4

1K 85 16
                                    

Dwi keluar kamar setelah berganti pakaian rumahan, dia memakai kaos berwarana hitam dengan stiker billabong di bagian depan, dan menggunakan celana pendek selutut berwarna army. Perlahan dia melangkahkan kakinya menuju meja makan, disana sudah ada sang ayah yang menunggunya untuk makan siang bersama.

"Ayah sudah pulang, yah adek lulus." Dwi berlari dengan riang menghampiri ayah dan ibunya, sang ayah pun tersenyum lebar melihat tingkah si bungsu.

"Wah anak ayah pinter." Ayahnya mengusap ujung kepala dwi.

"Maaf ya yah, adek gak masuk 10 besar." Ucap Dwi dengan tawa yang sedikit janggung, dia sedikit takut pasalnya sang kakak selalu masuk 3 besar selama ini. Dia duduk disebelah kiri sang ayah dan berhadapan dengan sang ibu, dia menatap kedua orang tuanya yang sedang menatapnya dengan senyum di wajah mereka.

"Sudah tidak apa-apa, trus belajar nanti juga bakal dapat juara." Sang ayah kembali mengusap kepala si bungsu, dan menyerahkan piring pada sang istri agar mengambilkan makanannya.

"Jangan di paksakan, belajar sewajarnya saja" ujar sang ibu seraya mengambilkan nasi dan lauk pauk untuk suaminya, dan kemudian memberikan kembali piring yang sudah terisi makanan itu kepada sang suami.

Dwi hanya mengangguk dan mulai mengambil nasi, ikan goreng, tempe dan sayur sop ke atas piringnya. Tak selang berapa saat terdengar suara motor fiz R berwarna biru milik sang kakak yang memasuki halaman rumah, derap langkah sang kakak yang mulai menghampiri mereka terdengar nyaring, senyum tergambar di wajah sang kakak dengan seragam putih abu-abu, dengan tag nama Dharma purnama dan tas ransel berwarna hitam bertengger di kedua bahunya.

"Ayah, ibu mas pulang." Dharma melangkah menuju ayah dan ibunya, kemudian mencium tangan kedua orang tuanya.

"Adek gak di panggil" Dwi bersedekap dada dan memajukan bibirnya, yang sontak membuat mereka semua tertawa melihat tingkah sibungsu, sang kakak memang kerap sekali menjahili adiknya itu.

"Maaf, mas gak liat adek~" Dharma trus menjahili dan mengusak kepala sang adik.

"Ih mas adek itu segede ini ko' bisa gak liat, ayah mas itu butuh kaca mata kuda biar bisa liat!" Dwi trus mengomel karena kesal dengan kelakuan si kakak, mereka bertiga yang melihatnya tak mampu menahan tawa dan membuat si bungsu makin kesal.

"Sudah, mas ganti baju sana, terus kita makan barsama." Suruh sang ibu kepada si sulung, yang di jawab anggukan kepala dan berjalan ke arah kamarnya untuk berganti baju.

"Dek gimana hasil pengumuman kelulusanmu?" Pertanyaan Dhamar sontak membuat sang adek mengalihkan pandangannya pada sang kakak yang berjalan kearahnya, dengan kaos kutung berwarna hitam dan celana olah raga pendek selutut warna abu-abu.

"Adek lulus mas" senyum cerah mengembang di wajah sang adik, yang terus memandang ke arah Dhamar yang mulai duduk di sebelah sang adik.

"Wah bagus, kalau sampai kamu gak lulus, mas pecat kamu jadi adek" kata-kata sang kakak mampu membuat sang adek melotot kearahnya, seakan menyatankan perang saudara. Lagi-lagi sang kakak hanya terkekeh melihat reaksi sang adik, kedua orang tua mereka hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala melihat kedua anaknya.

Setelah selesai makan sang ayah duduk di ruang tengah bersama sang kakak, Dwi membantu ibunya membereskan meja makan dan mencuci piring. Sang ibu sibuk mengupas mangga hasil dari panen di pekarangan belakang rumah.

"Mas besok adek bareng mas ya kesekolahnya" Dwi melangkah mendekati sang ayah yang duduk di kursi ruang tamu yang terbuat dari anyaman rotan, dan duduk di sebelah sang ayah dan menyandarkan kepalanya pada bahu ayahnya.

"Kamu mau daftar di SMA mas? Kenapa gak masuk pondok aja?" Tawaran Dharma membuat sang adik langsung duduk dengan tegap dan menatap sang ayah dengan penuh permohonan, seolah meminta agar tidak mendengarkan perkataan sang kakak.

"Ide bagus itu mas, mau ya dek mondok?" Goda sang ayah yang berhasil membuat si bungsu melengkungkan bibirnya kebawah, dan nafas yang memburu menahan tangis karena tidak percaya sang ayah ingin mengirimnya ke pondok pesantre. Ayah dan kakaknya menahan tawa melihat ekspresi si bungsu yang sudah ingin menangis, karena berhasil dijahili oleh mereka.

"Kalian ini suka sekali mejahili dwi." Belum sempat Dwi ingin protes dengan pernyatan ayah dan kakaknya, ibu sudah lebih dulu mengalihkan atensi mereka dari si bungsu, dengan membawa nampan berisi mangga yang sudah di kupas dan di potong kecil-kecil.

"Bu, adek nggak mau masuk pondok." Rengek Dwi pada ibunya sambil menggoyangkan tangan sang ibu, ibunya hanya mampu menghela nafas dengan kelakuan si bungsu yang mudah sekali ngambek dan menangis.

"Ayah cuma bercanda dek, gitu aja kamu udah mau nangis kayak perempuan saja." Ucap ayahnya yang terkekeh sambil menyuap mangga kedalam mulutnya, Dwi masih setia dengan raut wajah yang menahan tangis akibat kejahilan ayah dan kakanya.

"Terserah kamu mau melanjutkan kemana? Yang penting kamu bersungguh-sungguh dalam belajar, jangan main trus." Perkataan sang ayah mampu membuat senyum kembali terukir di wajah Dwi.

"Baik yah, adek janji bakal ranjin belajar!" Dwi kembali menyandarkan kepalanya ke bahu sang ayah, dengan senyum yang trus mengembang di wajahnya.

"Kamu gimana mas ujiannya?" Ibu menatap wajah anak sulungnya, yang sedari tadi hanya meperhatian tingkah sang adik.

"Sudah selesai buk, hari ini ujian praktek terakhir, hasilnya akan di umumkan minggu depan." Ucap Dhamar dengan menatap sang ibu dan ayahnya secara bergantian, Dwi hanya menyimak dan sesekali menyuap mangga ke dalam mulutnya.

My Onyet (BxB)Where stories live. Discover now