Bab 54 : Jangan Sekarang

99 9 6
                                    

Gemericik air yang terdengar cukup riuh dari luar kamar membuatku bangkit. Perlahan ku hela nafas panjang menatap seisi kamar yang sudah lama tidak pernah ditempati. Setelah Anisa mendatangi ku siang ini, dia memaksa membawa pulang ke rumah. Padahal besok aku pun harus kembali bekerja.

Pintu kamar ku terbuka menampilkan sosoknya dengan perut buncit segera menutup pintu rapat. Tidak lama lagi aku akan mendapatkan seorang keponakan baru. Perempuan itu menatapku lekat seolah sedang berusaha memberikan pengertian. Sebenarnya aku pun tidak mengerti mengapa dirinya memaksa ku pulang. Di rumah ini semuanya baik-baik saja.

"Apa kamu tahu beberapa hari kemarin ada perempuan yang mengaku ibu kandung Rania datang kemari. Beruntungnya Rania masih ditempatmu dan Ibu sudah berusaha menghubungimu sebelumnya. Sepertinya kamu sedang sibuk dan begitulah alasan mengapa aku dan Mas Dyo membawamu pulang,"ucap Anisa membuatku menghela nafas panjang.

"Hilang satu masalah muncul masalah lain. Perempuan itu memang Ibu kandungnya Rania. Tetapi aku pernah membahasnya mengenai itu dan Rania sendiri yang mengatakan tidak peduli. Baginya Ibunya sudah mati,"ucapku.

"Ibunya masih hidup? Aku tidak pernah menyangka mendengar alasan ini,"ucap Anisa membuatku memutar bola mata lelah.

Aku terlalu muak untuk mengulangi cerita perempuan yang dengan teganya meninggalkan bayi merah itu pada Dirga. Padahal bayi itu masih membutuhkan ASI dan kehangatan Ibunya. Belum lagi tingkah lakunya itu juga yang membuat Rania di bully. Itu pun belum termasuk kebencian yang begitu membara di mata Dirga setiap kali mendengar atau membicarakannya.

Pintu ku kembali terbuka menampilkan wanita paruh baya membuatku menghela nafas panjang. Entah bagaimana cara ku menangani permasalahan ini. Halimah juga seharusnya menggunakan akal pikirannya dengan benar. Tidak seharusnya dia muncul tiba-tiba setelah dinyatakan tiada. Mengapa dia tidak menghilang selamanya saja dari kehidupan Rania?

"Kalau kamu mengharapkan perempuan itu tidak menemui anaknya, itu egois. Kalau kamu berharap perempuan itu tiada saja, itu keji. Kalau kamu berharap perempuan itu tidak pernah mencari Rania, itu tamak,"ucap Ibu mengajak ku berbicara empat mata.

"Aku bisa mengerti itu, Bu. Tetapi dengan muncul tiba-tiba hanya akan membuat Rania yang terluka,"ucapku.

Ibu hanya tersenyum mengusap tangan ku perlahan. Perempuan itu menggeleng pelan seolah tidak setuju dengan pendapat yang diriku nyatakan. Senyumannya yang begitu lembut itu membuatku merasa dirinya sedang mendukung Halimah. Entah mengapa emosi dalam benak ku dengan mudahnya segera tersulut.

"Tidak ada Ibu yang tidak merindukan anaknya, Git. Sekalipun binatang pun akan selalu merindukan dan menyayangi anaknya. Urusan Rania akan terluka adalah konsekuensinya sendiri. Kamu tidak bisa melarangnya bertemu,"ucap Ibu membuatku mengangguk pelan.

"Seharusnya jika dia memang seorang Ibu tidak pernah meninggalkan Dirga dengan seorang anak yang bukan anaknya. Apa Ibu tahu bagaimana perasaan Dirga setiap kali harus membahas perempuan itu? Dia tidak pernah rela anak yang pada akhirnya seperti anaknya itu harus kembali pada mantan istrinya,"ucapku.

"Sst. Jangan menyalahkan takdir Allah dengan mempertanyakan masa lalu. Urusan Dirga dan perempuan itu juga masa lalu yang bukan bagian tanggung jawabmu. Posisimu adalah Ibu sambung, Anggita. Jangan pernah lupa seorang Ibu sambung itu menjadi perantara kasih sayang ibu kandung pada putrinya,"ucap Ibu terdengar benar enggan ku terima di kepala.

Aku tidak pernah mau menerima argumen Halimah adalah Ibunya. Mengapa perempuan gila itu harus melahirkan sosok Rania yang penuh dengan keceriaan? Akh, sudahlah. Tidak ada gunanya aku membahas sesuatu yang sudah menjadi masa lalu. Tetapi aku tidak akan rela perempuan itu menemui Rania begitu saja dan menyatakan dirinya Ibu kandungnya.

Renjana : Arutala Dirgantara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang