Bab 30 : Patah

181 16 0
                                    

Author POV

Gita hanya menikmati makanan hambar tanpa kata. Dirga pun mengurusnya seperti biasa tanpa mengatakan apapun. Mereka saling diam satu sama lain setelah kejadian 3 hari lalu. Lagian, siapa yang nggak kesal kalau dipermainkan? Apa rasa kecewanya benar? Atau itu hanya kesalahannya karena terlalu berharap.

Pikiran itu masih berputar di kepala Gita. Sementara Dirga sedang berperang batin ingin memulai kata. Selalu datang berkunjung dengan dinginnya gadis itu terasa sangat berbeda. Karena dirinya pun belum siap mendengar penolakan lamarannya. Katakan dia pengecut, tapi sesuatu terkadang lebih baik tidak tahu.

"Nona,"ucap Dirga membuka suara menguatkan tekad.

Pria itu cukup menyadari, Gita sama keras kepala sama sepertinya. Jika mereka berdua terus diam, Dirga khawatir perempuan itu akan kembali menyembunyikan sesuatu jika jauh dari pandangan.

"Luka ku sudah mulai mengering. Minta perawat melepas kateter. Aku bisa berjalan ke kamar mandi sendiri meskipun belum disarankan berbaring terlentang,"ucap Gita memotong kentang yang ditambahkan ke dalam bubur nya.

Pria itu cukup piawai dalam mengurus orang sakit. Termasuk perempuan di hadapannya. Meskipun tergolong jauh lebih cerewet dibandingkan Riana. Dirinya masih bisa di tolerir untuk perkara ucapan dan perkataan.

"Baiklah. Nona, tentang kalimat ku waktu itu. Aku benar-benar minta maaf,"ucap Dirga membuat gadis itu hanya diam.

"Jangan minta maaf kalau kamu merasa benar. Aku saja yang terlalu berharap sampai menyentuh privasimu,"ucap Gita tersenyum kecil.

Keduanya kembali tenggelam ke dalam pikiran masing-masing. Berpuasa bicara mungkin sudah menjadi gaya dewasa mereka dibandingkan saling berteriak. Dirga beranjak sejenak saat perawat masuk dan melepas kateternya.

Sebenarnya, Dirga lebih menyukai gadis itu tetap diam di kamarnya saja. Dengan begitu akan meminimalisir hal yang tidak diinginkan. Tapi pria itu tahu, Gita tentu bosan berada di dalam kamar seharian selama beberapa hari.

"Perempuan itu calon Ibunya Rania?".

Pertanyaan itu sontak membuat pria itu mendongak menatap dokter di depannya. Seolah tidak merasa punya beban, dia mengatakan dengan begitu santai. Dirga hanya tersenyum misterius.

"Entahlah". Dirga masih berputar dalam pikirannya sendiri.

Menjadikan perempuan itu istrinya sama saja harus siap dengan ujian mendatang. Setelah memaksa Rania berbicara, anak itu seolah menyembunyikan fakta lain mengenai Gita. Dirga memiliki firasat mengenai hubungan perempuan itu dengan dua ulama yang pernah ditemui.

Jika benar kedua ulama itu putrinya, sudah beberapa hari tidak ada yang menanyakan gadis itu di rumah sakit. Pun, jika benar dia putri mereka. Dirga sadar tidak bisa berbuat banyak untuk memenangkan hatinya. Membuat Gita akan tertarik dengan riwayat kegagalan dan usia yang sudah bukan lagi muda.

Bahkan jika dia harus memilih, akan lebih baik menjadi duda sampai akhir hayat. Gadis itu lebih pantas dapat yang lebih baik dan memahami agama. Sedang dirinya sendiri berteman dengan bayangan hatinya. Pengecut yang bersembunyi dari dunia karena menyerah sebelum bertempur.

"Apa kegagalan itu membuatmu ragu?". Perempuan itu memasukkan tangannya ke dalam saku penasaran.

Keseriusan yang ada di wajah Dirga tidak pernah bohong sejak pertama kali perempuan itu mengenalnya. Meskipun dulu dia sendiri kabur dari rumah, Dirga tidak pernah main-main dalam melindungi sesuatu yang menjadi permatanya.

"Bukan. Gadis itu bisa mendapat pria muda yang lebih baik dari ku. Masa depannya tidak berhenti karena menikahi pria tua seperti ku. Tentang masa lalu hanyalah waktu yang ada di belakang".

Renjana : Arutala Dirgantara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang