Not Your Fault (7)

90 31 1
                                    

Bocah cantik itu tertawa lepas sembari mengayunkan tangannya ke kanan dan ke kiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bocah cantik itu tertawa lepas sembari mengayunkan tangannya ke kanan dan ke kiri. Suara kicauan burung begitu kentara. Angin sepoi-sepoi yang menyentuh kulit wajah pun begitu menenangkan. Dia berlarian, bermain seorang diri sambil menatap gue dengan senyuman yang mengembang. Tangannya bergerak melambai seperti gerakan perpisahan.

"Dadah Mama..." panggilnya ke arah gue.

Perlahan kedua kelopak gue terbuka. Ternyata cuma mimpi. Gue mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Bukan rumah sakit tapi gue nggak tahu berada dimana gue saat ini. Semua peralatan rumah sakit begitu lengkap disini.

"Sudah bangun?"

Akhir-akhir ini gue sering bertemu dengannya ngebuat gue hapal betul siapa pemilik suara tersebut.

"Jangan banyak bergerak."

Melihat gue yang hendak merubah posisi ngebuat dia menahan pergerakan gue. Pak Arkana menyentuh bahu gue dan kembali membaringkan tubuh gue di ranjang.

"Saya dimana, Pak?" Pertanyaan pertama ya gue ajukan. Kenapa dia membawa gue kemari dan kenapa juga dia bisa ada di daerah rumah si tua bangka?

Gue terlonjak kaget dan baru tersadar karena telah melupakan dia. Kepala gue mengangkat sekedar untuk melihat keadaan perut gue.

Pergerakan itu membuat Pak Arkana menghela napasnya pelan. "Dia baik-baik saja," jelasnya, yang ngebuat gue sempat diam termangu. Itu berarti dia tahu kalau gue lagi mengandung, semoga dia nggak tahu kalau janin ini anak dari dia.

"Kenapa kamu tidak membicarakan masalah ini?"

"Soal?" tanya gue dengan tatapan lurus ke arah pintu berwarna cokelat.

"Janin yang sedang berkembang di rahim kamu, darah daging saya kan?"

Terlalu jauh rasanya dia tahu semua soal gue apalagi dia pasti juga tahu alasan kenapa gue bisa sampai ada disini. Jujur, gue nggak tahu mau merespon apa karena ini memang bukan kesalahan dia juga. Gue yang terlalu ceroboh, seharusnya gue bisa mencegah kehamilan ini kan? Lagipula dia nggak perlu bertanggungjawab.

"Untuk apa, Pak?"

"Aruna, apa kamu gila?"

Walaupun rasa sakit yang gue rasakan, dari ujung kepala hingga kaki, lebih sakit hati gue, ternyata Pajak Arkana sama saja. Dia nggak mengharapkan kehadiran anak ini.

"Bapak nggak perlu bertanggungjawab. It was my fault," jelas gue sambil mengusap perut gue yang masih rata, gue kembali menegaskan kepadanya. "Baik dia ataupun Bapak, kalian sama sekali nggak bersalah. Not your fault, it's not your fault. Bagi saya, ini sudah menjadi resiko yang harus saya terima. Saya yang memilih pekerjaan itu."

"Ayo kita menikah."

Gue tersenyum tipis. Bukan hanya gue yang gila. Ternyata dia juga sama gilanya. Bagaimana bisa dengan wajah datarnya dia mengajak gue untuk menikah? Apa dia lupa dengan anak dan istrinya itu?

JUST IMAGINES JUNG JAEHYUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang