Bab 18 : Frustasi

164 15 0
                                    

Peluh menetes selama tur yang diberikan tidak membuatku sedikit merasa lengket. Belum lagi beberapa proses produksi yang menimbulkan aroma tidak sedap seperti amonia. Bukan lagi hal baru jika menemukan aroma kimia menyengat. Tapi akhirnya seluruh pakaian yang ku pakai berpengaruh.

"Apa dari kebijakan rutin maintenance membuat pengaruh berarti bagi produksi yang dihasilkan secara signifikan, Pak? Karena jika proses perbaikan dilakukan dalam jangka waktu relatif dekat akan berpengaruh pada biaya yang cukup membengkak. Lagipula jika efisiensinya masih berada di bawah ambang batas bukankah lebih baik menunda?"tanyaku mendengarkan penjelasan Wicitra.

"Tentu saja berpengaruh, Nona Gita. Proses produksi yang terjaga akan menjaga siklus keuangan. Sementara dengan adanya perbaikan dalam jangka waktu tersebut, tidak akan membuat biaya lebih membengkak dibandingkan mengganti peralatan. Dengan efisiensi peralatan yang selalu maksimal, maka proses produksi juga akan terjaga, Nona,"ucap Wicitra membuatku mengangguk mengerti.

Entah lembar ke berapa yang telah terpakai untuk membuat catatan sebelum membentuk laporan dan menyerahkan pada Diana. Kalau bisa dibilang, Pak Wicitra sangat baik dalam menjelaskan dan secara mendetail. Pasti dia juga selalu memerhatikan dengan baik pegawainya.

Karena semua divisi yang dia sendiri katakan tidak mampu, bisa menjelaskan dengan baik hari ini. Bagaimana dengan divisi yang dikuasai? Aku tidak sabar menantikan kesempatan untuk belajar lebih banyak bersamanya. Mataku melirik jam tangan sejenak sudah menunjukkan pukul 4 sore.

"Maaf, apa saya boleh izin 10 menit untuk sholat Ashar terlebih dahulu, Pak?"tanyaku membuatnya menatapku kaget.

"Sholat di departmen produksi?"tanya Wicitra ku angguki.

Pria itu terlihat berpikir sejenak sebelum berjalan menunjukkan jalan dalam diam. Padahal aku masih memikirkan jawaban yang akan  pria itu berikan. Seolah sedang menimbang perizinan yang tengah ku ajukan dengan berat.

"Apa saya diizinkan, Pak?"tanyaku penasaran membuatnya menghentikan langkah.

"Sebenarnya di departemen produksi ada ruang ibadah. Hanya saja ruangan itu juga jarang dipakai. Saya ragu kalau tempat itu siap dipakai ibadah. Saya khawatir itu akan merusak citra kami,"ucap Wicitra membuatku menggeleng pelan.

"Tidak perlu khawatir, Pak. Di beberapa departemen Pupuk Anumerta juga demikian. Saya tidak masalah dan akan sangat senang jika diizinkan,"ucapku.

"Baiklah. Ini memang diluar dari perusahaan dan cenderung menyinggung privasi. Abaikan saja jika mengganggu, Nona. Saya hanya heran. Dengan majunya teknologi Pupuk Anumerta melampaui Petrokimia, Anda masih tetap berdiri dengan yakin dengan hijab. Bahkan selalu menjaga sholat,"ucap Wicitra.

"Dalam perspektif saya, semuanya adalah makhluk. Di tengah dunia ilmiah yang saya selami, saya hanyalah hamba yang fakir iman. Apalagi yang bisa saya siapkan saat menghadapi sebuah akhir pasti. Bahkan dalam sebuah proyek jika kita sudah mengetahui tujuannya, apalagi yang bisa dilakukan selain membuat persiapan,"ucapku membuatnya mengangguk pelan.

"Anda benar, Nona. Sangat disayangkan, orang seperti Anda malah berusaha dilengserkan Pak Ramli. Mengerti apa dia tentang dirimu sampai berani merendahkan di depan mitranya,"ucap Wicitra menggelengkan kepalanya membuatku tersenyum kecil.

Mendapatkan pemimpin seperti Wicitra sepertinya sebuah keberuntungan. Melihatnya sangat ramah pada semua karyawan. Bahkan tanpa sungkan dia sering meledek layaknya seorang teman.

"Mas Joko kalau malam Minggu sama pacar jangan Historica terus. Sekali kali ya rumah mertua".

"Mas Dennis, dicari Bu Leni di depan kantin keuangan. Katanya nitip salam,"

Renjana : Arutala Dirgantara Where stories live. Discover now