5. 𝙆𝙚𝙠𝙚𝙘𝙚𝙬𝙖𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙆𝙚𝙗𝙚𝙣𝙘𝙞𝙖𝙣 𝙅𝙖𝙣𝙚

8.3K 678 52
                                    

"Udah masuk aja, kenapa nggak sekalian pindah lu" Viena menatap Maura dari arah bangku tertawa memperhatikan gadis itu sibuk membolak balik buku.

[*]

Prayoga Utomo memilih untuk tidak memperbanyak kata, baginya Viena teramat sering berjanji dan terlalu sering pula mengingkari, dustanya hampir tak terhitung lagi, kali ini ia memiliki kenakalan di luar kendali, bagi anak seusianya Viena menganggap itu adalah kenakalan yang wajar, difase penemuan jati diri ia justru menganggap kedua orang tuanyalah yang kolot belum bisa menerima kesalahan yang telah ia perbuat, meski berang menatap dingin perlakuan sang papa, didiami seperti itu cukup membuatnya tersiksa, hingga solusi terakhir memang Viena harus dipindahkan sekolah.

"Mamamu benar, sepertinya Islamic Boarding School tempat yang tepat untuk kamu, papa punya beberapa sekolah rekomendasi yang menggunakan sistem kurikulum sekolah modern, kamu akan betah berada di situ."

Viena berang menatap sang papa, ia kali ini benci jika lagi-lagi harus diancam untuk pindah sekolah apa lagi harus menggunakan kerudung, dirinya belum sepenuhnya siap untuk itu, ia bergidik duluan sebelum menjalani itu semua.

"Mau kemana kamu?, papa belum selesai bicara Vien..!"

"Pokoknya Viena nggak mau, Viena mending nggak ngelanjutin sekolah ketimbang pindah ke sekolah asrama, pokoknya Viena nggak mau, nggak mau!" Viena berlari menuju kamar, ia hanya berani bersikap demikian di hadapan Prayoga , namun tak memiliki nyali di hadapan Keny, coba saja jika ia berani bersikap seperti itu pada sang Mama, jangankan pindah sekolah, bisa-bisa ia benar-benar dipindahkan saat itu juga, lalu didiami selama berbulan-bulan tanpa uang jajan, dan pencabutan seluruh fasilitas, dan penyitaan handphone. Horor.

Prayoga Utomo menatap Viena yang berlari menjauhinya dengan beberapa kali teriakan dan bentakan, telah seberani itu Viena padanya yang ia sendiri menyadari bahwa dengan memiliki sikap toleran padanya justru akan membuat Viena kurang menghargai, tahulah Prayoga bagaimana psikologi si bungsu, jika saja pada orang tua ia seberani itu, bagaimana dengan orang lain, apa ia akan membentak dan berlaku kasar ke orang yang ia tak suka, Prayoga menangkap kelabilan diri pada jiwa Viena, ia ternyata tak hanya sekedar butuh pendidikan saja, ia pun seharusnya mendapatkan perhatian yang cukup dan Prayoga selalu instrospeksi terhadap kesalahan diri, toh ia pun tahu bawa ia memiliki kesalahan yang tak terampuni.

***

Sekolah terlihat lengang, Maura melangkah memasuki ruang kelas, semalam ia izin masuk ke sekolah , berbekal surat izin sakit dari mama ia meminta agar dibuatkan surat keterangan sakit. Hanya satu hari ia tidak masuk sekolah kini ia menjadi pusat perhatian , ia tahu bahwa angin fitnah wanita penggoda tentangnya telah menyeruak seisi sekolah, Maura menatap ke depan dan terus melangkah menuju bangku kelas paling belakang, posisi bangku yang dipilihkan Viena itu menempatkan ia paling pojok sendiri dan itu sama sekali tak mempengaruhi dirinya untuk tetap meraih prestasi.

Disusul Viena yang memasuki ruangan kelas, dengan gayanya yang awutan sedikit berantakan terlihat dari pakaiannya yang keluar , matanya memicing menatap sosok makhluk dari pojok belakang kelas yang baginya mirip The Saw yang baru keluar dari televisi.

"Udah masuk aja, kenapa nggak sekalian pindah lu" Viena menatap Maura dari arah bangku tertawa memperhatikan gadis itu sibuk membolak balik buku, merasa perkataannya tak diperdulikan, Viena justru kesal dan melemparkan kertas yang ia dapat dari sorong bangku meja. Plaaak, tepat tak meleset dari kepala Maura dengan itu Maura menatap Viena sekilas, lalu kembali menunduk, mendapati ekspresi acuh seperti itu Viena kembali kesal dan bangkit dari kursi duduk bergegas menuju bangku Maura dan mengambil paksa buku yang telah menyita kesibukannya.

Revenge and Love [Completed]Where stories live. Discover now