Because Of You (4)

86 30 2
                                    

Warning ya : Ada tindakan kekerasan.
---

Tatapan tajamnya itu menghunus seperti pisau belati yang siap menancap di tubuh ini. Aku tidak tahu kenapa dia bisa melihatku dengan tatapan mematikan seperti itu. Padahal sejak meeting bersama calon client penting pun aku hanya diam sesuai dengan arahan yang dia katakan.

"Gara-gara kamu saya kehilangan projek besar!"

Aku beringsut mundur karena dia yang menggebrak meja dengan kasar, ditambah dia melempar seluruh berkas di lantai dan sebagian menyentuh ujung pelipisku. Mataku memanas, kejadian beberapa tahun silam terus berputar. Bukan hanya sebuah dejavu karena aku pernah mengalaminya.

Seluruh tubuhku mulai bergetar, aku semakin beringsut, berjalan mundur, semakin mundur hingga terhalang sofa di belakang. Memory itu semakin jelas terlihat saat dimana dia memarahiku habis-habisan, menampar, bahkan memukulku dengan gesper miliknya tak segan-segan dia menodong pisau ke arahku untuk menakut-nakutiku agar aku mau melayani teman pentingnya itu.

"Cepat bersiap! Kamu mau pisau ini menyentuh kulitmu? Hah?"

Suara dentingan pisau terjatuh membuat mataku terpejam kuat. Keringat dingin mulai merembes keluar dari pelipis, dada, dan seluruh tubuh. Detak jantungku pun semakin tidak karuan. Pasokan oksigen mulai berkurang, aku merasa kesulitan untuk bernapas.

"Mau hidup enak itu ya harus bekerja. Saya kasih kamu segalanya. Pengobatan Ibu kamu yang nggak sedikit biaya itu. Seharusnya kamu bersyukur."

"Tapi, nggak dengan cara ini, Mas. Aku itu istri kamu."

Suara pukulan begitu nyaring dan memekakkan telinga. Vas bunga yang tidak bersalah pun menjadi sasaran. Setelahnya suara ringisan tidak tertahankan terdengar begitu pilu. Pecahan vas itu mengenai kakiku hingga darah mengalir dan merembes keluar. Dia hanya tertawa melihat bagaimana kondisiku. Tatapannya melihat ke arah lantai yang sudah dipenuhi darah. Tanpa berniat menolongku, Jeffryan berjalan meninggalkan aku seorang diri.

Rasa sakit yang aku alami tidak seberapa dengan rasa sakit yang selalu dia torehkan untukku di setiap harinya.

"Itu akibatnya kalau kamu nggak nurut apa kata saya."

Air mataku menetes. Tubuhku limbung dengan tangisan yang mulai terisak.

"Nara?"

Jeffryan berjalan mendekatiku.

"Menjauh."

"Nara?"

"Pergi," ucapku lirih.

Dia semakin mendekatiku dan duduk berjongkok memposisikan dirinya agar bisa melihatku secara lebih dekat. "Saya minta maaf," katanya merasa bersalah. Aku tak melihat ada ketulusan di sana. Jeffryan tetap menjadi pria terbrengsek yang pernah aku temui. Kenapa Tuhan mempertemukan aku dengan pria seperti dia?

Aku menggeleng pelan. "Nggak, saya nggak akan pernah bisa maafin kamu."

"Nara, kamu baik-baik saja?"

"Pergi, jangan sentuh!"

"Nara, ini saya, Jeffryan. Atasan kamu."

"Kamu orang jahat. Seumur hidup, saya nggak akan pernah maafin kamu. Saya benci kamu. Saya—"




🍑




Aku terbangun mencium bau obat-obatan yang begitu menyengat di indera penciuman. Tanpa bertanya sudah dapat dipastikan ada dimana keberadaanku saat ini.

Orang pertama yang ku lihat saat aku membuka kelopak mata adalah seorang pria yang duduk sofa. Dia Yessa lalu pandanganku berpindah ke arah pria di sebelahnya, ada Jeffryan yang juga sedang menimpali ucapan Yessa. Mereka belum menyadari bahwa aku sudah sadar dari siuman.

"Sikap lo terlalu berlebihan Jeff, cuma karena kalah tender sampai bikin anak orang masuk rumah sakit. Apa nggak punya trauma dia? Dia baru aja kerja di tempat lo. Lo mau bikin perusahaan lo cepet colaps? Dengan sikap lo yang kayak gini, Orang luar bakalan tahu, Jeffryan."

"Gue juga nggak tahu kalau dia bisa bereaksi berlebihan gitu."

"Coba deh lo mikir kalau lo ada di posisi dia gimana? Tiba-tiba disalahin. Terus dipukul pakai berkas."

"Gue nggak sengaja ngelakuin itu."

Yessa terlihat jengah dengan argumen temannya. "Bisa nggak lo berubah ke arah yang lebih baik lagi bukan malah tambah mundur dan semakin emosian. Lo pernah ngelakuin hal kayak gini ke orang yang nggak bersalah, Jeff. Lo nggak lupa sama apa yang udah pernah lo lakuin ke Syaqilla kan? Gue cuma nggak mau lo menyesal sama kayak apa yang udah pernah lo lakuin ke istri lo. Sekarang lo cari keberadaan dia aja susah kan? Gimana coba mau minta maaf? Bisa aja kan itu anak bunuh diri?"

"Lo bisa die—"

"Nara?" Yessa berjalan menghampiri ranjang setelah tatapan kami bertemu. "Kamu udah sadar? Apa yang sakit? Maaf ya, kamu harus terbiasa dengan sikap atasan kamu yang terkadang gila itu."

"Nggak apa-apa, Pak. Cuma luka gores untung aja saya nggak mati," sarkasku sembari menatap Jeffry yang sedang menunduk.

"Maaf ya, belum lama kerja di perusahaan JC kamu malah jadi korban kayak gini. Saya pastiin Jeffryan nggak akan melakukan hal yang sama ke kamu lagi. Kamu masih ada kontrak kerja tiga bulan. Kerjaan di kantor juga lagi banyak-banyaknya, kalau kamu mau resign nanti dulu ya, saya cari kandidat pengganti buat kamu dulu. Tolong buat ditahan dulu. Saya minta tolong juga jangan sampai orang lain tahu apa yang sudah terjadi tadi. Perusahaan bakal kasih kompensasi ke kamu."

Segampang itu kalian menyelesaikan semua masalah dengan uang, bahkan di saat aku menjadi Nara? Kalian memang nggak memiliki hati.

"Jeff, sini lo, minta maaf."

Tanpa memberontak Jeffry berjalan mendekati kami. Mereka memang sedekat itu sampai-sampai Jeffry mempercayakan Yessa yang merenggut mahkotaku.

Jelas dua orang ini tidak akan bisa mengenaliku karena wajahku yang telah berubah. Setelah meninggalkan Jeffry, aku mengalami kecelakaan dan mengharuskan untuk melakukan operasi plastik di bagian wajah.

Dan tahu apa artinya? Semua yang menimpaku setelah aku bertemu dengannya tentu harus dia yang bertanggungjawab. Tidak ada yang patut disalahkan kecuali dia.

"Cepetan elah. Laki bukan sih lo."

"Saya beneran tidak apa-apa Pak Yessa, tidak perlu berlebihan seperti ini. Meskipun saya sendiri tidak tahu apa salah saya. Tapi saya yang seharusnya minta maaf. Maaf Pak Jeffry, karena saya sudah buat Bapak kesal dan kehilangan projek besar."

Dia tidak bergeming. Hanya bisa menatapku dalam diam. "Tetapi, kalau boleh, untuk ke depan. Tolong jangan seperti ini lagi. Jujur saya takut dan memiliki trauma tersendiri. Sa- saya pernah menjadi korban kekerasan, saya pernah hampir dibunuh, dicekik, dipukul—"

"Kamu korban KDRT? Tio ngelakuin itu?" Bukan Jeffry yang menyela ucapanku tapi Yessa. Pria itu melebarkan matanya tak percaya.

"Bukan Pak. Mas Tio orang yang baik, sangat baik sampai saya sendiri merasa tidak pantas berada di sisinya. Ada orang lain yang melakukan itu dan saya tidak bisa menyebutkan nama. Tapi satu hal yang pasti, sampai kapan pun saya tidak akan pernah memaafkan dia," tekanku. Pandanganku tidak pernah lepas dari Jeffry begitu pun dengan dia. Pria itu terlihat sedikit gusar. "Luka fisik mudah diobati tapi luka batin tidak akan pernah secepat itu pulih. Tidak ada yang mau memaafkan pelaku kekerasan. Menurut saya perilaku itu lebih kejam dibanding membunuh seseorang."

Jeffry kalau kamu tahu apa yang sedang aku rasakan sekarang. Rasanya aku ingin meraih pisau itu lalu menancapkannya tepat di jantungmu.














JUST IMAGINES JUNG JAEHYUNWhere stories live. Discover now