6. Pencarian Maura & Tangisan Irene

7.1K 657 96
                                    

Prayoga utomo melirik wajah pak Karman, berharap seperti hendak memberikan pesan, bahwa jika ia menemukan tanda-tanda tentang keberadaan seorang siswi di sekolah, agar untuk segera menghubunginya, dengan memberikan name card mereka melangkah untuk turun ke lantai dasar.

[*]

Irene menyiapkan masakan opor dan Gulai kesukaan suami serta soup tulang Iga kesukaan Maura, dari pagi ia berbelanja dan memasak sendiri tanpa perlu bantuan asisten rumah tangga, meski di rumahnya memang tinggal seorang wanita paruh baya yang biasa ia panggil mbok Kum yang sesekali membantu ia untuk menjaga dan merawat rumah saat ia dan Maura pergi liburan ke luar kota. Mbok Kum atau biasa dipanggil oleh Maura dengan panggilan Buk Kum ini sudah bekerja bersama Irene semenjak  almarhum suaminya masih hidup.

Hari ini adalah jadwal kedatangan sang suami, ia mempersiapkan acara penyambutan kecil-kecilan agar suami yang ia pilih dengan ratusan pertimbangan itu merasakan senang saat suaminya hanya memiliki waktu sesekali untuk pulang.

Seketika suara klakson menyadarkan Irene dari kesibukan, senyumnya tersirat saat ia tahu bahwa suaminya telah datang , ia bergegas membukakan pintu , hingga ia dapati sosok pria tegap keluar dari pajero silver menaiki teras rumahnya yang terbilang sederhana namun asri.

"Apa kabar, ma?" sang suami memeluk Irene erat, ada kerinduan yang terasa saat ia mendapati sang istri menyambut kedatangannya dari berbagai hal berat di luar sana, sebuah rumah tempat kembali yang baru saja ia bangun itu memberikan kedamaian tatkala ia merasa tinggal di situ, itulah hidup yang sesungguhnya ia rindukan selama ini.

"Maura mana?"

Irene tersadar dan melepaskan pelukan sang suami bergegas melihat jam di pergelangan tangan.

"Seharusnnya sudah pulang pa jam segini. Yaudah masuk dulu aja yuk, mungkin dia lagi nyari taksi atau ada urusan"

Seperti biasa sang suami selalu memiliki kekhawatiran tentang anaknya, ia justru mencari ponsel miliknya untuk segera langsung menghubungi Maura, namun nomor tujuan yang ia panggil tersebut dalam keadaan tidak aktif.

"Nggak aktif ma."

"Masuk aja dulu pa, nanti mama coba hubungi teman-temannya yang lain" Suami Irene memasuki rumah yang seisi ruangan tak jauh berbeda, hanya beberapa furniture yang sengaja ia ganti demi kenyaman keluarga kecilnya, serta sebuah hiasan baru grand piano klasik yang kini menghiasi ruangan tengah, piano yang ia pesan khusus itu hanya tertinggal dua, dengan beberapa kali melakukan permintaan pada perusahaan yang memarketingkan produk tersebut akhirnya melepaskan piano terbaik mereka pada pembeli yang bersedia membayar dengan harga mahal, ia begitu tahu kesenangan Maura yang begitu hobi bermain piano, tak hanya itu, setiap lirik dan nada yang dimainkan oleh Maura memiliki simfoni yang teramat indah untuk dinikmati, Maura tak hanya cantik, ia juga cerdas, di luar dari itu ia memiliki nilai plus , yaitu Maura memiliki tutur kata yang baik dan santun padanya, meski Papa tiri, Maura selalu menempatkan sang Papa seperti ayah kandungnya, meskipun demikian sang Papa baru tak pernah berniat mengganti posisi ayah kandung Maura di hati selain hanya sebagai papa tiri yang juga menyayangi Maura layaknya anak kandung sendiri.

Jam menunjukkan pukul enam sore, senja yang semakin tenggelam menghantarkan bayangan gelap setia mengganti siang, raut wajah cemas dari Irene dan suami tampak terlihat khawatir, seluruh teman Maura telah dihubungi namun tak ada satupun yang tahu dimana keberadaan Maura.

"Di mana lagi kita harus mencari Maura?" Irene tak henti-hentinya menitikkan air mata, kekhawatirannya akan anak semata wayang menggugah jiwanya untuk mencoba bantuan polisi.

"Kita ke sekolah dulu aja ma, sekalian bertanya-tanya dengan penjaga sekolah, mungkin bisa menemukan informasi" Irene menyetujui ide suami untuk bergegas menuju sekolah Maura yang tatkala mereka tiba di sana, tak ada aktivitas apa-apa selain pagar gedung yang tinggi serta kesunyian tanpa adanya aktivitas yang terlihat, sang suami mencoba mengetuk pagar besi dengan sekuat tenaga agar mengeluarkan bunyi yang nyaring sehingga terdengar oleh penjaga sekolah, dan benar saja, Pak Karman berlari menuju pagar sekolah yang berjarak sepuluh meter dari pintu utama gedung masuk sekolah, sambil mengenakan sarung dari seragam satpam yang selama ini ia kenakan.

Revenge and Love [Completed]Where stories live. Discover now