Bab 11 : Rahasia Gita

216 18 0
                                    

Gita POV

Air mataku meluncur bebas begitu seluruh kalimat akad terucap dengan lancar dari lisan Dyo beberapa jam yang lalu. Saudara perempuan ku telah menemukan pasangannya masing-masing. Rumah ini benar-benar akan sepi. Telinga ku sampai panas mendengar kalimat menyenangkan tetangga budiman.

Membuatku beranjak mengambil kunci mobil meninggalkan rumah. Bukannya aku tidak ingin menyaksikan saudara ku bahagia. Tetapi aku sedang tidak ingin merusak hari bahagia dengan campur aduk tetangga budiman. Jalanan kota begitu lengang bahkan menyisakan mobil ku sendiri di lampu merah.

Memikirkan pekerjaan sepertinya lebih baik. Pagi ini Celine sudah mengirimkan 12 email yang berisi beberapa pekerjaan. Kunjungan Dhito ke departemen ada atau tanpa adanya diriku sudah seperti dugaan. Dia cukup paham dengan kondisi departemen yang begitu ulet.

"Coy. Kamu dimana? Aku mau numpang tidur".

Bunyi pesan suara Azhara terdengar begitu lelah. Sepertinya dia juga akan menumpang mengisi amunisi di apartemen. Astaga, kenapa aku tidak membawa masakan dari rumah? Apalagi saat ini baru teringat di kepala ku tidak ada bahan makanan di apartemen.

"Kamu masuk saja apartemen ku. Aku sedang tidak di rumah dinas. Aku akan membeli bahan masakan dulu,"ucapku mengirimkan pesan suara.

Memikirkan lokasi pasar tradisional terletak lumayan jauh membuatku berputar menuju pusat perbelanjaan terdekat. Memang tidak bisa ditawar seperti pasar. Tapi kalau aku ke pasar, yang ada muncul berita heboh dari apartemen mengenai jasad pramugari.

Hah, pasti Anisa sudah mengeluarkan sendal jepit dari mobil. Tampilan diri ku saat ini sangat formal jika hanya ke minimarket. Tapi kalau menunggu berganti pakaian pasti memakan waktu lama. Tanpa peduli segera ku langkahkan kaki mengabaikan penampilan. Siapa juga yang akan peduli dengan penampilan ku?

Beberapa sayuran segar dan daging sepertinya akan cukup mengisi perut manusia udara satu itu. Berbicara tentang perut, apa aku melupakan makan pagi ini? Mengapa rasa perut ku sangat menyiksa begini?

Tanpa menunggu lama segera ku bawa keranjang menuju kasir. Apa karena sayur lodeh yang ku makan tadi pagi? Aku ingat pagi ini hanya makan itu. Seharusnya perut ku tidak melilit begini.

"Totalnya 1.500.000 rupiah,"ucap kasir membuatku menyerahkan kartu yang tersemat di dompet.

Saat ini yang terpenting segera pulang. Aku yakin ini bukan maag. Karena aku sudah makan tepat waktu. Anisa sendiri yang memintaku sarapan pagi ini. Dengan sekuat tenaga perlahan ku langkahkan kaki mendekati mobil. Akh, bahkan menyentuh gagang pintu mobil sudah membuat tangan ku gemetar.

"Biar saya antar. Anda terlihat tidak mampu berkendara,"ucap seorang pria membukakan pintu mobil untukku beserta memasukkan semua sayuran ke dalam mobil.

Tentu saja dengan cepat ku enyahkan tangan lancang yang sudah berani ini. Aku bahkan sudah tidak tahan untuk berdiri mengapa harus berdebat dulu.

"Kau? Untuk apa kamu disini? Pergilah, aku sedang tidak ada urusan denganmu,"ucapku menahan rasa nyeri di perut.

"Keras kepalamu berlaku untuk pegawai di perusahaanmu. Bukan padaku,"ucap Dirga menggendong memasukkan ku ke pintu tengah mobil.

"Hei, kamu berani sekali,"ucapku berusaha beranjak namun rasa sakit dari perut kembali berdalih.

Pria itu hanya diam saja membawa keluar mobil dari parkiran pusat perbelanjaan. Entah mengapa pria itu berada disini? Tapi dia agak sedikit membantu. Akh, aku malah jadi berhutang budi padanya.

"Dimana rumahmu?"tanya Dirga membuatku mendongak.

"Ke Grand City Center saja,"ucapku memegang erat perut yang terasa begitu nyeri.

Renjana : Arutala Dirgantara Where stories live. Discover now