Can I Trust You? (2) ⚠️

125 30 5
                                    

Bukan hanya hati gue yang merasa sakit, mata gue pun ikutan pedih karena saking sulitnya buat menangis. Gue mau percaya dengan apa yang Mas Abi bicarain di telpon tapi suara wanita yang mendesah di dekat Mas Abi ngebuat pikiran negatif bermunculan di kepala gue.

Dia bilang dia lagi rapat? Rapat apa yang sampai terdengar suara gaduh seperti yang gue dengar tadi. Bahkan Mas Abi terlihat biasa aja ketika gue menghubungi dia. Nggak ada rasa khawatir sama sekali. Mana yang katanya gue bakalan menjadi prioritas dia? Ternyata dia nggak bisa gue andalkan padahal nyeri di perut gue semakin menjadi. Gue butuh seseorang buat menemani gue ke rumah sakit. Rasanya nggak kuat kalau harus kayak gini apalagi sudah seminggu lebih tamu bulanan gue nggak berhenti.

"Aku lagi ada rapat penting sayang, nanti aku minta Jeno buat nganterin kamu ke rumah sakit ya?"

"Tapi Mas?" Terdengar suara gaduh di sana, gue menajamkan telinga dan nggak mungkin gue salah mendengar kalau seorang wanita sedang mendesah dengan kencang. Tanpa menjawab, Mas Abi mematikan sambungan telepon secara sepihak.

Pertanyaan gue buat dia masih tetap sama. Dapatkah gue percaya sama dia?

Can I trust you, Mas?

Banyak alasan yang membenarkan jawaban yang ada di otak gue. Satu kata yang bikin kepala gue semakin sakit. Perselingkuhan. Ciri-cirinya jelas ada pada Mas Abi.

Pertama, dia selalu lembur, pulang di saat gue sudah tertidur bahkan di hari libur pun dia berangkat ke kantor sampai ngebuat ketiga adiknya heran. Serajin apa sang kakak sampai harus meninggalkan istrinya, setahu mereka sang kakak terkenal dengan kebucinannya.

Kedua, wangi parfum wanita di kemeja nya. Sampai gue harus mencium wangi parfume yang biasa gue gunakan. Nyatanya berbeda dengan milik gue. Gue sempat bertanya masalah ini dan apa jawabannya.

"Client aku bukan cuma cowok sayang. Ada beberapa client cewek dan kamu juga nggak lupa kan kalau rata-rata aku berurusan sama sekretaris mereka."

Alibi yang cukup kuat, tapi kenapa wangi parfum itu begitu menyengat. Gue bukan wanita yang bodoh. Masa iya parfume koleganya bisa menempel di kemeja dia. Nggak mungkin kalau cuma karena salaman. Udah pasti ada skinship yang lain kan? Apalagi gue selalu mencium wangi parfume yang sama. Itu berarti dia bertemu dengan koleganya yang sama di setiap hari kan?

Ketiga, dia nggak pernah mau gue bawain bekal lagi dengan alasan karena dia selalu makan siang bareng koleganya. Jujur, gue sakit hati waktu gue mendapat penolakan itu.

"Aku nggak mau kamu capek. Nggak usah ya bawain bekal makan siang buat aku lagi. Takutnya nggak kemakan. Nanti malah mubazir."

Sumpah gue bingung banget sama sikap Mas Abi sekarang. Gue sendiri nggak tahu apa yang bikin dia jauh berubah dari sifat dia yang dulu-dulu.

Keempat, barusan terjadi. Ada suara desahan seorang wanita di teleponnya. Mas Abi lagi ngapain? Beneran dia mau udahan sama gue? Baru dua bulan menikah masa iya harus berujung dengan perceraian?

Gue kembali meremat perut saat rasa sakit itu kembali menyerang sampai akhirnya gue nggak bisa melihat apapun lagi. Pandangan gue mengabur dan semuanya menjadi gelap.





🍑





"Kamu, beneran hamil?" Pertanyaan yang bikin hati gue seketika mencelos seakan dia nggak menyukai fakta bahwa gue mengandung anak dia. Gue sendiri pun nggak tahu, ternyata rasa sakit yang gue alami selama berhubungan sama dia karena gue nggak menyadari ada janin yang sedang berkembang di rahim gue. Gue merasa bersalah akan itu. Kenapa bisa gue bodoh banget dan nggak merasakan apapun kalau selama ini gue hamil bahkan kehamilan gue pun sudah menginjak usia hampir 10 Minggu.

Gue juga nggak paham bagaimana perhitungan dokter ketika menjelaskan tadi, yang jelas saat gue menikah dengan Mas Abi gue memang baru banget selesai datang bulan.

"Kamu nggak seneng kalau aku hamil?" tanya gue dengan wajah nanar. Dia menarik pergelangan tangan gue.

"Nggak, bukan gitu sayang, aku masih belum bisa terima info yang baru aku dengar tadi."

"Kamu nggak terima kalau aku hamil anak kamu?" Gue kembali menegaskan karena semakin sakit hati mendengar pernyataan dia barusan. Kenapa dia belum bisa menerima info kehamilan gue? Apa ada perempuan lain yang juga dia hamili di luaran sana?

"Sayang... Nggak gitu maksud aku. Maaf kalau aku bikin kamu jadi sedih. Jangan nangis." Jemarinya tergerak menghapus bulir air mata yang menetes di pipi kiri gue. Rasanya sesak banget. Mas Abi terlihat nggak menyukai kalau gue mengandung darah dagingnya. "Aku seneng kok kalau kamu hamil. Jangan punya pikiran yang macam-macam. Makasih ya? Hidup aku makin lengkap sekarang. Jangan terlalu capek ya? Aku mau kamu resign dari pekerjaan kamu."

Resign?

Kalau gue pisah sama dia. Gue nggak memiliki pekerjaan, terus gue mau kasih makan anak gue apa nanti? Nggak mungkin kan kalau gue terus bergantung sama Papa dan Mama apalagi Bang Doni?

"Laura, kamu dengar aku kan?"

"Buat resign, maaf aku nggak bisa Mas. Nggak selamanya aku bisa bergantung sama kamu."

"Hey, kamu bicara apa? Aku itu suami kamu. Udah sepantasnya kamu bergantung sama suami sendiri."

"Tapi nggak selamanya pernikahan kita bisa langgeng."

"Laura, kamu ini kenapa? Jangan mikir yang aneh-aneh. Aku nggak mau kita ribut. Kamu lagi hamil sayang, kasihan sama janin yang ada di rahim kamu, dia perenang yang handal. Aku bangga sama dia."

Bisa-bisanya.

"Resign ya? Biar aku sendiri yang bilang sama Bang Dio."

"Nggak, biar aku aja."

"Oke, aku bakal minta si kembar buat tinggal di rumah lagi. Aku usahain buat selalu pulang cepet."

"Mas, nggak ada yang mau kamu ceritain?" Gue sengaja bertanya. Gue harap dia mau menceritakan apapun tentang hari ini, termasuk suara wanita yang terdengar di telinga gue.

"Bilang sama aku, kalau ada yang ganggu pikiran kamu."

"Perempuan itu siapa?" tanya gue to the point. Capek kalau harus terus menerus memberi kode sedangkan orang yang gue beri kode pun nggak pernah peka atas kesalahannya sendiri.

"Kalau kamu udah bosen sama aku, bilang ya? Aku nggak akan mengekang kamu dengan meminta kamu buat bertahan. Aku kasih kamu kebebasan."

Mas Abi mengusak surainya kasar, dengan nada tertahan dia kembali membuka suara. "Kamu kenapa bisa ngomong kayak gini? Kamu nuduh aku selingkuh?"

"Nggak, makanya aku tanya. Siapa perempuan yang lagi sama kamu waktu aku telepon tadi?"

Mas Abi berdecak pelan. "Dia Gina. Teman kamu, kamu nggak hapal suara teman kamu sendiri?"

"Kamu selingkuh sama Gina, Mas?" Mata gue memicing dan semakin panas. "Tega banget kalian."

"Astaga. Kamu nggak percaya sama suami sendiri?"

"Aku mau percaya tapi beberapa hari belakangan ini, cukup ngebuktiin kalau kamu memang ada main sama perempuan lain."

"Tuduhan kamu nggak berdasar, sayang."

Suara gebrakan pintu ngebuat gue terperanjat kaget. Jeno berjalan menghampiri sang kakak. Tanpa basa-basi suara pukulan keras itu terdengar, mendarat sempurna tepat di perut suami gue. Kejadiannya begitu tiba-tiba. Gue pun nggak bisa mengantisipasi hal seperti ini bakalan terjadi. Dengan rahang yang begitu tegas Jeno menarik kerah Mas Abi. "Minimal talak dulu istrinya kalau memang mau mengikuti jejak si brengsek."

Setelah mengatakan itu, Jeno menoleh ke arah gue. "Mbak nggak perlu khawatir. Kalau pun nanti anak yang lagi Mbak kandung nggak punya Papa. Jeno siap kok jadi Papa nya."














JUST IMAGINES JUNG JAEHYUNWhere stories live. Discover now