Bab 17 : Perspektif

176 18 0
                                    

Beberapa pakaian yang ku masukkan seolah masih terasa kosong dalam ransel. Sedari tadi pikiran ku masih hampa tanpa ada isi. Fahri baru saja siuman setelah pingsan selama kurang lebih satu jam lebih. Jika saja Fahri tidak bisa kuat apakah mungkin ku tinggalkan Andini?

Anisa juga tidak bisa menahan tangisnya di depan Andini. Apa yang harus ku pilih saat ini? Baru kali ini kepergian ku terasa berat. Kejadian diluar dugaan cukup mengguncang rumah ini. Kedamaian di dalam rumah sangat sulit ditemukan.

"Kak, makan lah. Setelah itu kakak bisa tidur,"ucap Andini membawakan sepiring nasi dengan kursi rodanya.

"Hah, aku akan makan nanti,"ucapku menatapnya.

"Sudahi kebohonganmu itu, Kak. Apa Kakak juga berniat meninggalkan ku juga saat ini? Semalaman tidak berhenti wira-wiri mengurus semua hal tentang ku. Tanpa peduli diri sendiri. Makan dan istirahat lah. Kakak harus berangkat ke Surabaya,"ucap Andini membuatku menghela nafas panjang.

"Tapi ini cerita lain, Andini,"ucapku.

"Semua cerita kehidupan sama saja, Kak. Hanya saja caranya yang berbeda. Anisa juga seharusnya masih berlibur bersama Dyo. Mas Fahri juga mengatakan setelah 40 hari akan mengajak kembali ke Turki. Fatimah dia tidak mati, Kak. Tapi hidup disini, karena aku ibunya. Sama seperti Fadhil dan Mas Fahri.

Jangan membuatku ragu dengan diriku sendiri, Kak. Sekarang makan dan istirahat lah. Malam ini kamu harus berangkat ke Surabaya. Karena selalu mengurus ku dan Anisa, kamu malah melupakan dirimu sendiri,"ucap Andini membuatku tersenyum lebar.

"Kamu memang sudah besar, Andini. Baiklah aku akan menurut,"ucapku mengambil makanan yang sudah di bawanya.

Andini mengambil sebelah tangan kanan ku mengusapnya perlahan. Dulu setiap kali dia melakukan ini pasti sedang punya permintaan. Aku khawatir dengan kondisi saat ini permintaannya bisa membahayakan nyawa.

"Apa yang coba kamu minta, Andini?"tanyaku khawatir.

"Menikah lah dengan Ayahnya Ina,"ucapku terkekeh geli.

"Kau,"ucapku enggan mengomel.

"Apanya yang kau?"tanya Andini terkekeh pelan.

"Jangan meminta hal yang aneh begitu. Dengar aku masih bisa membawa pulang pria mana saja. Tapi jangan dia. Aku akan membawa pulang pria yang akan ku nikahi saat lebaran mendatang. Sekarang kamu juga harus istirahat, Andini. Bisanya kamu meminta hal konyol seperti itu,"ucapku mendorong kursi rodanya keluar kamar.

Tampak Fahri menatapku heran. Pria itu tampak lebih segar dari sebelumnya menggendong Fadhil yang tengah tertidur dalam gendongannya. Tepat sekali memulangkan perempuan ini pada lelakinya.

"Fahri, sepertinya kamu juga harus mengajak istrimu ini istirahat sebelum dia berpikir yang tidak-tidak,"ucapku membuatnya menaikkan sebelah alisnya.

"Memangnya apa yang dipikirkan, Dek Andini?"tanya Fahri penasaran.

"Dia berencana menikahkan ku dengan Ayahnya Ina. Jelaskan padanya aku akan membawa pria untuk ku nikahi nanti. Jadi tidak perlu meminta yang tidak-tidak,"ucapku sebal.

Fahri terkekeh pelan menyerahkan Fadhil seraya mengambil alih kursi roda Andini. Pria itu memang sangat cocok dengan Andini termasuk dalam hal menggoda ku. Terakhir kali mereka membawakan pria dari kedutaan untuk ku karena aku pernah mengatakan meminta oleh-oleh.

"Baiklah, Kak. Kami akan sangat menantikan lebaran. Atau bahkan kita berdua bisa saja dapat undangan sebelum lebaran tiba. Benar kan, Dek,"ucap Fahri membuatku berkacak pinggang sebal.

"Kalian ini senang sekali menggoda ku, ya. Oh oke, lihat saja aku akan menikah sebelum usia 33 tahun,"ucapku membuatnya terkekeh geli berlalu pergi.

Bibirku tertarik membentuk sebuah lengkungan begitu melihat wajah keduanya. Meskipun mereka hanya berpura-pura bahagia, tapi melihat semangat menggoda ku itu lebih dari cukup membuktikan aku bisa meninggalkan mereka.

Renjana : Arutala Dirgantara Where stories live. Discover now