Bab 7 : Curahan Aditya

276 22 0
                                    

"Ya sudah, sama anak ku saja,"ucap Shafiya.

"Bercanda mulu dari tadi. Sudah serius malah bercanda. Dia juga sudah punya istri, Bu Shafiya. Ada anaknya lagi. Mending lajang seumur hidup kalau gitu mah,"ucapku mencuci piring membereskan meja makan.

Suasana rumah yang selalu damai cukup membuat pikiran ku terkadang rileks dengan sendirinya. Kapan lagi telinga ku tidak terganggu bisingnya suara pabrik?

"Kamu orang Kalimantan tapi logat Bugis, Kutai, Jawa. Gimana atuh?"tanya Shafiya membuatku membuang nafas sebal.

"Di Kalimantan semua etnis bertemu jadinya ya gini,"ucapku mengupas jeruk di atas meja.

"IBUUU".

Sapaan merusak telinga terdengar sumbang membuatku ingin mual saja. Apa semua orang di rumah ini tidak ada yang waras? Hah, ini wanita yang menitipkan Rania sewaktu di bandara.

"Kamu kira Ibu tuli kah? Bisanya keponakan mu kamu titipkan orang lain,"ucap Shafiya sebal.

"Tadi buru-buru, Bu. Dia Gita, kan?"tanya Rindy mengambil tempat di depan ku.

"Iya, Mbak Rindy,"ucapku menahan senyum masih kesal dengan ulahnya.

"Jangan Mbak lah. Aku masih lebih muda kok. Rindy aja,"ucap Rindy membuatku mengangguk pelan.

Perempuan ini aku pernah melihat wajahnya datang ke pabrik mengawasi mahasiswa. Dia sebenarnya cerdas tapi mengapa bisa bertingkah absurd seperti ini?

"Bu, Mbak Dewi masih kegiatan?"tanya Rindy.

"Kenapa cari Mbak Dewi? Jam segini ya masih di klinik,"ucap Shafiya.

"Hah, Mas Dewa itu dibilang buang diluar asal kasih masuk terus. Katanya anak masih kecil tapi cucuk tiap malem,"ucap Rindy sontak membuat wajahku memanas.

Makhluk ini selain aneh dan ribut dia sangat frontal. Ya Allah, jauhkan aku dari sini secepatnya. Apa dia harus membahas perkara itu di meja makan? Dalam kondisi banyak orang?

"Heish. Ngomongin itu ya sama Dewa, kok sama Ibu. Lagian kamu ngomong gitu di depan anak gadis bisa tambah nggak mau nikah dia,"ucap Shafiya menunjuk ku.

"Loh, kok nggak mau nikah. Enak loh, Mbak. Modal tidur aja, biar suami yang kerjakan,"ucap Rindy membuat telinga ku semakin memanas.

"Cukup. Aku masih ingin kepala ku bersih dan murni. Aku mau pergi saja,"ucapku beranjak kembali ke ruang tamu.

Lebih baik aku bersama pria tua filosofis ini daripada harus bersama Rindy. Dia makhluk yang seperti apa aku juga heran. Sungguh, aku lebih baik ngantuk mendengar Pak Setyo.

"Pasti Rindy, ya. Sini, Nduk. Bantu Rama baca Al Qur'an. Aditya kalau sudah disuruh bantu baca pasti alasannya batal terus. Dia sudah batal yang ketiga kalinya. Sebentar lagi kembali,"ucap Setyo menyerahkan mushaf terjemah lain.

"Surah apa Pak?"tanyaku melirik halaman di mushaf nya.

"Al Waqiah, Nduk,"ucap Setyo bersamaan dengan Aditya dan Dirga baru tiba.

Pria itu segera duduk di dekat Setyo sementara diriku masih mencari surah. Aditya terlihat begitu pucat membuatku ingin tergelak. Pantas dia sering batal karena dia lebih dulu gugup.

"Ayo, Nduk dimulai,"ucapku memilih nada Nahawand.

Selain karena surahnya menceritakan hari kiamat, aku habis makan sesuatu yang di goreng. Sangat tidak enak suara yang akan terdengar. Makanya lebih baik cari jalan aman. Jika nada jiharkah membutuhkan nada bahagia terasa tidak cocok. Apalagi jika ingin mencoba Shoba setelah makan gorengan. Akan lebih buruk lagi.

Renjana : Arutala Dirgantara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang