Posesif Boyfriend (2)

178 44 3
                                    

Dia menggebrak meja ngebuat gue juga ke dua adiknya terlonjak kaget. Gue menatap Jeno dan Gavin secara bergantian, merasa kasihan tentunya. Karena gue, mereka mendapat amukan dari Fabian. Gue aja nggak ngerti kenapa sekarang cowok itu lebih emosian.

"Explain?"

Nggak ada yang bergeming dari kami bertiga. Kami bertiga memilih untuk menunduk. Gue pribadi udah capek sama sikap dia yang kayak gini. Semua bisa diselesaikan dengan kepala dingin. Kenapa harus marah-marah?

"Jeno? Ga—"

"Biar aku yang jelasin," sela gue cepat. Selama ini mereka yang banyak membantu gue. Rasanya nggak ada salahnya kalau gue menjadi garda terdepan buat mereka.

"Kamu nanti," jawab Mas Abi.

Bahu gue merosot seketika. Gue tetap nggak mau membiarkan dia tersulut emosi yang nggak ada habisnya. "Nggak usah dibesar-besarkan—" ucapan gue terpotong tatkala Keenan memasuki rumah.

"Keenan pulang." Raut wajahnya yang lelah berubah menjadi bersemangat ketika dia melihat gue ada di ruang tamu. "Mbak Laura!" Bocah yang baru memasuki jenjang pendidikan menengah ke atas itu berlarian ke arah sofa yang gue duduki dan bersiap untuk memeluk tubuh gue. Itu yang biasanya dia lakukan kalau kami bertemu. Namun, pergerakannya terhenti ketika Fabian memintanya untuk masuk ke dalam kamar.

"Nan, masuk ke kamar."

Keenan menolak. "Tapi Mas, Keenan masih kangen sama Mbak Laura," ujarnya dengan wajah memohon.

"Kalau Mas bilang masuk ke kamar ya masuk ke kamar. Cepat masuk ke kamar kamu. Sekarang Keenan," ujar dia mengintimidasi. Gue nggak pernah tahu kenapa Fabian bisa segalak itu sama Keenan.

Tatapan gue teralih ke arah oknum yang sedang membuat gaduh di malam ini. Setelah bada Maghrib dia menyusuli gue ke salah satu Mall dimana gue dan Gavin berada lalu dengan seenaknya dia membawa gue pergi ke rumah ini, rumah yang dia tinggali bersama dengan adik-adiknya tanpa kedua orang tua karena orang tua mereka sudah lama tiada.

Keenan menghentakkan kakinya menjauh dari ruang tamu. Sambil merengut dia bertolak menuju kamarnya. Gue kembali menatap Fabian dengan tatapan sengit sedangkan dia memilih untuk mengalihkan pandangan ke arah lain.

Capek banget ya Allah. Mau udahan aja rasanya.

"Sekarang jawab, kenapa Jeno nggak kasih tahu Mas kalau Jeno nggak bisa jemput Mbak Laura?"

Cuma karena masalah ini dia bisa sampai seemosi ini? Ada gila-gilanya ini orang.

"Ada rapat dadakan di kampus," jawab Jeno dengan wajah datar. Dia nggak salah karena Jeno merupakan anak organisasi yang tergolong cukup sibuk di kampusnya.

"Kenapa kamu malah minta Gavin buat jemput? Kenapa nggak kasih kabar ke Mas kalau kamu nggak bisa?"

"Gavin kok yang minta," sahut Gavin. Mungkin dia nggak mau kalau sampai saudara kembarnya mendapat amukan karena yang gue tahu, Fabian nggak pernah bisa marah lama-lama dengan Gavin.

"Kalian kan tahu kalau Mas nggak suka kalian ngelakuin sesuatu tanpa kasih tahu Mas lebih dulu. Terus kenapa kalian seperti ini, hum?"

"Mas, udah," pinta gue sebab seharusnya pembahasan ini cukup kami berdua, nggak perlu melibatkan mereka yang nggak tahu apa-apa. Lagipula gue juga baik-baik aja kan sekarang? Nggak ada lecet di tubuh gue sama sekali begitupun dengan ke dua adiknya.

Gue meminta mereka untuk memasuki kamar masing-masing. "Jeno sama Gavin, kalian ke kamar sana."

Nggak ada pergerakan dari keduanya ngebuat gue kembali membuka suara. "Udah nggak apa-apa. Masuk sana," sambung gue lagi.

JUST IMAGINES JUNG JAEHYUNWhere stories live. Discover now