Bab 56 : Insting Calon Ayah

88 9 2
                                    

Suara merdu lantunan ayat suci Al Qur'an masih menghiasi rumah sejak bada Isya cukup mengisi keheningan rumah. Sejenak ku rebahkan punggung ku di atas kursi sofa ruang tengah. Aku sudah banyak membaca artikel selama seharian ini hingga membuatku muak. Terlalu banyak hal yang mengubah tata hidup ku selama hamil. Belum lagi semua orang menjadi begitu perhatian membuatku seperti penderita penyakit berat stadium akhir saja.

Bahkan Celine sampai datang ke rumah untuk membantu menyiapkan perlengkapan untuk ke luar kota sekaligus mengantarkan menuju bandara. Sama halnya dengan Ardhito yang memberikan jawaban sama untuk mengambil tugas sementara di Pupuk Indonesia menghindari paparan bahan kimia. Sekaligus proses pemindahan selama di Pupuk Indonesia.

Yah.

Pada akhirnya aku pun tidak punya pilihan. Hidup di pabrik dengan kebisingan sepanjang hari khawatir akan membahayakan kesehatan janin. Altezza juga tidak ingin diriku menghabiskan waktu kehamilan sendirian memaksa untuk kembali ke Jakarta. Dari apa yang ku dengar tentang tamu esok hari cukup menyebalkan kata Azhara. Perempuan itu tidak segan untuk menyeletuk hal yang kiranya kurang baik.

Masalahnya aku tidak bisa bertindak 'menjilat' demi kedudukan baik suami dan diriku. Aku terkadang terlalu jujur dalam bersikap dan merasa mengalir apa adanya itu jauh lebih baik. Sama seperti tingkah ku saat pertama kali bertemu dengan Ibu mertua tidak menunjukkan sikap berusaha meraih hatinya. Apalagi untuk orang asing yang tidak ku kenal. Itu hal yang cukup ku benci karena melibatkan satu sama lain.

"Mbak, berkasnya sudah saya salin dan simpan di drive biar tidak terlalu berat membawa barang. Kecuali untuk berkas tambahan lainnya,"ucap Celine.

"Aku hanya hamil bukannya mau mati. Jangan bertingkah seperti itu,"ucapku kesal.

"Bukan begitu maksudnya, Mbak. Kehamilan itu kan momen spesial jadi harus diistimewakan,"ucap Celine membuatku memutar bola mata malas.

"Apanya yang istimewa? Bangun tidur langsung mual, tidak suka aroma kopi, tidak bisa minum susu, sering sakit kepala, mata berkunang, perasaan campur aduk. Di antara semua bagian itu yang mana masuk kategori istimewa, Celine?"tanyaku.

Beruntung aku hanya tidak suka aroma kopi. Entah apa jadinya kalau tidak bisa mencium semua aroma parfum. Apalagi beberapa kejadian saat seorang istri hamil selalu mual melihat suaminya. Tetapi setelah ku pikir, mungkin anak yang ku kandung perempuan. Buktinya aku akan merasa tenang dan baik-baik saja setelah berinteraksi dengan Dirga.

"Tetapi momen itu belum tentu dirasakan semua perempuan loh, Mbak,"ucap Celine enggan beradu argumen.

Baru saja Celine hendak beranjak, Kania hanya tersenyum kecil menunduk segera melangkah menuju kamarnya. Memang benar ini mungkin sebuah impian perempuan lain. Tetapi aku pun merasa masih terlalu cepat untuk hamil. Masalah ini datang bertubi-tubi membuatku kehilangan arah. Bahkan melakukan penerbangan di malam hari pun menjadi masalah besar untuk ku lakukan.

Padahal setelah dipikirkan aku akan baik-baik saja. Lagipula janin yang tumbuh di rahim ku pun punya waktu untuk berkembang. Saat ini dia tak lebih dari gumpalan sel yang belum berwujud. Selain itu, sejak kapan stigma ibu hamil akan banyak makan muncul di masyarakat. Padahal apa yang ku rasakan malah sebaliknya.

Entah bagaimana jadinya jika Dirga sendiri yang mengetahui kehamilan ku. Dalam kondisi normal tanpa ada kejadian yang membuatku merasa baik-baik saja mampu membangunkan jiwa protektifnya. Mungkin saja dirinya akan terus mengawasi setiap tingkah laku ku 24/7.

Drrt

Baru saja dibicarakan pria itu segera menghubungi ku seolah mengetahui sedang menjadi bahan pembicaraan. Sejujurnya Dirga sempat melarang ku melakukan penerbangan malam. Tetapi melihat situasi yang tidak memungkinkan membuatnya mengalah. Pria itu tidak punya pilihan lain jika keras kepala dan ego ku dipertemukan dengannya.

Renjana : Arutala Dirgantara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang