Can We Go Back (4)

72 28 2
                                    

Mention of death.

---




Tepat satu tahun kepergian sang ibu, Mira juga harus kehilangan sang ayah. Om Wiyoko pergi meninggalkan anak semata wayangnya tanpa pamit dan pesan. Rasanya nggak tega melihat bagaimana rapuhnya Mira saat mengetahui ayahnya telah tiada. Berkali-kali dia tidak sadarkan diri, berkali-kali pula dia menangis, meronta karena belum bisa menerima kenyataan pahit itu.

"Git, aku udah nggak punya siapa-siapa lagi." Sebuah kalimat yang mampu membuat hati gue terenyuh, ikut merasakan sedih sampai kami meluapkan perasaan yang ada di dalam hati dengan cara menangis bersama. Kalau gue ada di posisi dia sekarang, mungkin gue bakal memilih melakukan hal gila. Lebih baik gue mati kalau harus kehilangan ibu dan bapak secepat itu.

Rasa syukur semakin menyelimuti diri. Gue beruntung memiliki orang tua berhati malaikat seperti bapak dan ibu, bahkan sejak kemarin bapak dan ibu selalu mendampingi Mira.

"Ikhlaskan ya nduk. Mulai sekarang kalau ada apa-apa, Mira bisa cerita ke Bude atau Pakde dan juga Inggit," ucap ibu sembari memeluk tubuh Mira.

"Bu, Inggit taruh makanannya di nakas ya? Kalau ada apa-apa bisa kabarin Inggit. Inggit ada di belakang, mau bantu-bantu Bude Lasih," jelas gue karena sejak kemarin Mira juga belum mengisi perutnya.

Ibu mengangguk memberi jawaban.

Tatapan gue teralih pada genggaman tangan Mira yang nggak pernah lepas dari Mas Aga. Pandangan kami pun bertemu. Mas Aga menatap gue dengan tatapan yang sulit diartikan.

Sejujurnya gue merasa jahat karena merasa cemburu pada kedekatan Mas Aga dengan Mira yang baru bertemu dua hari belakangan.

"Git, kamu harus mengerti kalau Mira sedang berduka."

Kalimat Mas Aga semalam begitu teriang di kepala. Gue merasa salah tentunya karena sempat berpikir kalau Mira sedang mencoba merebut hati Mas Aga dari gue.

Membantu Bude Lasih merupakan sebuah alibi. Gue hanya perlu mencari udara segar sambil menatap langit yang tidak dipenuhi bintang seperti malam biasanya seakan mereka juga ikut merasakan duka yang baru saja menghampiri. Duka yang gue rasa nggak pernah ingin dirasakan oleh siapapun yaitu duka atas kepergian seseorang yang kita kasihi.

Inggit, jangan punya pikiran bodoh!

"Git?"

Refleks gue mendongkak. Gue pikir suara pria yang memanggil gue adalah suara bariton milik Mas Aga. Nyatanya gue justru melihat sosok Mas Dimas yang ikut duduk di samping gue.

"Udah malam. Kenapa kamu malah sendirian disini?"

Gue tersenyum tipis, enggan merubah posisi, masih setia menatap ke arah langit. "Nggak apa-apa Mas. Saya cuma butuh udara segar," jawab gue seadanya.

"Saya turut berduka cita ya?"

Gue menoleh mendapati dia yang memegang pundak gue pelan. Dia yang tahu seberapa dekat gue dengan Mira memberikan ucapan belasungkawa. "Terima kasih."

"Saya baru tahu kalau Mas ada di Sragen," lanjut gue mencari topik.

"Kebetulan saya masih harus mengurus berkas kepindahan."

"Pindah?"

Mas Dimas terkekeh. Kali ini dia menatap ke arah langit. Menghirup udara malam dan menghembuskannya secara pelan. "Saya dipindahtugaskan di Jakarta," ucapnya tanpa melihat lawan bicaranya.

Gue mendadak diam. Pertanyaan ini tiba-tiba terlintas dibenak gue. "Bukan karena saya kan, Mas?"

"Kalau jawabannya iya, apa kamu mau bertanggungjawab?" Respon dari dia sukses ngebuat gue semakin merasa bersalah. Mas Dimas tertawa kecil. Dia mengusap kepala gue sekali. "Bukan karena kamu, Inggita. Kenapa sih kamu selalu mudah tertipu?"

JUST IMAGINES JUNG JAEHYUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang