Bab 47 : Celah

136 18 2
                                    

"Bun. Maafkan Rania sudah merepotkan Bunda lagi".

Entah berapa kali kalimat itu harus terdengar di telinga. Apa dirinya tidak mengerti bagaimana dia itu berharga dan bukanlah orang asing antara satu sama lain. Bibirku sudah lelah untuk menjawab pertanyaan yang sama berulang kali hanya memutar bola mata malas.

Dirga mungkin sering menekan dirinya sampai begitu tidak enak hati untuk semua hal termasuk padaku. Padahal beberapa barang memiliki batas kelayakan. Melihat Rania memakai pakaian baru yang jauh lebih layak itu membuatnya terlihat lebih anggun.

"Bun. Rania boleh pinjam Hp? Mau telfon Ayah".

Akh.

Entah mengapa, aku masih kurang senang mendengar kalimat berbicara dengan Ayah. Aku saja belum memberinya kabar apapun lagi sejak terakhir kali menghubunginya. Lagian bukannya menyadari malah menganggap kesalahan yang biasa. Enggan meninggalkan jejak pikiran untuk Rania, segera ku angsurkan ponsel membiarkannya waktu menghubungi Ayah tercinta.

Sejenak mataku melirik beberapa orang yang tengah berlalu lalang melintasi food court membawa sanak saudara dan keluarga saling bercanda tawa. Jika dipikir, mungkin benar beberapa ibu tiri diluar sana menjadi begitu galak. Padahal setelah semuanya dilalui tidak akan ada jarak diantara mereka.

Aku pun masih sedikit bingung menghadapi gadis kecil didepan ku dalam bersikap. Banyak hal tentangnya yang belum ku kenali dengan baik. Dirinya juga bukanlah seseorang yang sulit dikenali. Hanya saja, waktu selalu menghimpit ku. Banyak sekali kesibukan yang selalu menjadi keseharian dan tanggung jawab ku.

"Kamu dimana, Ran? Sekarang sudah jam setengah 9. Disana pasti jam setengah 10, kan. Bundamu harus bekerja besok".

Baru saja mendengar suaranya, pria itu malah mencerocos. Entah mengapa sedari aku memulai pertengkaran kecil dengan Dirga sampai saat ini malah menambah kekesalan dari waktu ke waktu saja. Putrinya setelah lama tidak bertemu tengah merasa rindu malah mencerocos tidak berguna.

"Bunda mengajak Rania keluar berbelanja kebutuhan di rumah dinas, Yah,"ucap Rania begitu sabar.

Pendidikan selama dirinya berada di pesantren sangat merubah tingkahnya. Padahal bisa saja dia menyatakan protes terlebih dahulu. Aku sudah berbincang cukup panjang bersama anak gadis ku mengenai Dirga. Dirinya tidak akan lagi khawatir melihatku cuek menanggapi setiap perhatian Dirga.

"Kalau Ayah mengomel terus nanti cepat tua. Nanti kalau Bunda diambil orang lain, gimana? Tadi saja setiap laki-laki yang lewat selalu memandang kagum,"ucap Rania membuatku terkekeh geli.

"Percuma memandang tidak dinikahi. Bundamu masih tidak mau melihat Ayah kah, Ran?".

Sontak segera ku gelengkan pelan membuat Rania mengangguk mengerti menyusun alasan untuk Ayahnya. Selama suasana hatiku belum damai aku tidak akan mau mencoba berbicara. Daripada nanti yang timbul hanyalah pertengkaran tiada habisnya.

Aku tidak suka menyelesaikan suatu permasalahan tanpa menyatakan langsung. Yang ada hanya masalah berkepanjangan. Namun jika ditanya rindu, tentu saja hati ini merindu. Terlebih aku dengan sengaja tidak mengambil jadwal cuti di minggu depan untuk pulang. Aku sudah bertekad ingin menghabiskan waktu bersama Rania.

Sejenak mataku melirik memikirkan keperluan Rania sekaligus kebutuhan belanja bulanan. Sembari melirik jam tangan, sepertinya aku akan pulang saja sebelum kantuk menyerang.

"Bun. Apa Rania akan cocok memakai pakaian yang Bunda belikan?"tanya Rania sembari memasukkan barang ke bagasi.

"Kenapa tidak cocok?"tanyaku penasaran.

Renjana : Arutala Dirgantara Where stories live. Discover now