Bab 38 : Efisiensi

159 15 2
                                    

Bunyi musik keroncong mengisi seluruh penjuru ruangan. Sementara menemani pria itu menyambut pagi, aku membawa teko berisi teh hangat. Tentu saja dengan gula lebih sedikit. Satu hal yang sama di antara kita selain keras kepala itu ketidaksukaan terhadap gula.

"Jembatan merah itu bukannya Gesang ya penyanyinya,"ucapku mendengar larik lagu yang di putar.

"Memang. Tapi saya lebih suka versi Dewi Yull,"ucap Dirga menyesap teh fokus dengan bacaan.

Anggap saja saat ini aku menjilat ludah sendiri. Saat aku begitu merasa Dirga sangat lawas dan ketinggalan jaman malah membuatku menjadi istrinya. Sekarang, semua hal lawas yang dia lakukan adalah candu. Dia bukannya ketinggalan jaman tapi antik.

Di dunia model yang begitu marak menampilkan tampilan modis tidak merubah gaya rambutnya. Apalagi saat di rumah hanya mengenakan kaus dan sarung disertai peci hitam membuatnya terlihat berkharisma. Meskipun begitu, saat di luar dia seperti pemuda umumnya.

"Tuan, apa membaca koran lebih menarik daripada menonton tv?"tanyaku penasaran membuatnya menaruh korannya.

Pria itu tampak menuangkan teh di cangkir ku sementara dirinya mengusap kepala lembut. Rambut pendek hasil rekomendasi nya pun rapi tidak neko-neko tapi indah dipandang. Matanya menatapku penuh makna.

"Saya lahir saat Rama tugas di Jogja. Saat itu setiap pagi semua orang menyambut pagi dengan melihat berita di koran. Terkadang juga sengaja jalan-jalan dengan sepeda onthel. Semua suasana itu berbeda ketika berada di Jakarta. Tapi musik keroncongnya jauh lebih membuat saya damai dibandingkan langgam campursari Rama,"ucap Dirga membuatku mengangguk mengerti.

Aku hanya mendengarnya saja bisa membayangkan bagaimana paginya dilalui dengan damai dan tentram. Berbeda dengan ku kala itu masih begitu malas sampai Ibu harus memukul wajan tepat di telinga. Berakhir aku berangkat dengan buru-buru. Yah, bisa dibilang latar belakang itu yang menjadikan Dirga menjadi sosok cinta damai.

"Tuan, mulai hari senin aku sudah kembali ke Kalimantan. Tidak lagi menjadi delegasi di Petrokimia,"ucapku.

"Memangnya kenapa kalau di Kalimantan? Bukankah semua karyawan sudah menanti mu kembali?"tanya Dirga.

"Nova menyuap hakim dan dibebaskan. Aku tidak gentar kalau dia berusaha mencelakai ku lagi. Lagipula aku tidak berhubungan dengan Ardhito. Tapi kalau kepercayaanmu yang diguncang, aku bisa apa?"tanyaku membuatnya mengambil cangkir teh.

Pria itu meminta ku meminumnya. Pikiran dewasa dan ketenangan ini begitu membuat ku terkadang tanpa sadar malah menceritakan semua masalah. Gita yang suka menyimpan masalah sendiri jadi sering berbagi.

"Jangan khawatirkan itu. Tetaplah fokus bekerja dan jangan pikirkan tentang saya. Saya akan menjaga hati disini. Saya hanya berharap Allah menjagamu dengan baik disana,"ucap Dirga membuatku mengangguk mengerti.

Satu persatu pertanyaan yang berdiam di kepala telah pudar menyisakan pertanyaan sakral. Tapi aku tak berniat menanyakannya sekarang. Terlalu banyak hal yang ku tanyakan di pagi hari. Entah sebenarnya aku ini istri atau wartawan.

Bunga mawar segar di vas bunga meja makan membuatku menarik senyum lebar. Pria itu bukan hanya mengganti bunga di kamar tapi di seluruh ruangan. Apa mungkin seperti itu cara pria mengungkapkan isi hatinya?

Akh, entahlah.

"Rania kemarin mengirimkan kabar. Katanya dia mendapat juara satu MTQ cabang lomba tilawah,"ucapku menuangkan nasi.

"Anak itu sekarang sudah lupa punya Ayah rupanya. Dia hanya mau menceritakan pada Bundanya saja,"ucap Dirga membuatku terkekeh pelan.

"Dia putrimu tapi berbeda denganmu. Dia lebih ekspresif. Sedangkan kamu begitu tenang,"ucapku berkomentar.

Renjana : Arutala Dirgantara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang