Bab 46 : Tersisih

142 21 2
                                    

Suara musik yang mengalun memenuhi CR-V hitam kesayangan ku tidak hentinya membuat gejolak di kepala terasa damai. Sejenak berhenti di kediaman Ashana membuatku kian terhimpit ke dalam jurang ketakutan. Meskipun fakta itu pernah disampaikan Dirga, aku masih berharap semua hal terbaik untuknya.

Pertemuan singkat dengan Ashana seolah telah disiapkan Allah untuk ku. Melihat petarung lautan itu akhirnya berhenti dan menjadi Ibu rumah tangga menggugah sedikit rasa ketidaksesuaian di kepala. Terlebih setelah melihat kedua putranya begitu patuh membuatku ingin angkat tangan.

Melahirkan seorang anak bukan hanya tentang finansial melainkan mengenai bagaimana mendidik seumur hidup. Rencana untuk segera memiliki keturunan kian terasa gamang. Selama ini aku hidup begitu keras seperti dunia membentuk ku. Pelajaran dari ku tidak akan sebaik mereka yang sudah mempersiapkan diri menjadi seorang Ibu.

Bahkan aku memasrahkan pendidikan putri ku ke pesantren kedua orang tua. Keduanya jauh lebih bisa mendidik anak dibandingkan diriku. Aku hanya tidak ingin Rania kembali mengarungi pahitnya kehidupan seperti yang pernah ku alami. Beruntung masa kecilnya bersama Dirga yang mengasuhnya dengan baik.

Drrt

Dering panjang ponsel ku menampilkan nama Dirga seolah sudah tahu aku sedang dirudung kegelisahan.

"Dek. Sudah sampai rumah?"sapa Dirga.

"Belum, Mas. Tadi ke rumah Bu Raka dulu. Sekarang mau ke rumah Ibu menjemput Rania,"ucapku.

"Rania, mau ikut kamu? Dia nanti malah merepotkanmu,"ucap Dirga.

"Saya sudah lama tidak bertemu Rania, Mas. Lagipula Rania itu bukan anak nakal. Ibu tadi telfon Rania sudah tidak sabar menunggu,"ucapku.

Seiring berjalannya waktu, permasalahan ku dengan Rania telah larut menjadi rasa kasih sayang. Dibalik sifatnya yang menyebalkan dirinya hanya kurang perhatian dari Dirga. Seperti yang ku lihat di depan mata saat ini. Bahkan roda mobil ku belum juga melewati pos satpam, Rania sudah melambai penuh bahagia.

Anak itu begitu tidak sabar sampai menunggu di depan gerbang. Wajahnya yang mirip dengan Halimah itu membuatku sedikit kesal. Mengapa dirinya harus membawa wajah Ibu yang tidak pernah peduli padanya?

"Rania tidak semudah itu, Dek,"ucap Dirga membuatku menghela nafas.

"Rania bahkan sudah menunggu di depan pos satpam, Mas. Jangan berlebihan terhadap Rania,"ucapku sebelum mematikan panggilan sepihak.

Pria itu tidak bisa mengerti anaknya hanya kurang perhatian. Melihatnya berlari mendekati mobil membuatku segera membuka pintu membiarkannya masuk. Terakhir kali aku melihatnya, dia begitu kurus. Saat ini tubuhnya lebih berisi dengan ekspresi wajah yang begitu bahagia.

"Bunda lama, ya?"tanyaku memasuki kawasan pesantren.

"Nggak. Rania saja yang tidak sabaran,"ucapnya begitu bahagia.

Seorang pujangga dalam naskah kasustraan seringkali berkata kehidupan ini berisi perjalanan. Tentu akan ada banyak orang yang akan ditemui di jalan. Bahkan tidak jarang akan turut ikut bersama. Terkadang setiap pertemuan kecil memberikan pelajaran berharga untuk masa mendatang.

Seperti hadirnya Rania yang memberikan pelajaran untuk mendidik seorang anak di masa mendatang. Belajar memahami karakter seseorang adalah sesuatu yang menyebalkan dan memuakkan bagi ku. Namun hal yang tidak ku sukai harus tetap dilakukan demi berinteraksi dengan putri semata wayang.

"Ayah menelfon, Bun,"ucap Rania membuatku memutar bola mata malas.

"Biarkan saja, Rania. Bunda sedang kesal dengan Ayahmu. Ayahmu itu terlalu keterlaluan,"ucapku melepas seat belt.

Renjana : Arutala Dirgantara Where stories live. Discover now