia kira sudah mati kepada pria itu malah semakin berkembang setiap saat, sehingga ia merasa menjadi gila.

Oh iya, dia memang sudah pada tahap hampir gila. Perlu penekanan pada kata: hampir gila. Mungkin setelah ini dia akan meminta dokter untuk menaikan dosis obat penenangnya sehingga ia cepat sadar dari mimpi indah ini.

"Aakkhh," Sheryl meringis ketika seseorang mencubit lalu menarik pipinya.

"Melamun lagi, Mommy?" kata Eros dengan nada suara dibuat sinis. Wanita itu terlalu tenggelam dalam pikirannya sehingga tidak menyadari jika dirinya sudah lama selesai bebicara dengan Arthur.

PRISON [END]Where stories live. Discover now