Bab 28 : Scream

158 16 0
                                    

Gita POV

Mataku mengerjap sesaat merasakan hangatnya selimut yang membungkus tubuh. Rasa nyeri bekas jahitan operasi itu masih terasa begitu menyayat. Luka yang mengenai punggung membuat tubuh ku pegal karena berbaring miring seperti ini. Telinga ku yang secara sadar menangkap bunyi musik keroncong.

Heuh, apa ini efek bius yang belum kunjung menghilang? Kenapa aku mendengar musik keroncong seolah Dirga sedang ada disini? Apa otak ku menjadi bermasalah? Eh, tapi kan bukan kepala yang terkena tembakan. Mataku melirik seorang pria yang sedang membaca koran di sofa.

"Kamu ngapain disini?"tanyaku menyentuh dada ku terasa nyeri merambat ke punggung.

Bahkan sedikit tenaga saja, seluruh tubuh ku langsung sakit. Mengenaskan sekali diriku saat ini hanya bisa berbicara dengan pelan.

"Setelah sakitnya hilang baru bertanya yang aneh-aneh. Sekarang beristirahat saja dulu. Apa kamu mau makan? Dokter mengatakan harus makan yang lembut dulu,"ucap Dirga menaruh korannya.

"Aku tidak mau makan,"ucapku.

"Setelah kena luka tembak, mau kena GERD?"tanya Dirga membuatku terhenyak.

Mentang-mentang aku tidak bisa mengomel, pria itu bisa seenaknya mengomel. Bagaimana mau makan dalam kondisi tidur berbaring miring seperti ini? Seharusnya dia gunakan otaknya itu, bukan hanya mengomel.

"Menurutmu, bagaimana aku makan? Berbaring satu sisi saja itu pegal,"ucapku mendengus kesal.

"Mau sereal saja?"tanya Dirga mengambil kursi duduk di sebelah ku.

"Makan saja tidak bisa bagaimana mau minum?"tanyaku begitu pelan menahan kesal.

"Pakai sedotan,"ucap Dirga memasukkan sedotan ke dalam gelas.

"Haruskah aku makan?"tanyaku mendengus kesal membuatnya menurunkan pembatas ranjang membuatku terhuyung.

"Sudah tau begini masih bisa keras kepala. Kamu bisa duduk?"tanya Dirga menahan tubuhku agar tidak terjatuh.

"Ck. Bukannya tambah sembuh malah sakit semua,"keluh ku membuatnya tidak kehabisan akal.

Pria itu membantu ku untuk duduk dengan tegak membuat rasa jahitan ku tertarik kesana kemari. Heuh, siapa yang mengirim pria ini kesini? Bukannya menjaga karena masih belum sehat, dia malah membuatku ingin pingsan lagi.

"Sekarang tidak ada alasan untuk tidak makan,"ucap Dirga membuatku menatapnya kesal.

Aku hanya bisa merutuk saat ini. Ya Allah, aku menarik kalimat ku tentang merindukan pria ini. Semua tubuh ku hanya semakin terasa sakit karenanya. Dia ini sangat gila rupanya, sebelah tangan ku di balut infus. Sebelahnya lagi jari telunjuk ku di beri alat.

"Buka mulutmu,"ucap Dirga membuatku menggeleng.

"Kau benar-benar ingin membunuh ku? Apa muat bubur sebanyak itu dalam sekali suap?"tanyaku lirih menahan nyeri.

"Heum, baiklah. Aku membuatnya sendiri, karena sekarang kamu dan pria itu sedang dalam pengamanan ketat. Selagi belum pulih, tidak ada yang boleh berkunjung,"ucap Dirga membuatku membuka mulut menelan pelan bubur yang terasa sedang.

"Kamu? Untuk apa kamu disini?"tanyaku heran.

"Hei, Nona. Karena kamu tidak memberitahu Nona Celine dan Pak Altezza kalau tertembak, maka aku yang menjadi walimu saat ini. Mereka berdua tidak bisa menemui sebelum kasus ini selesai,"ucap Dirga membuatku membulatkan mata tidak percaya.

Dalam jangka waktu selama itu aku akan berada di tempat ini bersama Dirga? Hah, kematian sepertinya sudah menunjukkan batang hidungnya. Berteman dengan sepi jauh lebih menyenangkan dibandingkan bersama pria itu.

Renjana : Arutala Dirgantara Où les histoires vivent. Découvrez maintenant