Bab 45 : Enggan

267 18 0
                                    

Teriknya matahari seolah tidak ingin membagi awan untuk membuatku merasa teduh. Tepat 100 meter dari tempat ku berdiri, tampak seorang pria tengah sibuk mengurus istri pertamanya. Wajahnya yang begitu cerah membuatku tersenyum kecil. Entah bagaimana hidupnya selama profesinya memanggil.

Setelah melalui malam yang panjang semalam, dengan melihat beberapa bekas luka membuat benakku tercubit. Terhitung sudah 5 bulan aku menjadi bagian dari hidupnya. Rupanya masih banyak hal yang belum ku pahami darinya. Rasanya aku menjadi merasa bersalah tidak mampu memenuhi posisi istri di keluarga yang dirinya bangun.

Namun begitu, pria itu masih berlaku adil padahal rasanya tidak adil dari sisi manapun. Belum lagi, bagaimana Ibu menceritakan Rania yang selalu membanggakan diriku. Padahal tidak sedikitpun aku mendidiknya. Mungkin hal ini bagian dari efek samping percintaan semalam.

Aku bisa merasakan suasana sekitar yang begitu hampa. Beberapa hari tinggal bersamanya membuatku cukup mengerti. Tujuan pernikahan bukan hanya membuat hubungan sepasang kekasih menjadi legal saja. Tetapi ada ruang untuk mengisi kekosongan itu. Langkah ku untuk kembali yang biasanya hanya terkendala rindu menjadi begitu berat.

Aku tidak bisa meninggalkannya sendirian lagi. Mungkin ada kalanya diriku menjadi orang yang keras kepala dan menerjang dunia. Namun semua itu sudah berlalu. Saat ini rasanya langkah ku menjadi tersendat dan berat. Bahkan aku belum mengatakan padanya akan kembali pagi ini.

Di tengah kegamangan langkah, kaki ku segera berbalik kembali pulang. Sepertinya rencana untuk menghindari Dirga dan menyelesaikan cuti lebih cepat gagal. Pikiran ku terlalu berbau perasaan tanpa bisa berpikir jernih.

"Bapak sedang mengarah kesini, Bu,"ucap Aditya menghentikan langkah ku.

Sontak membuatku berbalik menatap Dirga berjalan mendekat dengan setengah berlari. Benakku ingin sekali kembali berada di sisinya menangis mengadu memikirkan banyaknya pilihan. Sedangkan naluri ku berkata untuk segera pergi.

"Mobilnya sudah siap, Mas Adit?"tanya Dirga membuatku mendongak.

"Mobil? Mas, mau kemana?"tanyaku heran.

"Mengantarmu kembali, kan. Tanpa kamu memberitahu, saya sudah mengerti, Dek. Saya perlu membuat surat menyatakan terima kasih pada Pak Ardhito sudah mengirimkan perempuan manis disaat yang tepat. Sebenarnya melihatmu tadi pagi masih tertidur pulas, rasanya tidak mungkin kembali siang ini.

Tapi melihatmu sudah menyiapkan barang sampai tiket pesawat, berarti memang sudah siap untuk kembali. Saya tahu kamu selalu profesional untuk urusan pekerjaan,"ucap Dirga beranjak menggandeng ku.

Rupanya rencana ku tidak menjadi gagal. Aku akan tetap kembali pada kehidupan di Pupuk Anumerta. Sebenarnya kalau ku pikir diriku cukup brengsek. Setelah memberikannya manisnya pernikahan malah membuatnya kembali menanti. Apakah dia tidak mengerti langkah ku kali ini rasanya sangat gamang?

"Maaf, Mas. Saya meninggalkanmu lagi,"ucapku pelan.

"Tidak masalah, Dek. Saya mengerti kamu tidak bisa meninggalkan tanggung jawab begitu saja. Kenapa nggak telfon saya saja, Dek? Kamu sampai jalan kaki panas-panas ke skuadron,"ucap Dirga mengangsurkan sebotol air mineral.

"Saya sudah sering berjemur, Mas. Bukan hal biasa kepanasan begini,"ucapku memasang seat belt.

"Bukan begitu, Dek. Maksud saya, apa nggak sakit kalau dipakai jalan?"tanya Dirga membuatku merona.

Mengapa Dirga harus bertanya sesuatu yang tabu dengan begitu ringan? Kali ini bukan pertama dirinya menanyakan begitu santai. Seolah obrolan itu terasa pantas dibicarakan dimana saja dan kapan saja. Sama halnya saat pria itu menertawai ku saat memasang kateter. Bahkan wajahnya sampai merah karena tertawa.

Renjana : Arutala Dirgantara Where stories live. Discover now