Bab 36 : Jarak

144 17 0
                                    

Jam di pergelangan tangan ku menunjukkan jam setengah dua belas malam. Shift ku baru saja selesai. Saat ini yang ku butuhkan hanyalah kasur dan segera tidur. Namun mendengar ponsel bergetar membuatku meliriknya sejenak.

Tuan Dirga

Dua kata itu membuatku menggeser panggilan video sembari berbaring merasakan lelahnya tubuh. Kenapa pria itu belum tidur juga di jam segini? Apa dia baik-baik saja? Kenapa menghubungi ku?

"Memangnya menghubungi istri perlu alasan?".

Yeah, aku juga lupa sekarang kita berdua bukan orang asing. Pria itu terlihat berada di jalan sembari berjalan kaki menuju rumah. Wajahnya itu kenapa terlihat tampan saat di ponsel. Apa dia menggunakan efek? Atau efek seharian ini, aku tidak melihatnya sama sekali?

"Kenapa belum tidur? Besok harus bekerja,"ucapku.

"Hei, kamu juga masih terjaga,".

"Aku kan mengambil dua shift,"ucapku meluruskan kaki.

Aku hanya semakin tua saja dari hari ke hari. Seharian bekerja membuat punggung dan kaki terasa pegal. Biasanya aku tidak akan merasa pegal. Usia memang tidak bisa dibohongi kalau masalah penyakit jompo seperti ini.

Sembari melihat Dirga sudah kembali ke rumah, ku lihat dirinya segera berbaring setelah merapikan kamar. Pria itu tidak habisnya menceritakan kegiatannya haru ini seolah simfoni lain yang membuatku sesekali tanpa sadar malah memejamkan mata.

"Dek,"panggil Dirga deep voice.

"Heum, iya,"ucapku gelagapan.

"Jangan tidur dengan posisi begitu. Berbaring lah biar ku nyanyikan lagu menemani tidurmu,"ucap Dirga.

Sontak membuatku membuka jilbab menaruhnya di keranjang kotor sembari mencuci kaki sejenak sebelum akhirnya berbaring dengan nyaman di ranjang. Heuh, kantuk ku malah hilang entah kemana karena menyentuh air.

"Tuan, sudah makan?"tanyaku membuatnya tergelak pelan.

"Sudah lah. Ini sudah tengah malam. Aditya tadi juga sudah makan disini. Katanya mau tidur?".

"Kaki ku terlanjur menyentuh air. Mana mungkin bisa tidur. Mbak Noela dari Bkkbn yang kemarin sempat ketemu di acara sempat kirim pesan,"ucapku.

"Kenapa? Apa ada masalah?".

"Ini sudah malam. Apa mungkin kita akan membahasnya lewat panggilan?"tanyaku meminum suplemen.

"Tentu. Aku tidak sabar menunggu hingga Jumat".

Bahkan pria itu sampai menyalakan lampu tidur menunggu apa yang ingin ku sampaikan. Tapi mana mungkin aku membahas hal aneh itu lewat telfon. Aku lebih suka secara langsung dan bisa membaca ekspresinya.

"Dia hanya menggoda. Di Indonesia mengatakan 2 anak cukup. Sedangkan kau hanya memiliki satu anak. Kamu mengerti, kan,"ucapku.

"Astaga. Aku kira kamu terjebak dalam masalah lagi. Tentang itu kita akan membahasnya saat kamu di rumah. Rindy dan Dewi masih mengganggumu?".

"Mbak Rindy sama Mbak Dewi jauh lebih sering menghubungi dibandingkan saudari ku. Kita adalah keluarga. Kalau berjauhan hanya bisa silaturahmi lewat pesan,"ucapku.

Memiliki mereka berdua, meskipun saudara ipar seolah punya kakak. Mereka berdua juga sama heboh nya seperti Anisa dan Andini. Meskipun Dirga putra pertama, mereka berdua lebih tua dari ku. Terkadang hal kecil seperti masakan juga tidak luput dikirimkan lewat pesan.

Renjana : Arutala Dirgantara Where stories live. Discover now