Can I Trust You? (7)

111 29 0
                                    

Apa ada hal yang lebih bahagia selain berpergian dan mencari angin segar di sore hari? Mood gue mendadak naik, semakin meroket tinggi.

Rasanya udah lama banget gue nggak merasakan sensasi berada di luar rumah meskipun gue pergi hanya di dampingi seonggok manusia yang super bawel, ngoceh nggak berhenti dari tadi. Bang Yudha itu hampir mirip dengan Mas Abi, kalau bukan Bang Yudha yang melarang gue melakukan sesuatu yang menurut dia nggak ada faedahnya justru kebaikannya. Mas Abi yang bakalan cerewet sampai bikin telinga gue sakit.

Sebetulnya bukan hanya Bang Yudha yang menemani gue sore ini. Ada Mas Abi juga hanya aja dia melakukannya melalui voice call. Meskipun dia hanya bisa melakukan itu, udah lebih dari cukup buat gue. Gue merasa kalau ada dia di sebelah gue sekarang, seakan ikut menemani dan menjaga gue.

"Kamu ditinggal sendiri?"

"Hum, Bang Yudha ijin ke toilet sebentar. Nggak mungkin juga aku ikut ke sana kan?"

"Tetap waspada ya?"

"Iya Mas suami," jawab gue patuh, sedikit menggodanya. Nggak tahu kenapa gue suka banget kalau Mas Abi uring-uringan karena dia yang mulai nggak bisa menahan rindu.

"Jangan gitu dong sayang...."

"Hahaha, iya enggak. Kamu nggak siap-siap pulang? Udah jam pulang kantor kan ini? Di sini udah mau jam enam."

"Sebentar lagi, aku nungguin kamu sampai rumah dulu."

"Aku masih lama, Mas."

"Nggak apa-apa. Aku temenin kamu sampai selesai."

"Ih, baik banget Papa kalian sayang...." Gue mengusap perut gue yang mulai keliatan baby tummy nya. Lucu banget. Kayak balon karet yang melendung karena dikasih udara sedikit.

Senang banget akhirnya gue bisa merasakan perhatian Mas Abi selama gue hamil, ya kalau dibilang telat sih karena kandungan gue sudah memasuki usia 19 Minggu. Tapi kembali lagi, lebih baik telat daripada tidak sama sekali kan?

"Perut kamu udah buncit belum?"

"Sedikit, nanti aku kirim fotonya ya? Tapi aku nggak bisa tanggungjawab kalau tiba-tiba kamu makin kangen sama aku," ucap gue asal. Mas Abi terkekeh pelan di seberang sana.

"Iya, enggak," sahutnya penuh percaya diri. Kita lihat saja apakah mungkin Mas Abi bisa bertahan?

"Mas, kamu telpon aku kayak gini, sekretaris kamu nggak curigakah?"

"Hari ini dia cuti kerja. Aku nggak tahu alasannya apa, dia bilang ada acara mendesak. Lagian aku nggak peduli juga sih."

Gue manggut-manggut. Retina gue menangkap sosok pria yang teramat gue kenali. Mahen kan? Iya Mahen, nggak mungkin gue salah lihat.

"Mas, aku barusan lihat Mahen di sini. Kamu yang nyuruh dia buat datang ke Bali?"

"Aku nggak ada nyuruh siapa-siapa buat nyusulin kamu, sayang."

"Oh, cuma perasaan aku aja mungkin. Yaudah, aku mau jalan lagi. Bang Yudha udah selesai tuh."

"Ok, jangan diputus sambungannya."

"Iya."

"Hati-hati jalannya, jangan banyak tingkah."

"Iya, Mas."

"Jangan beli yang aneh-aneh."

Gue merotasikan mata gue malas. Padahal gue berencana untuk membeli makanan pedas yang terkenal di daerah sini. Kalau udah begini nggak ada harapan lagi namanya. Apalagi gue perginya bareng Bang Yudha, bakalan susah buat gue nyogok dia. "Iya, enggak."

"Iya atau enggak, yang bener jawabnya?"

"Iya, maksudnya aku enggak akan beli macam-macam. Mau beli baju bayi boleh?"

"Nanti aja, belinya sama aku, ya?"

"OK, Papa Fabian."

"Gemes banget istriku."

Istriku, istriku? Mau pindah planet aja bisa nggak sih? Kadang gue nggak bisa mengantisipasi perilaku suami gue yang menggemaskan macem ini. Lucu banget, gemes kayak babys tummy yang ada di dalam perut.

Semoga sebelum kalian lahir, kita bisa ketemu Papa ya dan tinggal bareng sama Papa lagi secepatnya.

"LAURA!"

"Siapa yang manggil nama kamu yang? Suaranya nggak asing."

"Ra?"

"Kenapa kamu diem aja sayang? Jangan bikin aku khawatir. Jawab dulu."

"Gina? Lo ada di sini?"

"Iya, nyusulin lo. Gue tahu lo ada di Bali dari Mbak Giska. Kebetulan banget gue ada kerjaan di sini dan kebetulan juga kita bisa ketemu di sini. Kayaknya memang pertemanan kita itu udah ditakdirkan Tuhan deh, Ra?"

"Ra, Gina ada di dekat kamu?"

"Dimana Bang Yudha, Ra? Pergi dari sana sayang."

Gue nggak mempedulikan ocehan Mas Abi. Belum lagi gue nggak menemukan keberadaan Bang Yudha, padahal seinget gue dia tinggal sejengka lagi sampai di hadapan gue. Kemana perginya manusia satu itu?

"Ra, bisa dengerin aku dulu? Kamu nggak tahu apa yang lagi dia rencain ke kamu. Sekarang kamu pergi dari hadapan dia. Usahakan dia nggak menaruh curi—"

Suara di sebrang sana semakin berisik. Gue nggak mau kalau sampai Gina curiga. Maka dari itu, gue memilih untuk memutus sambungan dengan Mas Abi. Lagipula apa yang bisa Gina lakukan ke gue di tempat ramai seperti ini? Rasanya nggak mungkin kalau dia sampai berani mencelakakan gue.

"Malah bengong." Gina menyenggol bahu gue pelan. Hampir aja terjatuh kalau gue sendiri nggak bisa ngimbangin. Beruntung hari ini gue mengenakan flat shoes.

"Tumben banget lo pakai flat shoes gini. Biasanya nggak pernah suka?"

"Ah, enggak. Lagi kepengen aja," balas gue seadanya berharap semoga dia nggak me-notice perut gue yang sedikit menonjol.

"Gimana sama perkembangan persidangan lo sama si brengsek itu?"

"Tinggal nunggu sidang pertama di gelar."

Gina manggut-manggut, dalam hati gue berdoa semoga nggak ada pertanyaan dia yang bikin gue mati gaya karena nggak bisa jawab. Bang Yudha kemana sih ya ampun. Mana handphone gue sama dia. Sejak berangkat kita memang bertukar handphone karena Mas Abi yang meminta.

"Eh, kok perut lo agak buncit ya? Lo nggak lagi hamil kan, Ra?"

Sesaat, gue terdiam dengan tatapan kosong, sampai sebuah jawaban gue dapatkan di lima detik setelahnya. "Nggak, mana mungkin sih? Dia aja nggak pernah nyentuh gue lagi."

"Bagus deh, bakalan susah pisah kalau lo lagi hamil gini."

"Lo di sini sama siapa? Ayo temenin gue makan?"

"Gue sama kakak sepupu gue tapi—"

"Udah ayo, temenin gue dulu. Gue kangen banget sama lo, Ra. Udah lama juga kita nggak ngobrol langsung gini. Btw lo udah tahu belum sih kalau gue satu proyek sama calon mantan suami lo itu. Jujur gue males banget berurusan sama tukang selingkuh."

Gi, bisa-bisanya lo ngatain Mas Abi di depan istrinya langsung. Kalau dipikir lagi yang dibilang Mas Abi ada benarnya. Gue nggak tahu alasan lo begitu membenci Mas Abi. Apa salah Mas Abi sampai lo bisa sejahat ini sama dia?

Gue kecewa, Gi. Nggak pernah sekalipun gue punya pikiran jahat tentang lo. Ternyata sesakit ini ya ditusuk teman sendiri, orang yang benar-benar gue percaya sebagai tempat bercerita.

Rasanya mulut gue gatal banget buat ngajuin pertanyaan ke dia. Apa alasannya ngelakuin ini semua?



























JUST IMAGINES JUNG JAEHYUNWhere stories live. Discover now