55. Sweetness of Love

6K 553 57
                                    

Viena kritis belajar banyak hal dari sang Mama, tak ingin selalu dianggap manja, ia tahu bagaimana caranya survive, tak lagi takut dengan sebuah pengancaman penarikan seluruh fasilitas yang ada padanya, ia masih bisa berupaya jadi apapun asal tak lagi dianggap tak mampu memperjuangkan apa yang seharusnya ia perjuangkan.

[❣]

Viena mengerjap membuka mata perlahan, menyesuaikan pupil pada cahaya samar yang menghambur ke dalam kamar. Ia mengurungkan gerakan saat menyadari, tangannya berada tepat di bawah leher Maura yang kini tertidur pulas menyusup berdekatan pada lehernya yang terasa bergerak memperhatikan Maura memelukknya erat.

Ia leluasa memperhatikan wajah itu dengan sepuasnya , sesekali mengecup pada sisi kening, Viena menangkap pada siluet wajah yang lelah oleh kesedihan dan memendam luka yang begitu dalam, ia mencoba menyelami, jika seandainya ia berada pada posisi wanita yang ia cintai , apakah ia sanggup bertahan seperti itu, jauh di dasar benak, rasa bersalah sering kali menghantui, mengapa sedemikian bodoh yang ia lakukan pada episode masa lalu yang begitu membebani fikiran, sekalipun Maura mampu meyakinkan, bahwa semua yang terjadi memang hanya pantas ditempatkan pada sudut kenang.

***

"Kapan kamu akan kembali kuliah?" Kenny melesap roti hidangan yang terletak pada meja makan keluarga, ia tak memperhatikan Viena yang kini duduk berhadapan dengannya yang bersebelahan dengan Prayoga, tak jauh dari Andre duduk, tampak Maura yang terlihat memperhatikan Viena yang pun sibuk memotong pancake. Hanya Vievi yang tak terlihat, semalam sebelum acara pengantaran Andre kembali ke Cairo, ia meminta izin ke Lombok, mengikuti Sonia meresmikan kantor cabang travel yang ia kelola.

"Viena mau pindah ke sini, lagian kak Vievi juga nggak kerja di London lagi, Mama juga lagi fokus dengan usaha di sini, Viena males kalau harus sendiri" Prayoga memperhatikan sibungsu yang sedari tadi sibuk memotong pancake, tapi tak ada satu sendokpun sarapan yang ia masukkan ke dalam mulut.

"Anak-anak temen mama kuliah di daerah yang berbeda tanpa harus ada yang menemani mereka, toh mereka berhasil menyelesaikan studynya, itu bukan alasan, urus kembali visamu, mama akan antar kamu minggu depan...!".

Tak ada kompromi, Prayoga memutar pandangan menatap Kenny.

"Apa tidak seharusnya  Viena memutuskan sendiri apa yang menjadi keinginannya Ma, Viena sudah bisa bertanggung jawab dengan apa yang dia pilih"

"Itu bukan alasan yang tepat, jangan mimpi Viena bisa memperjuangkan hidup nya, jika dengan tanggung jawab studynya saja ia gagal" Viena tersedak melesap air putih yang ia minum, membasahi baju hingga celana pada bagian paha yang ia kenakan.

Wajahnya tampak memerah, tepat bersebelahan dari ia duduk, sebuah genggaman erat menarik jemarinya dengan dua genggaman tangan milik Maura, Viena menoleh memperhatikan Maura yang kini tersenyum menatapnya, ia tak ingin Viena menampakkan ekspresi murka.

"Sampai kapan mama berhenti membandingkan hidup kami dengan orang lain, apa mereka orang-orang yang mama kenali itu  kehidupannya jauh lebih baik dari kami, sehingga layak menjadi tolak ukur?" Maura menarik tangan Viena untuk tak melanjutkan debat pada meja makan, Andre memperhatikan pandangannya pada kedua sisi, tak hanya Viena namun juga Kenny.

"Tapi kadang, ada beberapa hal yang mama putuskan selalu untuk kebaikan kita" Andre sadar saat Viena menggunakan kata 'kami' memancing ia turut beropini.

"Abang aja, aku enggak, aku enggak mau diatur lagi" Viena mencoba memberanikan diri membalas tatapan Kenny.

"Apa harus aku berbicara dengan nada tinggi dulu untuk bikin mama mau menghargai orang lain yang sedang berbicara, terus saja lanjutkan makanannya, mama hanya perlu menggunakan telinga untuk mendengar, bukan hati untuk merasa..."

Revenge and Love [Completed]Where stories live. Discover now