Bab 5 : Terjebak di Lift

303 20 0
                                    

"Nona, nama Anda indah".

Uhuk

Telinga ku tidak sedang salah dengar kan. Sontak membuatku menoleh ke belakang tampak begitu saling memalingkan wajah. Apa pria di sebelah ku yang mengatakan itu?

"Saya? Anda saja tidak mengenal saya,"ucapku cuek.

"Dyah Anggita Anindyaswari. Nama Dyah menunjukkan bangsawan Sunda pada masa Dyah Pitaloka,"ucap Dirga membuatku melenguh heran.

"Mengenal saya saja tidak. Anda sudah menerka asal saya. Apapun suku nya bukan menjadi pedoman pemberian nama. Lagian kalau saya Dyah Pitaloka pasti saya membalas dendam ke Majapahit bukannya bela pati,"ucapku membuatnya menghela nafas panjang.

"Saya hanya berkomentar. Jika Anda tidak suka lupakan saja,"ucap Dirga pelan.

"Ada-ada saja. Kalau gitu, Mbak yang disana namanya Sinta artinya dia orang Jawa? Karena namanya tokoh Rama dan Sinta dalam Ramayana. Kemudian Mas disana namanya Aditya apa dia orang bercorak India dengan nama Adityawarman.

Atau Mas yang disana namanya Adrian. Apa dia orang Barat? Kemudian Mas yang namanya Aswa. Apa artinya dia orang Kutai dari Aswawarman? Atau bahkan Anda sendiri, Dirga. Apa artinya Anda lahir di langit dirgantara?"tanyaku malah membuat seisi lift terkekeh.

"Ya sudah, saya minta maaf kalau gitu. Apa selama rapatmu tadi, Rania menyusahkan?"tanya Dirga terdengar normal.

Laki-laki itu terdengar mulai waras. Seharusnya dari tadi dia membahas putrinya saja. Bukan malah bahasan kesana kemari.

"Tidak. Dia diam saja di ruang tunggu, menikmati sajian hotel sambil menonton film,"ucapku.

"Syukurlah. Tangan Anda tercoret pulpen, Nona,"ucap Dirga membuatku melirik tangan yang terlihat banyak sekali bekas coretan pena.

"Anda teliti sekali,"ucapku.

Hah, aku bahkan tidak membawa tisu di kantong untuk membersihkan tangan. Pria ini matanya lebih tajam dari mataku. Terkadang Celine saja meminta ku memeriksa dengan kacamata karena ada beberapa yang terlewat jika jarak pandang nya jauh.

"Pakai sapu tangan saya saja, Nona,"ucap Dirga mengangsurkan sapu tangannya.

"Mau bius? Dah biarin aj-,"

Brakk

Badan seperti terhuyung sesaat setelah guncangan keras membuat lift akhirnya terhenti dan listrik yang tiba-tiba mati. Aku hanya merasakan gelap sementara ocehan ajudan Dirga tidak kunjung berhenti.

"Astaga, kenapa ada gangguan begini? Kenapa harus giliran ku yang naik, ya Allah. Mati lampu lagi"

"Gusti, baru terasa kayak orang kaya naik lift sampai nyentuh lantai 15 kok malah macet,"

"Kayak kaki orang mlarat memang beda kali, ya"

"Sepertinya bukan masalah besar, Dik. Aku melihat ramalan cuaca akan ada gempa kecil. Tapi nggak tau kalau efeknya gini. Paling tidak sebentar lagi lampunya menyala,"

Mereka tadi memasuki lift semua dan sudah ada 4 suara. Lantas kemana satu suara lagi? Hanya Dirga yang belum bersuara disini? Tidak butuh waktu lama sebelum akhirnya ku nyalakan senter untuk melihat situasi sekitar. Tampak Dirga terlihat tetap tenang dalam posisinya tanpa tergoyahkan sedikitpun menatap silau cahaya.

"Perbaikan akan butuh waktu kira-kira 2 jam. Selama itu kita harus bisa menahan diri disini,"ucap Dirga membuatku menghela nafas panjang.

"Nona, biar saya saja yang pegang senternya. Anda terlihat pucat,"ucap Aditya membuatku menyerahkan ponsel.

Renjana : Arutala Dirgantara Where stories live. Discover now