Bab 16 : Ina

170 18 0
                                    

"Saya sadar akan kesalahan saya dan siap menerima sanksi yang diberikan,"ucapku.

Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku saat mengakui kesalahan di kantor polisi. Akibat ku juga ada mobil polisi yang menabrak tulisan perumahan dinas. Sementara biaya perbaikan sudah ku serahkan pada pihak yang berwenang.

"Sesuai hukum yang berlaku, Anda dikenai hukuman kurungan selama 2 hari atau membayar denda sebesar 2.500.000. Apa Anda siap menjalani kurungan selama 2 hari disini?"tanyanya membuatku menggeleng pelan.

"Saya tidak membawa uang Cash. Tapi Anda bisa mencairkannya,"ucapku mengeluarkan sebuah kartu langsung mencairkan dana yang disebutkan di ATM yang ada.

"Saya harap Anda tidak mengulangi kesalahan ini lagi, Nona. Anda mengendarai kendaraan dengan kecepatan 200 km/jam sama saja ingin membuat arena balapan di jalan raya. Saya tahu Anda berada dalam kondisi darurat dan bisa memaklumi itu. Anda bisa pergi, Nona,"ucapnya membuatku mengangguk pelan sebelum berlalu pergi.

Celine tersenyum lebar di pintu masuk kantor polisi dengan pakaian putih berkabung. Akh, gadis ini mengapa harus mengikuti keras kepala yang ku miliki? Dia bahkan sudah ku minta beristirahat saja malah sudah berdiri di depan mata.

"Mbak, sementara perjalanan ke rumah sakit. Biar saya yang menyetir. Mbak, belum tidur sejak semalam,"ucap Celine membuatku mengangguk tidak berniat menolak.

Pandangan ku sedikit kabur karena kurang istirahat. Akan berbahaya kalau aku yang mengendarai mobil. Bahkan pakaian ku saja masih seperti kemarin. Isi di dalam mobil tidak jauh berbeda. Tidak ada yang dikeluarkan dari sana.

"Mbak, saya sudah mengatur jadwal keberangkatan malam ini. Saya khawatir perjalanan pagi hari terlalu mendadak. Semua perlengkapan juga sudah saya siapkan atas bantuan Nona Azhara. Nona Azhara sudah menghubungi Anda berkali-kali tapi tidak ada respon.

Dia menitipkan belasungkawa dan minta maaf karena masih berada di Medan. Dia akan menemui Anda setelah di Surabaya,"ucap Celine panjang lebar membuatku menorehkan seutas senyum.

Berhadapan dengan satu kematian membuatku agak terguncang. Gadis itu berada dekat dengan kematian disisinya. Aku bahkan lupa hal itu. Setiap kali dia terbang maka sayap kanan nya adalah pasrah dan tawakal akan hal mungkin terjadi. Sedangkan sayap kirinya adalah keyakinan pada Yang Kuasa.

"Pak Dhito juga mengirimkan belasungkawa dan memaklumi kejadian semalam. Beliau sudah mengurus perbaikan di tulisan perumahan yang ditabrak mobil polisi,"ucap Celine.

"Syukurlah. Celine, bangunkan aku ketika sudah sampai di rumah sakit,"ucapku menurunkan jok mobil.

"Baik, Mbak,"ucap Celine menurut membuatku menghela nafas memejamkan mata sejenak.

Sekalipun aku mengatakan bangunkan, tapi tubuhku menolak tertidur. Mataku mengatakan lelah. Tapi pikiran ku masih kalut kesana kemari. Memikirkan apa saja yang harus ku siapkan untuk pemakaman. Bagaimana prosesinya di pemakaman?

"Mbak, kemarin saat membantu memeriksa persiapan pemakaman saya menemukan sesuatu di pesantren tempat orangtua Anda,"ucap Celine membuatku mendongak.

"Heh? Nggak biasanya kamu bilang sesuatu,"ucapku heran.

"Saya khawatir Anda mengamuk dan mengacaukan mood. Saya menarik kalimat tadi,"ucap Celine mencurigakan.

"Kamu mau mencoba menggunakan tunjangan kesehatanmu kah?"tanyaku menatapnya sebal.

"Heum, jenazah Fatimah beserta Nyonya Andini sudah dibawa pulang. Jadi, kita langsung ke rumah saja,"ucap Celine terdengar tidak masuk akal.

Enyahlah. Saat ini bukan saatnya berdebat dengan Celine. Mataku melihat sebuah toko bunga di tepi jalan. Entah mengapa tidak biasanya aku berpikir untuk membelinya. Sekaligus membeli sebuah pakaian terusan bewarna putih. Karena kalau dilihat situasinya, tidak mungkin berganti pakaian.

Renjana : Arutala Dirgantara Where stories live. Discover now