14. Permintaan Prayoga

5.9K 581 27
                                    

Kata lebih membekas di hati, dan juga perlakuan yang nggak hanya membekas di hati tapi juga fisik, ya menurut aku itu sama jahatnya, hanya kadar nya aja yang beda.

[❣]

Erlin melangkah menaiki tangga untuk menuju ruangan kelas, kali ini perhatian tak hanya tentang ia yang selama ini selalu bersama Viena, melainkan menghadirkan pertanyaan baru tentang Erlin dan Maura yang kini berjalan melewati koridor secara bersama.

"Maura aku turut berduka cita" Maleo yang tiba-tiba muncul mengiringi langkah kaki Maura mengantarkan ia menuju ke ruang kelas, ia mengungkapkan rasa simpatik dan bela sungkawa, karena selama mengikuti olimpiade nasional sebagai perwakilan daerah, ia tidak bisa hadir menemani Maura saat sedang berada dalam masa-masa sulit.

"Nggak papa, gimana olimpiade kamu?"

"Dua bulan lagi putaran kedua, dan aku masuk ke olimpiade internasional perwakilan negara" Maura membuka senyum kagum, lirikannya tertangkap oleh Erlin, ia bersikap pura-pura tidak tahu, tentang Maleo yang memang sejak dulu menaruh hati padanya.

"Viena mana Lin?" Tanya Maleo balik bertanya ke arah Erlin

Ia melirik kearah Maleo, mengimbangi rambutnya yang tergerai tertiup angin dari gedung lantai tiga, beberapa pasang mata memperhatikan mereka. Ada tatapan kekaguman pada ketampanan Maleo sebagai atlit basket nasional yang sebentar lagi menjadi salah satu bagian dari atlit internasional, serta Erlin yang populer anggun hampir kehilangan popularitas hanya karena sikap Viena yang kurang bersahabat dan acuh mendekati sombong. Lalu bersama Maura yang sahaja, ramah dan selalu berbaik hati pada siapapun di sekolah, siswi yang selalu mewakili sekolah dalam ajang cerdas cermat taraf nasional ini memiliki kemilau alami tanpa torehan sensasi. Pemandangan damai di pagi itu bagaikan mimpi bagi pasang mata yang menatap mereka penuh arti, terutama Maura dengan senyum simpul manis, meski masih lara, ketegarannya terlihat jelas dari tiap senyum dan sapa beradu balas pada siapapun yang menyapa.

"Dia masih diskorsing, senin baru kembali ke sekolah, kenapa, kangen ya lo sama dia?" Erlin melirik Maura yang tiba-tiba menunduk, ia hanya ingin tahu, apa sebenernya Maura memiliki rasa yang sama pada Maleo, dan sepertinya sikap tak dapat membohongi rasa, Erlin tersenyum

"Gue nanya bukan berarti kangen juga kali Lin, oh iya Ra, nanti malem kamu ada waktu, aku mau ajak kamu makan boleh?"

"Uhuuk" Erlin sengaja terbatuk mesti tenggorokkannya tak terasa gatal, menatap Maleo yang kini terlihat gugup, baru kali ini ia melihat kapten basket sekolah mereka gugup seperti itu, bukannya selama ini Maleo bisa saja memilih siapapun wanita yang mati-matian mengincarnya, dan kenapa hatinya justru memilih Maura, tapi itulah cinta, tidak ada yang tahu kemana hati akan memilih.

"Maaf aku nggak bisa, aku harus ngerjain beberapa catatan sekolah yang tertinggal, udah beberapa hari aku nggak masuk, jadi aku rasa, aku harus nyicil untuk mengejar ketertinggalan"

"Nggak papa Ra, biar gue bantu sini nyatetin lo, nggak usah sungkan, lagian lu butuh refreshing, ya kan" Erlin mengkedipkan mata kearah Maleo, ia tahu mencomblangi Maleo ke Maura tak ada salahnya, toh ia tahu, Maleo pria yang baik, dan teman yang bertanggung jawab

"Makasih Lin, aku nggak pernah minta catetin siapapun, ini tugas sekolah aku, dan itu sudah jadi tanggung jawab aku" senyum dengan nada kata lembut itu menyihir keduanya saling bertatapan dalam harapan kosong, Maura mempercepat langkah agar cepat sampai ke kelas, sementara Erlin dan Maleo berdiri terpaku dalam diam.

"Nggak papa Le, lu kan cowok, harus lebih fight, Maura itu mahal, jadi dapetinnya juga harus butuh perjuangan" Erlin menepuk pundak Maleo yang masih menatap langkah kepergian Maura, dadanya luruh dalam keputusasaan, hampir tiga tahun perjuangannya tak satupun bersambut balas.

Revenge and Love [Completed]Where stories live. Discover now