Because Of You (3)

79 31 0
                                    

"Cinta dan Benci itu beda Tipis, Ra."

Aku membeo mendengar perkataan dari pria yang selalu membantuku agar aku bisa menjauh dari hidup Jeffryan. Bicara soal cinta dan benci, yang aku tahu dua-duanya memiliki emosi yang cukup kuat.

Cintaku untuknya sudah hilang dengan sekejap sedangkan kebencian yang aku rasakan muncul karena pengalaman pribadi saat aku hidup bersama dengan dirinya. Kenangan itu sungguh berbekas, rasa sakit hati itu pun masih ada sampai detik ini dan rasanya tak akan semudah itu aku memaafkan dirinya.

Masih terekam dengan jelas diingatan, bagaimana seorang Jeffryan Adhitama menganggapku sebagai pelunas hutang ayahku sendiri. Bagaimana dirinya memaksaku menjual diri untuk membayar hutang Ayah.

Bukan hanya Ayah yang menghancurkan hidupku tapi dia yang notabennya sebagai suamiku pun melakukan hal yang keji. Jauh lebih parah daripada apa yang Ayah lakukan kepadaku. Aku tahu alasan Ayah meminjam uang kepadanya dan aku tahu Ayah melakukan itu karena terpaksa, lantas apakah pantas Jeffryan melakukan itu kepada keluargaku karena kami yang tidak bisa melunasi hutang?

Apa dia tidak memiliki rasa belas kasihan sedikit pun kepada keluarga miskin seperti kami? Apalagi sudah bertahun-tahun lamanya Ayah bekerja dengan dia.

Hidupku benar-benar hancur ketika aku mengetahui fakta bahwa tidak ada satupun yang bisa membantuku saat aku berada di dekatnya dan sekarang tujuanku hanya satu, membalas rasa sakit yang pernah aku alami karena Jeffryan.

"Berdamai dengan masa lalu, Ra. Nggak ada gunanya juga kamu lakuin ini. Kamu nggak kasihan sama Aqilla? Lebih baik kamu fokus sama dia."

"Kamu nggak ngerasain apa yang aku rasain, Dim. Kamu juga nggak tahu bayang-bayang masa kelam yang udah pernah aku lewatin bareng dia selalu hadir di setiap malam. Aku nggak pernah bisa tidur nyenyak karena dia." Aku menjeda kalimatku sesaat. Dadaku rasanya semakin sesak. "Aku selalu bermimpi saat dimana dia yang nggak memiliki hati menjual istrinya sendiri, memperkosa aku dan hampir membunuhku. Lalu, semudah itu kamu meminta aku buat berhenti? Sakit, Dim. Rasanya sakit banget sampai aku nggak sanggup buat hidup."

Setetes demi tetes genangan air di pelupuk mata yang aku tahan sejak tadi akhirnya meluncur dengan sendirinya. Bukan hanya luka fisik yang dia hadiahkan untukku. Luka fisik mungkin bisa terobati tapi luka batin bisa terbawa sampai mati.

"Nggak mudah buat aku maafin dia," tekanku.

Dimas mendekatiku, merengkuh tubuhku yang sedang bergetar hebat. "Maafin aku, Ra. Aku nggak mau kamu terjebak dengan masa lalu. Aku cuma nggak mau kebencian yang tertanam di diri kamu bikin kamu jadi orang yang jahat."

Dengan suara tercekat aku membalas ucapannya. "Tolong, Dim. Jangan paksa aku buat berhenti. Biarin aku jadi orang jahat, aku mau balas perbuatan dia. Kamu nggak perlu ngotorin tangan kamu juga. Biar itu jadi dosa aku."

"Selama ini cuma kamu satu-satunya orang yang selalu ada di sisi aku dan Aqilla. Aku nggak mau kita berjarak karena masalah ini. Jadi, please. Biarin aku balas perbuatan dia dengan cara aku sendiri. Aku nggak peduli sama apa yang terjadi nanti."

Apapun yang terjadi nanti, aku tidak mau memikirkan itu dulu yang terpenting bagiku Jeffryan harus mendapatkan ganjaran yang setimpal. Dia harus merasakan rasa sakit yang aku alami.

"Kalau kamu merasa aku ngelakuin ini karena aku nggak pernah sayang sama Aqilla, kamu salah besar Dimas. Nggak ada seorang ibu yang nggak sayang anaknya. Aku nggak pernah menyesal melahirkan dia tapi aku nggak akan sudi memberitahu dia kalau dia punya Ayah seperti Jefrryan. Aqilla cukup tahu kalau dia cuma punya Papa Dimas dan Ayah Tio."

Pelukan itu semakin mengerat. Aku tidak pernah memintamu untuk ikut membalas dendam kepada Jeffryan, Dimas. Bagaimana pun dia sempat menjadi temanmu. Kamu yang lebih tahu bagaimana dia dibanding aku.





🍑





Atasan baruku itu manatap tajam ke arahku seakan aku adalah mangsa baru untuknya. Aku sendiri pun tahu apa yang menyebabkan dia seperti itu. Siapa lagi kalau bukan karena keberadaan Mas Tio. Rival yang paling dibenci oleh Jeffry padahal dulunya mereka bersahabat. Jujur, sampai detik ini pun aku tidak pernah tahu alasan mereka menjadi rival selain karena persaingan usaha.

"Selamat malam, Pak. Hati-hati di jalan," ucapku setelah dia nelawati kami di lobby kantor. Mas Tio menatapku bingung sedangkan perhatian Jefrry tidak pernah luput dari Aqilla yang ada dalam dekapan Mas Tio. Apa dia sadar wajah Aqilla dengannya begitu mirip? Dibanding Mas Tio orang-orang pun pasti bisa mengira bahwa Jeffry adalah ayah dari Aqilla jika dilihat secara kilas.

"Lain kali, jangan bawa anak-anak ke kantor. Ini bukan tempat bermain."

Siapa bilang ini tempat bermain?

Belum ada seminggu aku bekerja di perusahaan sebagai pegawai magang tapi dia sudah bersikap semena-mena. Berada di dekat dia membuat dosaku semakin menumpuk.

Setiap hari ada saja ucapannya yang membuat sakit hati sampai aku harus mengumpat dan menyebut sederet nama kebun binatang di dalam hati karena sikapnya yang kurang ajar itu.

"Bukankah ini sudah lewat dari jam kerja, Pak Jeffryan Adhitama yang terhormat?" Sepertinya Mas Tio mulai gatal ingin melontarkan kalimat sarkasnya.

"Dia bekerja di perusahaan saya jadi dia harus mengikuti aturan dari saya. Saya tidak suka ada anak kecil di area gedung ini."

Mas Tio tertawa kecil mendengar pernyataan dari Jeffry. "Wow, ini yang kamu bilang atasan kamu baik, sayang?" Aku menatap dirinya dalam diam, bingung untuk membalas pertanyaannya karena ini tidak ada dalam skenario. "Bagaimana bisa ada orang yang tidak menyukai anak kecil? Pantas saja ditinggal, siapa yang betah hidup dengan pria kaku—"

"Mas...." Aku menyela ucapan Mas Tio setelah melihat raut wajah Jeffryan yang merah padam ditambah dirinya sudah mengepalkan tangannya. Masih banyak pegawai yang berlalu lalang. Aku tidak ingin ada berita negatif yang menyebar nantinya.

"Sebelum berbicara alangkah baiknya Anda berkaca terlebih dahulu. Kehidupan rumah tangga yang Anda jalani tidak jauh berbeda dengan saya. Terbukti, Anda juga ditinggalkan oleh anak dan istri kan?"

Tunggu, tunggu, apa Jeffry menebak kalau aku adalah mantan istri dari Mas Tio dan Aqilla merupakan anak dari Mas Tio? Bagaimana dia bisa berpikir seperti itu? Dia sama sekali tidak memiliki ikatan batin dengan Aqilla?

Syukurlah, memang sudah sepantasnya seperti itu. Aqilla tidak memiliki ayah bernama Jeffryan Adhitama.

Menarik, ini semakin menarik. Akan lebih mudah untukku membalas dendam. Semesta seakan mendukung aku untuk melakukan ini.

"Kalau pun saya menjadi Anda, saya tidak akan mengijinkan mantan istri saya bekerja di perusahaan rival saya sendiri apalagi karena alasan anak. Setidak mampu itukah Anda menghidupi anak sendiri?"

"Pak, saya rasa—"

"Cukup hari ini saya melihat mantan suami kamu ada di gedung ini."

Jeffryan melenggang pergi setelah mengatakan kalimat itu. Dia masih tetap sama. Arogan dan tak ingin tersentuh. Setelah apa yang aku lakukan nanti terhadapnya. Apakah dia bisa menjadi Jeffryan yang sekarang? Aku ingin segera melihat dia terpuruk.

"Manusia satu itu nggak pernah bisa berubah. Kamu yakin masih mau melakukan ini?"

"Iya Mas, tekad aku udah bulat. Bukannya kamu juga mau lihat dia hancur kan makanya kamu menerima tawaran aku saat itu. Aku janji Mas, dalam waktu dekat aku pasti tahu apa kelemahan dia."

"Ok, tapi kamu juga perlu hati-hati. Dia tahu kalau kamu berhubungan sama aku. Kamu bakal jadi tersangka utama kalau ada sesuatu sama perusahaannya nanti."

"Dia nggak ada bukti buat nuduh aku, Mas. Kamu nggak perlu khawatir. Aku Nara, bukan lagi Syaqilla."

Aku nggak akan bertindak bodoh lagi seperti apa yang Syaqilla lakukan dulu Mas yang hanya bisa menerima takdir tanpa berusaha membela dirinya sendiri. Syaqilla si wanita bodoh yang pernah berpikir untuk menghabisi nyawanya sendiri berkali-kali hanya karena seorang Jeffryan. Aku sudah menjadi Nara yang banyak belajar dari kesalahan di masa lalu.



















JUST IMAGINES JUNG JAEHYUNWhere stories live. Discover now