Can We Go Back? (5)

62 26 2
                                    

"Lepasin saya, Mas. Kita bisa bicara nanti, nggak di sini," kata gue santai. Santai banget malah karena gue merasa capek. Mas Aga kembali membawa gue ke ruangan yang dialihfungsikan menjadi gudang, tempat dimana kami berdua pernah mengunjungi ruangan ini.

"Sampai rumah jam berapa kamu semalam?"

"Dua belas."

"Inggit..."

"Apa? Mas mau bilang kalau saya keterlaluan. Mas mau marah atau cemburu kalau saya jalan sama Mas Dimas?" Retina gue menatap dirinya yang terlihat sedang menahan emosi. Dia masih sadar dimana posisi kami sekarang. Sudah pasti dia sedang mencari cara agar kami tidak menarik perhatian yang lain.

"Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu mau ke Kota?"

"Bukannya Mas Aga lagi sibuk? Saya nggak mau mengganggu Mas Aga yang sedang berusaha menenangkan Mira yang masih dalam suasana berkabung." Meski mengucapkannya dengan santai, tersirat kalimat sindiran disana.

"Git, tolong."

"Tolong apa? Mas mau marah karena saya pergi bersama Mas Dimas ke kota yang kebetulan saya dan Mas Dimas nggak sengaja ketemu di pertigaan lampu merah? Salah kalau saya menerima tawaran Mas Dimas yang pada saat itu dia juga ada keperluan di kota? Apa Mas juga lupa kalau Mas pernah menitipkan saya pada Mas Dimas, dan Mas merasa baik-baik aja kan?"

"Git, itu situasi yang berbeda."

"Apanya yang berbeda Mas?"

"Saya nggak mau kita ribut."

Gue tersenyum tipis. "Saya juga nggak ngajak kamu ribut," ungkap gue. "Mas nggak mau saya dekat sama Mas Dimas atau dokter Izhar kan? Tapi Mas nggak bolehin saya cemburu sama Mira karena situasinya berbeda. Iya kan? Mas sadar nggak kalau Mas itu curang."

Mas Aga terlihat lebih santai. Dia kembali berbicara dengan nada lembut. "Saya harus jelasin apa lagi ke kamu? Bukan maksud saya buat melarang kamu untuk cemburu, sayang. Kamu nggak perlu cemburu karena saya nggak ada apa-apa sama Mira. Yang kamu lihat kemarin itu, nggak seperti apa yang lagi kamu pikirin. Dia yang memaksa saya untuk makan siang bersama dan dia juga yang memaksa saya untuk selalu ada buat dia selama tiga hari belakangan. Kalau memang kamu nggak suka dengan itu ,saya bisa bicara dengan dia. Saya bisa jujur kalau saya sudah memiliki calon istri. Saya bisa beralasan kalau saya harus menjaga hati calon istri saya kalau memang kamu mau saya melakukan itu."

"Mas?"

"Git, kamu lebih tahu bagaimana perasaan saya ke kamu. Kita cuma salah paham. Nggak ada yang perlu kamu khawatirin. Masalah kamu yang ke kota. Iya, saya mengaku kalau saya marah karena kamu pergi dengan Dimas tanpa ijin dari saya. Kamu nggak lupa kan kalau dia masih menaruh hati sama kamu? Jangan dikira saya nggak melihat kebersamaan kalian dua hari yang lalu. Saya masih bisa melihat bagaimana cara dia memperlakukan kamu dan memandang kamu. Dimas masih mencintai kamu, Inggita."

Raut wajahnya berubah drastis. Rahangnya seketika mengeras. Entah kebodohan dari mana gue justru menimpali kalimatnya dan semakin membuatnya tersulut emosi. "Inggit tahu Mas, Inggit tahu kalau Mas Dimas masih memiliki rasa buat Inggit, tapi apa Inggit bisa melarang? Enggak kan, Mas?"

Mas Aga menatap gue dalam diam. "Sekarang gantian saya yang bertanya. Wajar nggak saya cemburu dengan Mira kalau saya tahu dia tertarik sama kamu?"

"Kamu tahu darimana, Git?"

"Mira sendiri yang bilang ke saya, Mas. Dia mulai tertarik sama kamu sejak kamu menginap di rumah Pak Kades."

"Inggit, kalau memang kenyataannya seperti itu. Saya juga nggak bisa melarang dia untuk menyukai saya."

"Ini yang saya bilang, kamu itu curang, kamu meminta saya buat menjaga jarak dengan pria lain tapi kamu sendiri nggak melakukan itu, kamu nggak menjaga jarak dengan Mira. Kamu selalu memaklumi tindakan Mira dibalik kata kasihan atau kemanusiaan."

"Git, cukup sampai disini ya. Jangan diperpanjang lagi. Biar saya yang bicara ke teman kamu itu kalau saya sudah memiliki calon istri."

"Mas, kalau misalnya saya menyerah gimana? Kelihatannya dia sangat menyukai kamu. Mira bukan cuma sekedar teman Mas. Dia udah nggak punya siapa-siapa lagi sedangkan saya masih punya bapak dan ibu."

"Git, apa maksud kamu?"

"Mira bukan hanya sekedar teman. Mira itu keponakan Bapak. Om Wiyoko adalah adik kandung Bapak," ungkap gue. Dia terlihat terkejut dengan fakta yang baru aja dia dengar.

"Kenapa kamu nggak bilang? Kenapa dia bisa nggak tahu kalau saya dan kamu memiliki hubungan?"

"Mbak Mira kerja di Kota Mas. Dia itu guru di salah satu sekolah negeri di Malang dan sedang melanjutkan kuliah Magisternya. Kalau dipikir-pikir, Mira jauh lebih pantas bersanding dengan kamu dibanding saya."

"Git, berhenti, saya nggak mau dengar kamu bicara ngawur lagi."

Seharusnya memang kami nggak berada di tempat ini sampai akhirnya dia tersulut emosi dan meninggalkan gue seorang diri di ruangan yang minim cahaya. Beruntung para penghuni tak kasat mata itu nggak menjahili gue. Mengunci gue di ruangan ini misalnya.






🍑






"Kamu mau kemana Git?"

Gue menoleh mendapati Mira memasuki kamar. Kamar yang gue tempati ketika gue menginap di rumah ini. "Aku mau ambil beberapa pakaian."

"Kenapa nggak pakai punyaku aja?"

"Aku kan menginap lama disini buat nemenin Mbak Mira. Mbak cuti kerja sampai dua Minggu kan?"

Mira mengangguk, terkadang gue menyebutnya dengan panggilan Mbak atau hanya memanggil namanya. Gue terlalu kaku kalau harus menyebut nama karena sejujurnya dia lebih tua dari gue, namun, kalau dilihat dari adat bapak dan ibu, gue yang lebih tua dari Mbak Mira dan seharusnya dia yang memanggil gue dengan sebutan Mbak. Pernikahan kedua orang tuanya memang digelar setelah orang tua gue menikah. Tapi kehadiran gue di dalam pernikahan bapak dan ibu cukup lama dinanti. Gue baru hadir setelah usia pernikahan Bapak dan Ibu memasuki empat tahun.

"Git, aku mau minta bantuan kamu."

"Bantuan apa Mbak?" tanya gue penasaran. Beruntung tangan gue itu terlatih. Gue mendengarkan ceritanya sambil melipat pakaian dan juga mengunyah camilan yang dia beli.

Gue beritahu satu fakta bahwa K-Popers itu merupakan anak-anak yang memiliki segudang talenta. Telinga mendengar, tangan bekerja, mata melihat, mulut menguyah, sedangkan otak pun ikut bekerja untuk menterjemahkan bahasa. Apakah ada yang bisa melakukan itu secara menyeluruh dalam satu waktu?

"Git, bukan cuma suka, sepertinya Mbak udah mulai cinta dan sayang sama Mas Sagara. Kamu bisa bantu Mbak? Cari informasi tentang Mas Sagara. Apa yang dia sukai atau apapun itu, pokoknya semua info tentang dia. Cuma kamu yang jadi harapan Mbak. Mbak nggak bisa minta tolong sama Ratih karena dia lagi ngebucinin dokter Izhar."

"Dokter Izhar sama Ratih pacaran?" tanya gue nggak percaya.

"Belum. Mbak juga nggak tahu sih kelanjutan cerita Ratih bagaimana. Yang jelas dari dulu Ratih udah naksir sama dokter Izhar. Mau ya Git? Cuma Mas Sagara yang bikin semangat Mbak buat menjalani hidup setelah kepergian bapak sama ibu."

Mas Aga, Inggit harus bagaimana?










JUST IMAGINES JUNG JAEHYUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang