33. The First Half

7.3K 626 53
                                    

Ia masih menjerit, meminta Arko, Jonan, Jihan yang menatap ia dengan isakan tangis, kenapa, kenapa semuanya menangis, Viena membatin, tak kalah kuat pada tubuh kekar Arko, Viena telah berada tepat di depan pintu keluar, setidaknya ia berharap satu kesempatan, kesempatan terakhir untuk berbicara ke pada Maura.

[*]

Viena berlari menuju lobi menemui Maura yang kini tak lagi ada di tempat dimana terakhir ia menemukannya, seraya menoleh ke area gedung, ia hanya melihat satu kursi tak jauh dari ia berpijak seorang wanita berdiri mematung memperhatikan ia yang kini sedang terlihat bingung. Tak menunggu waktu lama, Viena bergegas melangkah mendekati.

"Erlan mana, aku mau ngomong sama dia?" Nadanya ketus, terdengar menahan amarah, bahkan tatapannya tak lagi bertemu pandang, ia justru sibuk mencari tanpa tahu apa yang sedang ia lihat, secara hanya beberapa orang yang lalu-lalang melintasi area lantai dasar.

Maura melangkah mendekati Viena, sembari menggelengkan kepala, ia masih memeluk ke dua lengannya yang terbuka, hawa dingin seketika menyelusup, bibirnya terlihat bergemelatuk menahan dingin malam, mengucapkan agar Viena membawanya kembali pulangpun serasa tak lagi sanggup.

"Kok kamu geleng gitu, Erlan mana?"

"Aku cuma minta dia anterin aku ke sini, dia nggak bisa nunggu karena harus pulang cepet"

"Jadi dia nggak ada sama kamu?"

Maura menggeleng, memperhatikan Viena yang memperlihatkan guratan penyesalan

"Kenapa nggak bilang dari tadi sih. Yaudah kita pulang aja"

"Dari tadi kek" Maura membeo melewati Viena melangkah, saat sedari tadi ia dapati intonasi nada berbicara Viena tetap dengan nada tinggi seolah menyergah. Sadar Maura berlalu melewati ia tanpa ragu, Viena bergegas berlari menuju Maura dan menuntun ia menuju mobil yang ia parkir, Seraya membuka pintu, Viena membuka jacket yang ia kenakan, lantas menutupi tubuh Maura dari arah belakang, tanpa menolak, Maura menerima saat Viena memeluk kedua lengannya menuju ke dalam mobil, sambil merebah, ia menghembuskan napas lega, setidaknya ia tidak harus tidur menunggu pagi di tempat yang terasa asing baginya.

"Kamu pinter-pinter, tapi ada begonya juga ya" Maura kembali menoleh ke arah suara, memperhatikan Viena menyetir sambil sibuk dengan omelannya yang terus-terusan tanpa adanya jeda.

"Ya kalau Erlan nggak ada sama kamu kan kamu bisa deketin aku, ngajakin aku pulang, atau kalau nggak chat atau gimana, telfon aku dan bilang kalau kamu lagi nunggu di bawah"

Maura memperhatikan Viena dengan cuapan nya yang tak berhenti sepanjang jalan, ia kembali memejamkan mata, mencoba mencerna setiap kalimat-kalimat yang keluar dengan mata yang memberat, Maura sedang mengalami peperangan dimensi antara kesadaran dan tidak, Viena tak perduli, yang ia tahu, Maura sedang tak menghargai ia berbicara saat ini.

"Kalau orang bicara itu diperhatiin, atau kalau nggak didenger kek, kebiasaan sekolah di bawa-bawa, conge dasar"

Maura menoleh Viena sekilas, lalu kembali membuang tatapan.

***

Viena Pov

Aku memarkirkan mobil di garasi, sudah cukup marahku kali ini, bahkan dari pekikkan pertama ia sama sekali tidak bersuara, memperhatikan aku saja tidak, padahal ada rasa yang mati-matian aku tutupi tentangnya yang jika dengan kebodohanku meninggalkan dirinya sendiri di sana.

"Maura, Raaa, Bangun nggak.." Dia masih diam meski tersadar, menoleh kiri kanan, lalu memberhentikan lehernya tepat di hadapan wajahku

"Sudah sampai?"

Revenge and Love [Completed]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora