Bab 25 : Masa Lalu Gita

155 14 0
                                    

Mataku memicing menatap perempuan yang asyik menaikkan sebelah alisnya misterius. Biasanya berita bahagia belum tentu bahagia seperti yang ku pikirkan. Aku harus menerka sesuatu yang buruk dahulu.

"Kamu mengerjai seniormu?".

"Aku tidak lagi pramugari rendahan".

"Pilot penerbangan terakhirmu tampan?".

"Heuh, dia hanyalah mantan yang masih memuja ku".

"Akh, aku tidak mau berpikir keras. Katakan, apa hal yang begitu bahagia sampai membuatmu seperti kuntilanak disini,"ucapku menyerah tidak mau terlalu berekspektasi.

"Kau tau perempuan gila yang menyirammu jus tomat. Istrinya Letnan dua Raihan, pria rendahan yang tidak bisa memperjuangkan restunya untuk memilikimu,"ucap Azhara penuh dengan penekanan saat mengucap rendahan.

Entah mengapa mendengar nama itu membuatku ingin tertawa sejenak. Ingatan ku saat wanita paruh baya menjambak ku keluar rumahnya karena dinilai tidak punya harga diri dan asal usul yang jelas. Rasa sakit di akar kepala ku mungkin bisa hilang dalam dua hari. Tapi pedihnya penghinaan sudah cukup membuat rasa sakit tersendiri.

Membahas pria itu sama saja mengupas luka yang sudah mengering secara paksa. Memaksanya tergores serpihan kaca lagi tersayat begitu menyakitkan. Aku tidak ingin mengingat apapun tentang hari itu. Tapi kepala ku terus saja mengarah kesana. Lantas apa yang terjadi dengan istrinya?

"Apa?"tanyaku penasaran membuatnya tertawa bak penyihir.

"Aku mendengar Raihan menggugat cerai istrinya karena setelah 4 tahun menikah tidak dikaruniai seorang keturunan. Dari yang ku dengar, itu adalah permintaan orangtuanya,"ucap Azhara membuatku membulatkan mata tidak percaya.

Tidak.

Aku memang tidak menyukai dan membencinya. Tapi aku juga tidak mau hal buruk seperti ini terjadi. Apa seorang perempuan itu hanya mesin produksi di mata keluarga mereka? Mengapa mendengar kabarnya saja aku sudah bisa membayangkan bagaimana pedihnya perempuan itu.

"Azhara, dengar lah. Aku tau kamu juga membencinya. Tapi kita juga perempuan. Apa kamu tidak merasakan sakit itu?"tanyaku menatapnya lekat.

Sontak membuat raut wajahnya berubah sedikit. Senyum di wajahnya sedikit luntur. Gadis itu tampak sedang berpikir dalam diam dengan kondisi yang ada. Ku harap yang dikeluarkan dari bibirnya bukan hal buruk.

"Yah kamu benar. Tapi kita tidak punya pilihan lain, Git. Apa yang terjadi padanya bukanlah hal yang bisa kita cegah. Mungkin kejadian ini hanyalah teguran baginya agar tidak lagi mencurigai semua orang seolah suaminya dewa. Padahal dia tak lebih dari pecundang,"ucap Azhara membuatku menggeleng.

"Kita tidak bisa mencegah tapi bisa mengatasi. Aku dan Raihan hanyalah kisah lama saat masih labil. Saat ini kita sudah dewasa dan harus memandang sesuatu dengan terbuka. Dimana dia saat kamu melihatnya terakhir kali?"tanyaku mengganti pakaian dengan baju santai.

"Tadi sih aku melihatnya di bandara,"ucap Azhara menilik jemarinya malas.

-&-

Azhara melangkahkan kakinya malas beranjak. Gadis itu benar-benar tidak berniat membantunya. Aku juga tidak mengenal baik perempuan di depan ku. Aku melakukannya karena aku juga seorang perempuan.

"Dimana suamimu?"tanyaku membuatnya mendongak.

Segera tangan ku menangkap jari telunjuknya menghentikan keributan. Tujuan ku kesini bukannya ingin membuat keributan dan terekam massa. Meskipun aku memakai pakaian santai, terlihat di media tidaklah hal yang baik.

"Setelah dia gagal menjadi pria sejati dengan menikahi ku, apa dia ingin mencoba semua perempuan untuk mendapatkan anak?"tanyaku kesal membuatnya mengendurkan tangan.

Renjana : Arutala Dirgantara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang