16

373 39 4
                                    

Setelah berganti pakaian, Samudra berjalan ke arah ruang tengah, menghampiri ayah dan adiknya yang tengah asik menonton TV. Dengan menggunakan kaos berwarna putih dan celana pendek warna navy, dia duduk di sebelah kiri sang ayah, dan sang adik yang tengah bersandar pada dada ayahnya di sebelah kanan.

"Yah!" Panggilan Samudra membuat sang ayah, melihat kearahnya dengan mengangkat sebelah alisnya, sang ayah sedikit heran dengan tingkah laku putra sulungnya.

"Ayah, lanjutin cerita ayah kemarin ya, mas pengen tau yah?" Sambung Samudra, ayahnya terdiam sejenak kemudian dia menghela nafas dan menata hatinya, untuk kembali membuka kisah masa lalunya.

"Iya yah, adek juga pengan tau?" Ucap Athaya dengan cepat bangun dari pangkuan ayahnya, sang ayah menggangguk dan tersenyum kepada kedua putranya.

***

7 bulan setelah kecelakaan itu, kaki Dwi sudah sembuh  seperti semula, meski dia belum boleh  melakukan kegiatan berat yang menggunakan kakinya. Sore itu dia berjalan-jalan di sekitar rumah, dia berjalan menyusuri jalan setapak di tengah hamparan sawah yang luas, dia berjalan seorang diri mengagumi keindahan sang pencipta.

Saat sedang asik duduk di sebuah pondok bambu, yang biasa di gunakan orang-orang yang berkerja di sawah untuk beristirahat, pikiran Dwi kembali tertuju pada sosok  pemuda yang berhasil menarik perhatiannya. Pemuda yang sempat membuat dadanya berdebar saat menatap matanya, Dwi masih saja terus memikirkannya karena setelah mengantar Dwi pulang saat itu, dia tidak pernah lagi datang kerumah Dwi. Di tambah sang kakak yang sudah pergi merantau, ke kota pahlawan sejak 3 bulan lalu membuat Dwi semakin frustasi, bagaimana caranya agar dia bisa bertemu lagi dengan pras.

Hari sudah mulai gelap Dwi memutuskan untuk pulang, tidak perlu membutuhkan waktu lama untuk sampai di rumah. Dia berjalan menyusuri jalan setapak di tengah sawah, hingga sampai di jalan beraspal yang tidak rata dengan beberapa lubang disana. Saat memasuki pelataran rumah dia melihat sang ibu, yang tengah menantinya.

"Kamu dari mana saja dek?" Tanya sang ibu.

"Adek dari pondok di sawah bu! Tadi adek bosen kangen juga sama mas." Ucap Dwi.

"Ya sudah, sekarang masuk udah malam!" Ayah Dwi tiba-tiba sudah ada di belakangnya. Mereka akhirnya masuk kedalam rumah, menuju meja makan.

Setelah makan malam Dwi pergi ke kamarnya, merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit. Dwi masih saja terus memikirkan, bagaimana cara agar dia bisa bertemu dengan Pras, dia sama sekali tidak tahu tempat kerja atau rumah pemuda itu.

Hari sudah beranjak pagi, Dwi keluar kamar dengan seragam sekolah lengkap dengan tas yang sudah bertengger di bahunya. Dia berjalan menghampiri ayah dan ibunya, yang sedang duduk sarapan di meja makan.

"Pagi ya, pagi bu!" Sapa Dwi

"Pagi dek." Ucap kedua orang tuanya dengan bersamaan.

"Dek, nanti ayah sama ibu mau bantu-bantu pakde, kalau kamu mau bantu nanti nyusul aja ya!" Ucap sang ibu.

"Nggak mau bu adek malu, adek dirumah aja!"

"Kamu itu mesti, kalau di ajak kumpul-kumpul sama orang banyak susah banget!" Ucap sang ayah.

Selesai sarapan Dwi beranjak dari meja makan, dia berpamitan dan tidak lupa mencium tangan ayah dan ibunya. Dia berjalan ke arah ruang tamu, perlahan-lahan dia menguluarkan motornya dari dalam rumah. Dia menyalakan motornya agar mesin motornya panas terlebih dahulu, sebelum dia melajukan motor biru kesayangannya di jalan raya.

Dwi keluar dari pelataran rumah, dan mulai melajukam motornya, di atas jalanan aspal yang tidak rata, dan sesekali dia berpapasan dengan lubang-lubang menganga di sepanjang jalan. Setelah sampai di area parkir sekolahnya Dwi melepas helm, dan menaruhnya di atas motor bebek miliknya.

Saat dia akan melangkah, tiba-tiba ada tangan seseorang yang merangkul bahunya, sontak membuatnya menoleh ke arah pemilik tangan itu, yang ternyata adalah Deni.

"Ngagetin saja kamu Den!" Ucap Dwi dengan nada kesal.

"Gitu saja kaget, Wi aku nyontek PR fisika ya?" Ucap  Deni dengan wajah memelas, Dwi yang melihatnya hanya memutar malas bola matanya, sudah jadi kebiasaan dia kerap kali menyalin tugas rumah teman-temannya. Dan yang paling sering adalah pemuda kecil yang ada di sampingnya, mereka berjalan menuju kelas.

Saat melintasi koridor sekolah, Dwi melihat aryo tengah berbicara dengan seseorang, dia mengamati wajah pemuda yang tingginya sama dengan Deni. Pemuda berkulit putih dengan lesung pipi di wajahnya saat tersenyum, Arman Yudhistira Wakil Ketua Osis. Mata Dwi langsung melotot melihat Aryo sedang berbicara dengan waketos, dia dan Deni berlari ke arah Aryo.

"Yo, Aryo!" Teriak Dwi sambil berlari, kearah Aryo.

"Aku lupa buat PR! Bantu aku ngerjainnya ya?" Dwi pura-pura meminta bantuan, Aryo yang faham dengan kedipan mata Dwi pun langsung saja mengangguk dengan cepat.

"Oh kalau gitu kita harus cepat ke kelas, saya permisi ke kelas dulu kak!" Ucap Aryo sambil menarik kedua tangan temannya.

Saat sampai di dalam kelas, Aryo mendapat tatapan intimidasi dari kedua temannya, dia dengan susah payah menelan ludahnya, berusaha mencari alasan yang tepat.

"Yo, kamu bikin masalah apa sama kak Arman?" Tanya Deni dengan nada mengintimidasi.

"Kamu ketahuan nyolong ya Yo?" Tanya Dwi dengan nada di buat seolah-olah dia sedang kaget. Aryo menghela nafas lelah melihat tingkah Dwi, ayo lah gak mungkin seorang Aryo Dimitri mencuri bapaknya punya ladang tebu di luar kota, di tambah ibunya punya usaha peternakan ayam potong, jadi mana mungkin dia mencuri.

"Aku sama kak Arm~" ucapan Aryo terhenti saat dia melihat ke arah depan kelas.

My Onyet (BxB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang