3

2.4K 152 15
                                    

Athaya terus mengikuti ayahnya dengan rasa penasaran yang menggebu, "apa sih dek kenapa ngikutin ayah terus? Pergi main sana!" Ucap sang ayah dengan nada jengkel namun terdengar sendu, suara ayahnya memang sangat lembut untuk ukuran seorang laki-laki. Sang ayah mengerutkan keningnya karena heran dengan tingkah si bungsu, yang sedari tadi terus mengikutinya.

"Ayah harus ikut adek ketaman belakang, cepat." Ucap Athaya sambil menarik tangan sang ayah, untuk mengikutinya ke halaman belakang.

"Yang sabar dek, pelan-pelan!" Ucapan sang ayah tak di hiraukan oleh Athaya, dia fokus menarik sang ayah melangkah keluar ke arah taman belakang.

"Nanti kalau jatuh gimana adek!" Athaya masih enggan menjawab perkataan sang ayah, hingga mereka sampai di halaman belakang yang sudah ada samudra, yang duduk di kusi dan memangku kardus disana.

Seketika sang ayah menghentikan langkahnya, wajahnya menunjukkan raut terkejut dan padangannya langsung tertuju pada kotak kardus yang di pangku samudra. Perlahan sang ayah melangkah menghampiri samudra dengan sigap Samudra berdiri melihat ayahnya, dengan sejuta pertanyaan mengapa ayahnya trus memandangi kotak kardus itu dengan raut wajah yang sulit diartikan.

Samudra memberikan kotak kardus itu pada ayahnya, sang ayah menerima kardus itu dan duduk di kursi putih yang tadi ia duduki. Samudra kemudian memandang sang adik mengisaratkan untuk duduk di sebelah sang ayah, adiknya pun dengan cepat berlari menghampiri mereka dan duduk di sebelah kiri sang ayah. Dengan sang ayah yang masih terpaku pada kotak kardus dipangkuannya sekarang.

"Ayah, boleh samudra bertanya?" Ucap samudra memecah keheningan yang beberapa saat lalu hadir diantara mereka, perlahan ayah menatap Samudra dan Athaya bergantian sebelum akhirnya beliau mengangguk perlahan, seolah memberikan ijin untuk samudra.

"Siapa lelaki yang ada dalam foto ini yah?" Samudra menyodorkan sebuah foto pada ayahnya, terlihat jelas sang ayah tengah menahan air mata, saat samudra menunjukan foto seorang pria yang mirip sekali dengan dirinya.

Ayah Samudra mengambil foto itu dan menggenggamnya dengan erat, mata sang ayah mulai memerah dan tanpa ijin, air matanya mengalir membasahi pipi lembut lelaki itu.

"Ayah kenapa nangis?" Ucap athaya sambil mengusap air mata dipipi sang ayah, kemudian ayahnya menaruh kardus itu di bawah kakinya, dan menggenggam tangan kedua putranya dan menatap mereka secara bergantian.

"Ayah akan ceritakan siapa dia, tapi berjanjilah kalian tidak akan membenci ayah, dan kalian tidak boleh membenci satu sama lain." Ucap sang ayah yang di jawab anggukan kepala serta pelukan dari samudra dan athaya, keduanya menyandarkan kepala mereka di bahu sang ayah, yang kini tengah bersandar pada kursi itu.

Sang ayah menatap langit biru dengan awan putih, semilir angin sepoi-sepoi menyapa wajah meraka. Disekitar mereka terdapat beberapa tanaman yang membuat mereka terlindungi dari panasnya terik matahari. Pikiran sang ayah menerawang mengingat kembali, masa-masa dimana ia hanya mengenal bermain dan belajar.

***

Siang itu seorang anak laki-laki tengah berlari, menyusuri jalanan desa yang sepi. Jalanan yang masih belum sepenuhnya teraspal, dan terdapat beberapa lubang kecil dijalanan itu. Dia terus berlari hingga sampai di depan sebuah rumah, bercat putih dengan pelataran yang lumayan luas. Seorang perempuan berusia 35 tahunan, tengah berdiri menjemur padi di bawah terik matahari yang panas.

"Buk, ibuk Dwi lulus buk~" teriak anak lelaki itu yang tengah berlari ke arah wanita tersebut, nafas yang memburu dan seragam putih biru dengan tag nama di sisi kanan bajunya, bertuliskan Dwi Purnama yang melekat di badannya dan tas ransel berwarna abu-abu bertengger di bahunya.

"Syukurlah dek kamu lulus." Ucap wanita itu sambil memeluk tubuh Dwi, yah mungkin terlihat lebay hanya kabar lulus SMP saja dia sampai dipeluk. Tapi kenyataannya tak sesederhana itu, karena saat usia Dwi menginjak 6 tahun, ibu nya pergi merantau ke negara tetangga selama 8 tahun. Kehidupan mereka mulai membaik ayahnya membelikan 2 bidang sawah, dan membangun rumah sederhana untuk mereka, semua dari hasil keringat sang ibu yang bekerja keras di negara tetangga sebagai seorang TKW.

"Buk mas belum pulang?" Dwi bertanya pada sang ibu sambil melihat kedalam barang kali kakaknya sudah pulang, Dharma kakak dwi berusia 18 tahun dan tengah duduk di bangku SMA tahun terakhir.

"Belum dek sepertinya masmu pulang siang katanya ada ujian praktek." Sang ibu membawa Dwi masuk kedalam rumah, kemudian meninggalkannya di ruang tengah dan menuju dapur untuk menyiapkan makan siang untuk putranya itu.

"Bu, besok aku mau daftar di SMA mas ya buk!" Dwi berjalan menghampiri ibunya di dapur.

"Terserah kamu saja, nanti jangan lupa bilang ke bapak dan masmu." Ibu Dwi masih sibuk menyiapkan makan siang untuk kedua putra dan suaminya, karena hari sudah siang biasanya sang suami akan pulang dari sawah dan makan siang dirumah. Terkadang juga Dwi akan mengantarkan makan siang bapaknya ke sawah saat pekerjaan sang bapak tidak bisa di tinggal.

"Sudah sana ganti baju,cuci tangan lalu makan." Perintah sang ibu yang hanya di jawab anggukan kepala oleh Dwi, dan berlalu pergi menuju kamarnya yang bernuansa abu-abu, dengan 1 ranjang di sudut ruangan, dan disebelah kiri pintu kamar terdapat lemari kayu kuno berplitur coklat, ada sebuah meja belajar dan kursi kayu yang menghadap jendela.

My Onyet (BxB)Where stories live. Discover now